Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pemuka Dalam Mazhab Syafi’i Di Setiap Abadnya

Avatar photo
55
×

Pemuka Dalam Mazhab Syafi’i Di Setiap Abadnya

Share this article
Pemuka Dalam Mazhab Syafi'i Di Setiap Abadnya
Pemuka Dalam Mazhab Syafi'i Di Setiap Abadnya

Murid-muridnya Imam Syafi’i (W. 204 H) termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, al-Za’farani & al-Karabisi mereka merupakan yang mengambil Mazhab Qadim Imam Syafi’i. Masih banyak lagi dimulai dari abad mereka wafat;

  • Abad ketiga yang merupakan seabad zamannya dan mengambil Mazhab Jadid Imam Syafi’i: Imam al-Muzani, Imam al-Buwaithi, Imam al-Rabi’ al-Muradi, al-Harmalah, al-Rabi’ al-Jizi, dan Yunus bin Abdu al-A’la . Setelah mereka datang para Imam yang kompeten.
  • Abad keempat: Ibnu Suraij, al-Qaffal al-Kabir al-Syasyi, Abu Hamid al-Isfiraini, al-Ishthikhri, al-Marwazi, Ibnu Abi Hurairah, dan Ibnu al-Qaash.
  • Abad kelima: al-Mawardi, Abu Ishaq al-Syirazi, Abu Muhammad al-Juwaini, Imam al-Haramain, al-Baihaqi, al-Bandaniji, al-Mahamili, al-Qaffal al-Shagir al-Marwazi, al-Qadhi Husein, al-Furani, al-Mas’udi, Ibnu al-Shabbag, dan al-Mutawalli.
  • Abad keenam: Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, al-Syasyi, al-Baghawi, dan al-‘Imrani.
  • Abad ketujuh: Ibnu al-Shalah, al-Qazwini, Izz bin Abdussalam, Imam al-Nawawi, Imam al-Rafi’i, Ibnu al-Firkah, dan Ibnu Daqiq al-Ied.
  • Abad kedelapan: Ibnu al-Rif’ah, Taqiyuddin al-Subki, al-Qamuli, al-Isnawi, al-Adzra’i, al-Bulqini, al-Zarkasyi, Ibnu al-Mulaqqan, Ibnu al-Naqib, dan al-Muhib al-Thabari.
  • Abad kesembilan: al-Wali al-Iraqi, Syihab bin Ruslan, al-Damiri, Jalaluddin al-Mahalli, al-Aqfahsi, Ibnu al-Muqri, dan Abdullah bin Abdurrahman Baafadhal.
  • Abad kesepuluh: Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Zakaria al-Anshari, al-Khatib al-Syirbini, Syihab al-Din al-Ramli, Syams al-Din al-Ramli, Ibnu Hajar al-Haitami, Abdullah bin Umar Bamakhramah, Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Baqusyair, dan Ibnu Ziyad.
  • Abad kesebelas: al-Burhan al-Birmawi, Ali al-Syibramalisi, al-Rasyidi, dll.
  • Abad kedua belas: Sulaiman al-Kurdi Faqih al-Hijaz, Sulaiman al-Jamal, dll.
  • Abad ketiga belas: al-Bajuri, al-Syarqawi, al-Bujairami, Abdullah bin Husein Bilfaqih, Abdullah bin Ahmad Basudan, Sa’id bin Muhammad Ba’isyan, Abdurrahman bin Sulaiman bin al-Ahdal, dll.
  • Abad keempat belas: Sayyid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf, Ahmad bin Zaini Dahlan, Bakri Syatha, Abdurrahman al-Masyhur, Abi Bakar bin Abdurrahman bin Syihab, Abu Bakar bin Ahmad al-Khatib, Abdullah bin Umar al-Syathiri, Ahmad bin Umar al-Syathiri, Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf, Muhammad bin Salim bin Hafidz, dll.

