Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menjadi Dokter Bedah Ternama, Begini Cara Syekh Yusri Mendidik Nasfu

Avatar photo
42
×

Menjadi Dokter Bedah Ternama, Begini Cara Syekh Yusri Mendidik Nasfu

Share this article

Maulana Syekh Yusri Rusydi al-Hasani menerangkan dalam
salah satu pengajian, cara menyikapi kesalahan supaya tidak terulang lagi. Dokter
bedah Mesir itu kemudian berbagi pengalaman bagaimana beliau mendidik nafsu.

Syekh Yusri Rusydi bercerita panjang. Mari kita simak
bersama:

Aku katakan kepadamu, kenapa Allah SWT menganugerahiku keahilan
medis di bidang bedah, sampai kawan-kawan dan guruku mengakui kemampuanku.

Kamu tahu apa yang aku lakukan untuk mendidik diriku di
awal-awal aku bekerja di profesi ini? Dalam mendalami ilmu bedah, diri juga
perlu didikan agar sampai pada tingkat sebaik mungkin (ahli).

Dari semua pasien yang aku tangani atau aku beri resep
obat, jika kuketahui ada yang meninggal, maka aku akan bepuasa 2 bulan. Aku
menganggap diriku telah melakukan salah penanganan atau salah memberi obat
sehingga ia meninggal.

Ayahku yang setiap hari mengunjungiku ke rumah pada
awal-awal aku menikah, menemukan aku selalu puasa.

Setiap selesai berpuasa 2 bulan, ada saja pasien baru
yang meninggal. Maka aku berpuasa 2 bulan lagi. Kami para ahli bedah dihadapkan
pada pasien-pasien kecelakaan yang kemudian meninggal tanpa kesalahan kami.

Tapi terlebih dahulu aku menuduh diriku tidak memberikan
penanganan yang semestinya untuk menyelamatkan si pasien. Tujuanku agar aku
memperbaiki kemampuan diri, sehingga Allah SWT meninggikanku dalam bidangku.

Kita harus menuduh diri sendiri dahulu dengan maksud
memperbaikinya, menuduh diri sendiri sebagai pihak yang memerintahkan
kemungkaran. Lantas apa yang harus kita lakukan? Cambuk nafsu dalam diri
sendiri.

Caranya dengan apa?

– Nafsu suka harta, maka bersedekahlah.

– Nafsu suka makan terus-menerus, buat ia lapar dan bawa
puasa.

– Nafsu suka terus-menerus tidur, maka bangun malam dan
shalatlah.

– Nafsu suka makanan tertentu, maka jangan makan yang
kamu sukai.

Inilah caranya dan begini seharusnya yang dilakukan murid
thariqah. Dia harus mengetahui bagaimana mendidik dirinya ketika melakukan
kesalahan, sehingga dirinya mendapatkan pendidikan yang baik.

Ayahku berkata, “Nak, kamu pengantin baru, mengapa puasa
tiap hari?! Tidak boleh begini.”

Aku pun menjawab, “Tidak apa-apa, aku sudah biasa.” Aku
tidak mau mengatakan bahwa diriku mengecewakan karena pasienku meninggal. Aku
tidak mau mengatakan hal itu agar beliau tidak marah padaku misalnya.

Aku dulu menganggap bahwa diriku berbuat kesalahan meski
bisa saja sudah ajal pasien itu meninggal padahal aku sudah memberikan
penanganan yang baik.

Setelah aku menjalaninya dalam tempo yang lama,
alhamdulillah Allah SWT menyelamatkanku dalam bidangku, sehingga kebaikan
mengalir lewat tanganku.

Demi Allah, banyak dokter bedah tatkala menghadapi
pasien-pasien tertentu mengatakan, “Jangan ada yang berani memegangnya, karena
dia akan meninggal.” Tapi aku masuk dan menanganinya. Setelah sepekan, dia
keluar dari rumah sakit atau sudah membaik dan hidup.

Demi Allah, itulah yang terjadi. Sampai kawan-kawanku
berkata, “Kondisi sulit kalau ditangani oleh dr. Yusri akan berbalik menjadi
mudah.” Mereka mengatakan itu karena mereka melihat dengan mata mereka sendiri.
Demi Allah.

Semua itu datang dari mana? 

Dari puasa berbulan-bulan yang aku lakukan. Agar aku
lebih giat, lebih mempelajari, lebih maju di bidangku dan  memperbaiki kemampuanku.

Dan setelah aku sampai pada tingkat keahlian tinggi di
bidangku, maka sudah tidak masalah lagi bagiku pasien yang meninggal ataupun
yang hidup. Aku tidak lagi puasa karena aku sudah mempelajari dan menguasai
bidangku.

Berbeda di masa-masa awal, aku masih belajar. Aku belum
mengetahui bagaimana menghukum diri . Apakah aku melakukan hal benar seratus
persen ataukah delapan puluh persen sehingga pasien meninggal?

Syekh Yusri kemudian memberikan nasehat bagaimana cara seorang
murid thariqah berinteraksi di bidangnya, ibadahnya, juga dengan sesama
manusia. Beliau melanjutkan cerita:

Dokter bedah merupakan profesi yang kompetisinya berat
antara sesama ahli bedah. Bahkan terkadang saat aku menangani pasien yang
kondisinya sulit, kawan-kawanku mengharapkan pasien meninggal. Kalau ia hidup,
citraku akan naik di kalangan rumah sakit. Demi Allah aku melihatnya, bukan dari
lisan tapi dari perilaku mereka. Iklim kompetisi di profesi ini memang buruk.

Saat-saat itu terjadi, aku memberi mereka hadiah. Bukankah
Rasulullah SAW bersabda, “Saling memberilah kalian hadiah agar saling
mencintai.”

Ketika mereka melakukan kesalahan di suatu kondisi,
mereka memanggilku untuk memperbaiki.

Aku melakukan perbaikan kesalahan para ahli bedah di Rumah
Sakit Ahmad Maher selama 20 tahun. Siang malam aku melakukan hal itu..

Aku bercerita dengan mikrofon karena kawan-kawanku akan
mendengarnya. Mereka semua mengetahui, silahkan datang kalau ada yang
mengatakan aku berbohong.

Kemudian selama 15 tahun, aku memperbaiki kesalahan di Rumah
Sakit Umm al-Mashriyin.

Di Rumah Sakit Ahmad Maher, aku memperbaiki kesalahan
yang terjadi di RS Khalifah, RS al-Munirah dan RS di daerah. Permintaan
perbaikan itu ditujukan kepadaku saat berada di RS Ahmad Maher.  Itulah yang terjadi. Aku mengatakan ini bukan
dengan maksud memaklumatkan diriku, karena insya Allah aku akan berhenti
membedah dalam waktu dekat.

Aku hanya ingin menyampaikan padamu bagaimana Allah SWT membuat
aku sampai di level ini, yaitu dengan menuduh diri bahwa aku melakukan kekurangan-kekurangan
pada masa belajar. Aku terus menerus menuduh diriku sendiri bahwa aku belum mencapai
ilmu yang cukup, latihan yang cukup, dan memberikan pelayanan yang cukup kepada
pasien-pasienku, sehingga aku menghukum diri dengan berpuasa 2 bulan. Aku
menganggap diriku telah melakukan pembunuhan yang tidak sengaja. Seandainya aku
punya budak, mungkin aku telah memerdekakan 100 budak, tapi Allah SWT memuliakan
kita.

Maksudku, setiap kita yang menjalani bidang profesi
masing-masing agar mematai-matai dan mengoreksi diri.

Misalnya insinyur yang merancang jembatan, kemudian
setelah 10 tahun, jembatan itu runtuh, maka dia wajib menghukum dirinya.

Orang yang merancang dan membuat jembatan besi di
kawasan Abu Eila adalah orang Prancis. Dia juga yang membuat Menara Eiffel. Dia
seorang arsitek, terhebat di bidangnya secara internasional.

Khedewi Ismail 
mendatangkannya untuk membangun jembatan Abu Eila. Khedewi mengatakan,
“Ssungai Nil merupakan lalu lintas kapal. Aku ingin jembatan yang bisa dibuka
dan ditutup.”

Jembatan pun dibuat. Pada hari peresmian,  jembatan itu tidak bisa dibuka.

Apa yang dilakukan arsitek Prancis itu? Bunuh diri. Dia
tidak kuat menghadapi kegagalan, karena jiwanya hidup dalam profesi yang digelutinya.

Aku tidak mengatakan padamu untuk bunuh diri. Aku tidak
begitu. Aku mengatakan padamu bahwa ketika kamu gagal maka hukumlah dirimu
dengan mencoba menjadi lebih baik dan lebih mendalam (itqan). Perbanyak
belajar, tanya ahli di bidang itu, koreksi diri satu atau dua kali, supaya kamu
istimewa di bidangmu.

Bidang yang kubicarakan ini umum. Bisa ibadah, sains, profesi,
bisnis. Dalam bidang apa saja, kamu mesti sampai pada level itqan.

“Itqan diperoleh dengan menghukum diri sendiri dan
menuduhnya semasa proses pembelajaran.” tutup Syekh Yusri.

Sebagian dari dars pengajian Jumat siang, 6
November 2020.

Kontributor

  • Hilma Rosyida Ahmad

    Bernama lengkap Ustadzah Dr. Hilma Rasyida Ahmad. Menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. Beliau juga salah satu murid Syekh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani asy-Syadzili.