Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kisah Imam Hasan al-Bashri dan Seorang Nasrani

Avatar photo
21
×

Kisah Imam Hasan al-Bashri dan Seorang Nasrani

Share this article

Hasan al-Bashri memiliki tetangga seorang Nasrani yang mempunyai jamban di atap rumahnya. Jamban tersebut berlubang dan menembus ke dalam rumahnya.

Dari lubang itu, air kencing orang Nasrani itu merembes ke dalam atap rumah Hasan al-Bashri. Sang Imam lalu meminta sebuah wadah dan meletakkannya di bawah lubang yang bocor itu.

Imam Hasan keluar setiap malam untuk membuang air kencing yang sudah penuh. Hal itu ia lakukan selama 20 tahun.

Suatu ketika, Hasan al-Bashri sakit dan tetangganya yang beragama Nasrani itu datang menjenguknya. Ia pun melihat kebocoran yang berasal dari atap rumah Hasan al-Bashri.

Orang Nasrani itu bertanya, “Sudah berapa lama kau menanggung kesusahan dariku ini?”

Hasan al-Bashri menjawab, “Sudah 20 tahun.”

Seketika itu juga ia memotong zunnar-nya (ikat pinggang yang digunakan seorang Nasrani) dan memeluk agama Islam.

Sulit Toleran karena Kurang Piknik

Kisah di atas diambil dari kitab Al-Imta’ wa al-Mu`anasah karya filosof, sufi, sekaligus sastrawan raksasa asal Bagdad, Abu Hayyan at-Tauhidi (w. 922 M).

Kitab ini merupakan saripati obrolan-obrolan malam selama 37 malam yang ia habiskan bersama Wazir Abu Abdilllah al-Aridh.

Pada zaman kerajaan Abbasiyah, acara “ngopi” malam seperti ini sudah biasa dilakukan. Muatan isinya dijejali oleh obrolan-obrolan serius tetapi santai. Topik yang diobrlokan meliputi filsafat, sastra, ilmu agama, puisi, dan berbagai macam bidang keilmuan lainnya.

Di acara ngobrlom malam itu juga, para ulama dan pemikir dengan bebas mengisahkan anekdot-anekdot dan cerita jenaka yang mengundang gelak tawa para pejabat dan hadirin.

Uniknya, majlis ngobrol itu diisi oleh berbagai macam orang dari latar agama, suku, dan etnis yang berbeda-beda.

Imam At-Tauhidi misalnya mengisahkan bahwa dalam majlis itu ia ditemani oleh Ibnu Syahawaih al-Qurmuthi (Syiah Qaramithah), Bahram al-Majusi (agama Majusi/Zoroaster), ben Mekeheya an-Nasrani (agama Nasrani), dan lain-lain.

Pergaulan at-Tauhidi dengan beragam etnis, budaya dan keyakinan lain membuatnya memiliki sikap terbuka dan inklusif, khususnya dalam pertemanan dan persaudaraan sesama manusia.

Dalam bukunya yang lain bertajuk “ash-Shadaqah wa ash-Shadiq” (Pertemanan dan Hakikat seorang Teman), at-Tauhidi pernah mengutip perkataan yang berbunyi, “Siapa yang bersikap toleran di dalam bergaul dengan manusia, maka dia akan selalu merasa senang dengan mereka.”

Kitab Al-Imta’ wa al-Mu`anasah yang memuat kisah Hasal al-Bashri di atas dapat didownload di sini.

Kontributor

  • Ade Gumilar

    Alumni Mahasiswa Al-Azhar Mesir. Melanjutkan S2 di Universitas Indonesia konsentrasi Kajian Timur Tengah. Sekarang menjadi dosen sejarah peradaban Islam IAIN Syekh Gunung Djati Cirebon