Dengan rantai belajar mereka yang sampai kepada Imam Syafi’i, serta para Ashab-nya dan masih banyak lagi para pemuka Mazhab Syafi’i yang tidak bisa disebutkan di sini. Untuk mengetahui secara mendalam siapa saja pemuka Mazhab Syafi’i bisa buka kitab al-Thabaqah al-Syafi’iyyah (10 jilid) karangan Imam Tajuddin al-Subki .

Lalu kenapa? Kenapa Pengikut Mazhab Syafi’i Tidak Langsung Belajar ke Kitab Induknya Yakni al-Umm, & al-Imla Semisalnya?

Dengan meluasnya perkembangan zaman dan kegiatan masyarakat yang bisa dikatakan bermula pada kemajuan teknologi dan elektronik, maka berkembang pula problematika terbaru yang tidak ada pada masa sebelumnya. Sebab itu, berlaku juga pada masa pemuka Mazhab Fiqih. Sehingga terjadilah beberapa fase dalam menentukan hukum dan penetapannya.

Di Mazhab Syafi’i sendiri, ada lima fase yang merupakan sejarah mengapa harus mempelajari Fiqih sesuai dengan tahapan-tahapannya.

Fase pertama, disebut juga dengan fase Ta’sis yaitu Fondamen (pendirian). Dimulai oleh Imam Syafi’i sampai dengan beliau wafat (W. 204 H). Ketika itu beliau meninggalkan karangan kitabnya yang kita kenal, yakni al-Umm, & al-Imla. Setelah beliau, datanglah di fase selanjutnya ulama-ulama yang mengambil pendapatnya, baik itu murid maupun Ashab-nya.

Fase kedua disebut dengan fase pemindahan atau dikenal dengan fase al-Naql yang dilaksanakan oleh murid-murid dan para Ashab-nya. Di antara kitab yang masyhur di fase ini adalah kitab Mukhtasar al-Imam al-Muzani. Pembahasan ini tidak hanya berhenti pada masa pemindahan begitu saja, berlanjut ke fase selanjutnya.

Fase ketiga, adalah fase pembukuan atau dikenal dengan al-Tadwin. Di masa ini dimulai pembukuan cabang-cabang permasalahan dan tersebar luasnya yang tidak sempat dibahas pada fase sebelumnya. Biasanya dalam masa pembukuan itu pasti menyangkut terhadap hal-hal yang dikomentari serta ditinjau oleh orang setelahnya. Karena tidak cukup dalam masa pembukuan saja, masuklah ke fase selanjutnya.

Fase keempat ini merupakan fase peninjauan atau disebut dengan al-Tahrir. Dikepalai oleh Imam al-Nawawi dan Imam al-Rafi’i. Kitab Imam al-Rafi’i yang paling penting adalah al-Muharrar, al-Syarh al-Kabir, dan al-Syarh al-Shagir (kedua kitab ini merupakan Syarah dari kitab al-Wajiz karangan Imam al-Ghazali). Sedangkan, kitab Imam al-Nawawi yang terpenting adalah al-Minhaj, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, & Raudhah al-Thalibin. Di mana Imam al-Nawawi dan Imam al-Rafi’i melakukan peninjauan terhadap persoalan-persoalan Mazhab beserta argumentasinya dan pengunggulan dalam pemilihan riwayat mazhab beserta pendapatnya.

Setelah Imam al-Nawawi dan Imam al-Rafi’i meninjau dan melakukan pengunggulan orang-orang yang berpendapat dalam Mazhab, pastinya ada masa penetapan terhadap penentuan tersebut, makanya tidak hanya lepas seperti itu dan beranjak ke fase selanjutnya.

Fase kelima, yaitu fase penetapan atau al-Istiqrar. Yang digawangi oleh dua rival sengit dalam Fiqih Mazhab Syafi’i ialah Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab karangannya Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, dan Imam Syamsuddin al-Ramli dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj. Mereka berdua meninjau persoalan yang tidak sempat dibahas oleh Imam al-Nawawi dan al-Rafi’i dari pendapat dan mata rantai riwayat Mazhab.

