Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kisah Imam Asy-Syafi’i Menjadi Qadi Hingga Dituduh Makar

Avatar photo
38
×

Kisah Imam Asy-Syafi’i Menjadi Qadi Hingga Dituduh Makar

Share this article

Hampir selama hidup Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i tak pernah a meninggalkan kota Madinah kecuali ada keperluan yang mendesak. Ini menjadi bukti kecintaannya pada sang guru dan totalitasnya pada ilmu.

Wafatnya sang guru menjadi titik awal petualangan Imam Asy-Syafi’i selanjutnya. Sebenarnya dia sendiri tipikal orang yang menyukai petualangan sebagaimana terekspos dalam Diwan (kumpulan syair) anggitannya sendiri:

سأضرب في طول البلاد وعرضها ## أنال مرادي او أموت غريبا

Saya akan berpetualang seluas negeri-negeri

Untuk menggapai cita-cita atau mati terasing

Hanya Imam Malik yang membuatnya terpesona dan berhenti selama 12 tahun. Sebab sebelum ketemu sang guru, Asy-Syafi’i muda pernah tinggal selama 2 tahun di pedalaman bersama suku Huzail; belajar ketangkasan berkuda dan memanah, mendalami syair Arab, dan mempelajari kehidupan autentik suku Huzail.

Saat di Madinah, Imam Asy-Syafi’i ditemui oleh gubernur Yaman. Dia diminta agar menjadi hakim di sana. Tawaran ini datang setelah sang guru wafat. Dia menyambutnya dengan senang hati, sebab menurut pengakuannya, “ibuku sudah tak bisa membiayai kebutuhan hidup kami, sementara kami juga harus membayar sewa rumah. Maka saya memutuskan menerima tawaran gubernur Yaman.”

Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Malik

Jabatan ini hanya diemban 2 tahun tapi masyarakat kota Najran (dulu bagian Yaman sekarang di bawah Saudi Arabia), tempat Asy-Syafi’i bertugas, merasakan keadilan sang imam. Ada beberapa orang mencoba menyuap, seperti diakuinaya sendiri, tapi tidak berhasil.

Pernah Dituduh Makar

Pada 184 H, di umurnya yang ke 34, Imam Asy-Syafi’i melanjutkan petualangan ilmiahnya ke Irak. Muhammad bin Al-Hasan, murid imam Abu Hanifah, yang dituju. Dia ingin melengkapi fikih Madinah dengan fikih Irak.

Ternyata Majlis Imam Muhammad bin Al-Hasan sama sekali berbeda dengan majlis Imam Malik yang khusuk dan khidmat. Sebagaimana diwarisi dari Imam Abu Hanifah, majlis di Irak lebih diramaikan dengan diskusi. Guru berinteraksi lebih bebas dengan gurunya, bertukar ide dan gagasan.

Baca juga: Imam Muslim, Ulama Kaya Raya Dedikasikan Hidup untuk Ilmu dan Hadits

Imam Asy-Syafi’i sendiri menikmati perdebatan dan diskusi antara para murid Imam Abu Hanifah. Dia sangat menghormati sosok Muhammad bin Al-Hasan; tak bicara di hadapannya kecuali diminta pendapat tentang pandangan ulama Madinah sebagai perbandingan. Mazhab Hanafi memang lahir dari ruang-ruang diskusi semacam itu.

Dalam kitab Al-Umm, sebuah buku induk mazhab, Asy-Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits melalui jalur Muhammad bin Al-Hasan: dari Muhammad bin Al-Hasan, dari Ya’qub bin Ibrahim, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar (sahabat), dari Rasulullah bersabda:

الولاء لحمة كلحمة النسب لا يباع ولا يوهب

Kedekatan Asy-Syafi’i dengan Muhammad bin Al-Hasan terpotret semakin jelas tatkala khalifah Ar-Rasyid memburu 9 orang tokoh politik dari Alawiyah (keturuan Ali bin Abi Thalib) yang diduga akan makar dan memberontak. Asy-Syafi’i masuk dalam list. Semua pelakunya ditangkap dan dieksekusi kecuali dia.

Baca juga: Kewiraian Imam Abu Hanifah dan Pilihan Politik Kontroversial

Berkat kesaksian Muhammad bin Al-Hasan yang saat itu menjabat sebagai hakim agung Dinasti Abbasiyah. “Asy-Syafi’i seorang yang sangat alim. Tuduhan itu tidak mendasar,” ucap Muhammad membela dirinya di hadapan Khalifah.

Tapi selain itu, ada faktor kelihaian dia berdiplomasi. Saat diinterogasi, dia balik bertanya, “Mana yang khalifah suka: orang yang menganggap kita saudara atau yang menganggap budak?”

“Tentu yang menganggap kita saudara,” jawab Khalifah.

“Saya berasal dari Bani Muttalib dan tuan dari Bani Abbas; kita bersaudara.” terang Asy-Syafi’i, “Sementara mereka (Alawiyah) memandang kita lebih rendah karena kita hanya kerabat Nabi, bukan anak cucu Nabi SAW.”

Dengan jawaban diplomatis semacam ini, Imam Asy-Syafi’i selamat.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya