Kalau ada topik yang nggak pernah basi buat dibicarakan, salah satunya pasti takdir. Dari zaman dulu sampai sekarang, orang selalu bertanya, “Apakah hidup ini sudah diatur sepenuhnya, atau kita masih punya kendali?” Pertanyaan ini bisa muncul di kelas filsafat, di khotbah, bahkan di tongkrongan malam minggu. Dan biasanya, jawaban paling gampang adalah, “Ya, mungkin sudah takdir.”
Tapi, kalau kita renungkan lebih dalam, ucapan itu sebenarnya rumit. Kalau semua sudah ditentukan, untuk apa kita repot-repot berusaha? Sebaliknya, kalau semua serba bebas, buat apa kita bicara soal takdir? Dua hal ini kayak tarik-menarik yang kadang bikin pusing, tapi juga menarik buat dipikirkan.
Hidup memang selalu di antara dua hal: yang bisa kita rencanakan, dan yang sama sekali di luar kendali. Kita bisa bikin agenda harian, menabung untuk masa depan, atau menyiapkan proposal kerja. Tapi tetap saja ada kejadian tak terduga: sakit, musibah, bahkan kematian. Pada titik inilah kita biasanya berkata, “Ini takdir.”
Nabi Muhammad Saw pernah menjelaskan dengan tegas. Dalam hadis sahih riwayat Muslim disebutkan:
“Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nutfah, kemudian menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging. Setelah itu diutus malaikat yang diperintahkan menulis empat hal: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.”
Hadis ini menunjukkan bahwa ada hal-hal besar yang memang sudah ditentukan sejak awal. Tapi jangan buru-buru salah paham: ini bukan berarti kita hanya pion tanpa daya. Ada ruang luas bagi manusia untuk memilih jalan hidupnya.
Kenapa Ikhtiar Itu Wajib
Masalahnya, sebagian orang sering keliru memahami takdir. Kadang dijadikan alasan untuk malas, bahkan untuk menutupi kesalahan. “Kalau gagal, ya memang sudah nasib.” Ucapan semacam ini seakan menenangkan, padahal bisa berbahaya: lama-lama kita terbiasa pasrah tanpa usaha.
Padahal Rasulullah sudah menegaskan:
“Beramallah, karena masing-masing dimudahkan kepada apa yang telah diciptakan untuknya.” (HR. Muslim)
Kalimat pendek ini cukup menampar. Artinya, manusia memang diminta untuk bergerak, berusaha, berkarya. Kita tidak pernah tahu hasil akhirnya seperti apa, tapi kita tahu satu hal: usaha itu bagian dari perintah. Jadi, takdir bukan alasan untuk diam. Justru di sanalah letak peran kita.
Saya suka membayangkan takdir itu seperti sebuah peta besar. Titik awal dan titik akhir sudah ditetapkan. Kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita, di mana lahir, atau kapan meninggal. Tapi di antara titik-titik itu, jalannya ada banyak. Kita bisa memilih jalur yang lurus, berliku, bahkan tersesat dulu sebelum kembali.
Seperti ikan di laut. Ia bebas berenang ke mana saja, tapi tetap terikat dengan air. Begitu pula manusia: bebas berbuat apa pun, tapi tetap dalam bingkai hukum alam dan kehendak Allah. Kesadaran ini penting, karena bikin kita paham: kebebasan kita nyata, tapi tetap ada batas.
Kalau dipikir-pikir, hukum sebab-akibat adalah bagian dari takdir itu sendiri. Rajin belajar biasanya membawa ilmu. Bekerja keras biasanya mendatangkan hasil. Namun, ada saja kasus yang bikin kita geleng kepala: ada orang tekun tapi gagal, ada yang malas tapi tampak berhasil.
Di situlah kita sering menyebut “takdir.” Tapi bukan berarti usaha tidak berguna. Justru sebaliknya, usaha itu jalan yang ditetapkan Allah. Kalau hasilnya beda dari rencana, itu tanda bahwa ada faktor lain yang tak bisa kita kontrol. Bagian misteri itulah yang membuat manusia belajar rendah hati.
Doa, Ikhtiar, dan Tawakal
Tiga hal ini seperti segitiga yang tidak bisa dipisahkan. Ikhtiar bikin kita bergerak. Doa mengingatkan bahwa kita butuh pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Tawakal menjaga hati supaya tidak sombong saat berhasil, juga tidak hancur saat gagal.
Ada hadis yang menurut saya sangat indah. Nabi Muhammad bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki; ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. at-Tirmidzi)
Burung tidak duduk diam menunggu makanan jatuh. Ia tetap terbang, mencari, berusaha. Dan rezekinya datang melalui proses itu. Tawakal sejati bukan berhenti, tapi melangkah sambil berserah diri.
Kalau dipahami dengan sehat, takdir melahirkan optimisme. Orang yang yakin rezekinya diatur Allah tidak akan hidup dalam kecemasan berlebihan. Orang yang percaya ajal sudah ditentukan tidak akan takut secara buta. Keyakinan ini membuat kita lebih berani melangkah, tapi tetap sadar diri.
Tapi di sisi lain, ada bahaya fatalisme, yaitu sikap yang berkata, “Kalau sudah takdir, buat apa berusaha?” Fatalisme menumpulkan daya juang. Bangsa atau individu yang terjebak di dalamnya akan stagnan. Sejarah membuktikan, tidak ada peradaban maju yang lahir dari sikap pasrah total. Semua kemajuan lahir dari orang-orang yang yakin bahwa usaha mereka berarti, sambil percaya pada ketentuan Allah.
Bagi saya, takdir bukan rantai yang membelenggu, melainkan bingkai yang memberi arah. Seperti kanvas yang sudah tersedia. Kita memang tidak bisa memilih ukuran kanvas itu, tapi kita bisa menentukan warna, pola, dan goresannya.
Kesadaran akan takdir membuat kita lebih seimbang: tekun berusaha, rajin berdoa, dan siap menerima hasil dengan lapang dada. Takdir bukan alasan untuk berhenti, melainkan dorongan untuk terus melangkah.
Akhirnya, mungkin begini saja kesimpulannya: manusia berusaha, Allah yang menentukan. Kita tidak pernah tahu persis apa yang menanti besok, tapi selalu ada alasan untuk berharap. Dan selama kita masih bisa melangkah, kita sedang menjalankan bagian dari takdir itu sendiri.
Please login to comment