Jadi, kita telah melewati beberapa fase dan kita masuk ke penjabarannya. Imam Syafi’i mempunyai kitab Fiqih al-Umm dan al-Imla’, kemudian dua kitab tersebut diringkas oleh Imam al-Buwaithi dengan nama Mukhtasar al-Buwaithi dan Imam al-Muzani dengan sebutan Mukhtasar al-Muzani pada abad ketiga. Setelah mereka, datanglah Imam al-Haramain mensyarahkan kitab Mukhtasar al-Muzani dengan nama kitabnya Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab pada abad kelima. Kemudian pada abad keenam ada Imam al-Ghazali meringkas karyanya Imam al-Haramain yaitu Nihayah al-Mathlab menjadi kitab al-Basith, lalu meringkas al-Basith menjadi al-Wasith, dan kemudian al-Wasith menjadi al-Wajiz.

Kemudian pada abad ketujuh setelah terjadinya tiga kali meringkas yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali, hadirlah Imam al-Rafi’i meringkas kitab al-Wajiz dalam kitabnya al-Muharrar. Lalu, kitab al-Muharrar diringkas oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya Minhaj al-Thalibin. Tak hanya di situ, berlanjut ke Syekh Zakariya al-Anshari meringkas kitab Minhaj al-Thalibin dalam kitabnya Manhaj al-Thullab dan kitab Manhaj al-Thullab diringkas lagi oleh Syekh al-Jauhari dalam kitabnya Nahju al-Thullab.

Masuk pada abad kesepuluh, kitab al-Minhaj karangan Imam al-Nawawi disyarahkan oleh dua rival Mazhab Syafi’i yaitu Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan kitabnya Tuhfah al-Muhtaj dan Imam Syamsuddin al-Ramli bersama kitabnya Nihayah al-Muhtaj. Mereka berdua dijuluki sebagai pen-tarjih kedua setelah Imam al-Nawawi dan Imam al-Rafi’i.

Adapun matan-matan kitab fiqih seperti Matn Ghayah wa al-Taqrib karangan Abu Syuja’ (W. 488 H) merupakan kitab yang independen. Maksudnya bukan merupakan ringkasan secara langsung dari sebuah kitab melainkan karangan tersendiri yang di mana pengarangnya ini menggunakan metodelogi kaedah fiqih Mazhab Syafi’i – selengkapnya bisa dibaca buku Sejarah Tasyri’ diktat kuliah termin 1 tingkat 1 al-Azhar mengapa ada fase pengarangan matan-matan kitab -. Kalau ada pertanyaan, “Kenapa ga mempelajari kitab silsilah Mazhab Syafi’i yang telah melalui proses yang sebegitu panjang seperti Nihayah al-Muhtaj atau Tuhfah al-Muhtaj?” Ringkasnya begini: matan-matan kecil seperti ini hadir untuk mempermudah umat dalam mempelajari Fiqih secara bertahap dan benar (anggap saja ini basic dalam mempelajari Fiqih), karena mulai dari ukurannya yang kecil dan pembahasannya tipis-tipis, tidak seperti kitab yang disebutkan di atas (berjilid-jilid).

Coba kamu bayangin, kamu baru masuk pondok kemudian belajar fiqihnya langsung pake Tuhfah al-Muhtaj kira-kira bisa sampai 6 jilid?! Pasti udah males dan ga semangat belajarnya. Mudahnya seperti itu jika diaplikasikan kepada orang yang baru belajar pula baik dari kalangan masyarakat maupun pelajar.

 

Kairo, 15 Novvember 2023

Habib Muhammad Jinan

Kontributor

  • Habib Muhammad Jinan

    Mahasiswa asal Jakarta yang sedang menempuh jenjang pendidikannya di fakultas Syariah Islamiyah, universitas al-Azhar, Kairo. Suka membaca untuk menjalani kehidupan. Bisa dihubungi melalui Instagram: @jjinan_