Saya tertarik juga ikut nimbung pada “obrolan ringan” di warung kopi yang nyeletuk bahwa agama sudah tidak lagi relavan di zaman kontemporer ini (Sanadmedia, 21/5/22: Benarkah agama sudah tidak relavan di zaman sekarang?).
Seketika itu juga saya teringat sebuah pertanyaan dari diskusi di pondok terkait ilmu fikih, yang kira-kira begini, “Masihkah relevan ilmu fikih bahkan cabang-cabangnya kalau tiba-tiba kau jatuh dari pesawat terbang lalu terdampar di sebuah hutan rimba raya?”
Pertanyaan itu mengajak kita itu berfantasi dan berandai-andai, sekaligus menyadarkan tentang kebutuhan ilmu-fikih itu bagi si pelaku yang mengamalkan, tentang spiritualitas diri, keindahan, dan ketelitian sebagai orang muslim.
Pertanyaan itu juga mengingatkan kisah bagaimana Nabi Adam AS berada di surga kala itu, lalu ketika ia berada di muka bumi. Kita diingatkan ulang untuk bertanya tentang fungsi dari agama dan seluruh fungsi-fungsi aturan. Posisi kita saat ini masih di rimba raya, tak ada manusia kecuali diri sendiri. Sejauh melangkah tidak menemukan manusia, kecuali binatang, tetumbuhan dan sajian alam yang minim memiliki arti.
Dari itu, kita juga menyadari bahwa orang-orang yang berusaha mengerti detail-detail ilmu fikih adalah orang-orang yang berusaha menyelam lebih detail perkara fikih dan dalam seting lingkungan yang mana orang-orang telah mengetahui dasar-dasar umum tentang ilmu fikih.
Saat tubuh sendirian di tengah hutan, peran agama—yang telah beraturan seperti sekarang ini, yang telah banyak kitab-kitab dan banyak alim-ulama—menjadi tereduksi kecuali berusaha menyelamatkan diri dari ancaman harimau atau hyena yang lapar, atau binatang-binatang yang lain. Peran agama menjadi peran yang sarat meditasi dan permenungan, seakan-akan bertalian dengan Sang Pencipta Semesta dan merintih agar ditemukan pasangan agar bisa menjalin hidup yang normal sebagaimana manusia hidup seperti sekarang ini.
Saya berusaha menyadari kegamangan statemen yang diungkapkan itu, karena manusia zaman now itu intens dengan teknologi dan tekanan uang. Tekanan uang inilah yang menjadi hal yang utama. Tekanan ekonomi ini saya pikir menjadi pijakan kegamangan di dalam pikirannya. Yang utama adalah uang, dan yang paling utama adalah bekerja mengumpulkan uang.
Sebenarnya, kalau ia mencermati status sosial di dunia Barat (ini sebagai orientasi utama, bahwa di dunia Barat, sebutlah Eropa) yang sangat disiplin arah pada hal material (baca: uang) mereka juga merasa ‘jenuh’ dengan aktifitas kerjanya, dan mereka membutuhkan sesuatu untuk menjawab kegelisahannya- seperti yang telah diungkapkan oleh Bung Saidun Fiddani, yang mengutip Sayyed Hossein Nasr, menyebabkan krisis spiritual, akibatnya mereka mengalami kehampaan, anomali, kegelisahan, disorientasi, ketidakbahagiaan, dan akhirnya bunuh diri.
Mari mengandaikan: setiap hari bekerja, dari pagi sampai sore bekerja, lalu malam dilanjutkan bekerja, besok bekerja lagi, sesekali traveling, lalu kembali bekerja lagi, mengulang lagi seperti sebelumnya, menambahkan harta, menambahkan koleksi, menambahkan jajalan cita rasa kuliner yang lain.
Apakah potret kehidupan seperti itu normal? Kalau dipikir ulang, normal-normal saja. Begitulah hidup. Tapi hidup itu mempunyai jiwa, mempunyai gerak hati, malah bahkan di zaman postmodern ini, di Eropa banyak diminati hal-hal spiritual. Hal-hal spiritual diambil dari bagian keagamaan, seperti agama Islam adanya tasawuf, sufistik, atau Budhisme pada aliran Zen. Yang dikejar sisi spiritualnya, bukan aturan agama atau yang melembaga; itu di Eropa, bukan di Indonesia.
Sementara di Indonesia, orang Indonesia tidak akan mampu melepaskan anggapan tentang relavan dan tidak relevannya agama, karena memang negara itu sudah berasaskan agama, mau tidak mau harus beragama, relavan tidak relavan. Saya pikir itu statement yang tepat. Mau tidak mau harus beragama, relavan tidak relavan: bila hari ini agak “mbeling” menyikapi agama, ini soal ‘kenakalan’ ia beragama.
Ini soal ‘cara pikir’ yang gayanya bisa ‘melepaskan’ dari keberadaan status sosial. Sebab, lingkungan itu sangat mempengaruhi tentang agama. Lingkungan tentu saja didukung oleh politik. Itulah mengapa, sejauh menganalisis agama pastilah bersinggungan dengan politik dan terkoneksi dengan politik, sejak dulu memang demikian alur proses keberadaan agama, selalu terhubung dengan politik.
Dan tentu saja, kita tidak tahu apakah kita akan tetap beragama andai-andai berada pada situasi negara yang melarang untuk beragama? Atau saja, kita akan mencari teman untuk ‘mempertahankan’ eksistensi paham keagamaan kita? Dan ini tentu saja pembicaraan tentang faktual yang terjadi, bukan pengandaian atau imajenasi.
Bisa jadi, kalau tiba-tiba jatuh dari pesawat lalu terdampar di hutan rimba raya, mungkin akan mengatakan bahwa agama tidak relevan, yang relevan adalah keselamatan diri bagaimana keluar dari hutan, dan memiliki harapan kapan akan datang suatu pertolongan. Atau bisa jadi, kegamangannya itu terjadi karena melihat arus hidup yang lebih mengutamakan uang dan sibuk kerja sehingga mengabaikan agama, salat pun malas.
Jawaban saya, seperti diatas, saat itu ia masih masih ‘nakal’ dengan pengetahuan-agamanya, namun ia masih mendengar sliweran ceramahan agama di medsos, masih sesekali menunaikan salat, dan masih merayakan lebaran.
Plamo Garden, Batam