Dalam permulaan petualangannya, manusia start dalam kondisi bersih. Fitri. Bahkan sudah bersyahadat sejak manusia berada di Alam Ruh. Melakukan perjanjian perdana dalam hidupnya kepada Tuhan melalui kesaksiannya. Sebagaimana petuah Rasulullah saw dalam riwayat Al Bukhari: “Tidak ada yang terlahir kecuali dalam kondisi fitri”. Bahwasannya sebelum manusia muncul dan eksis dalam dunia ini, manusia melakukan perjanjian (‘ahd) dengan Allah. “Tidakkah aku Tuhanmu?”, manusia mengatakan “Tentu”.
Namun seiring berjalan, manusia mulai berkenalan dengan banyak hal. Ketika tumbuh usia baligh dan dewasa ia mulai mengenal kewajiban dan larangan. Dua hal dikotomis. Baik dan buruk. Semakin lama manusia mulai belajar tentang dunia dan berkenalan dengan isinya. Segala ciptaan ia mulai rasakan dan pelajari. Sehingga terkadang manusia terjatuh ke dalam lubang larangan selama ia belajar sehingga tidak sebersih semula. Selama itu ia selalu berada pada ujian. Bertemu banyak pilihan yang kemudian membuat warna putih dalam dirinya mulai pudar dan cahayanya mulai redup. Ada yang terjatuh begitu dalam hingga lupa akan kewajibannya. Bahkan hatinya tertutup sehingga keluar dari barisan kawanannya. Namun ada juga yang terkadang ia terjatuh kemudian bangkit kembali. Dan sedikit orang yang terjatuh sekali dua kali, meskipun ada tapi sangat jarang karena hanya orang pilihan. Tapi untuk manusia yang telah terjatuh begitu dalam, bisakah ia memasuki kondisi fitri sebagaimana bayi yang baru lahir? Sebagaimana tisu yang belum tersentuh apapun? Gambaran seperti apakah manusia dalam kondisi paripurnanya? Manusia seperti apakah yang lulus menjadi manusia?
Jika mengaca pada diri sendiri, tentunya kita menemukan banyak bercak hitam yang telah menodai diri kita. Entah sengaja maupun tidak. Hal itu membuat kita resah dan merasa hina. Atmosfer yang mengelilingi tubuh serasa fluktuatif. Buah iman yang kita rasakan terkadang naik-turun. Kadang signifikan dan terkadang stabil. Dan memang seperti itu. Lantas, jika memang seperti itu apakah manusia tidak pernah terpanggil untuk menaikkan tingkat jiwanya (asenden)? Atau pasrah saja ketika ia dalam posisi menurun (dekaden)? Kriteria apa kira-kira yang mendorong manusia naik imannya?
Kita menyadari bahwa sejak kecil, kita selalu punya fantasi tinggi mengikuti superhero. Tokoh kartun favorit kita. Atau bahkan artis yang sering muncul di layar. Siapapun yang diidolakan pasti kita berusaha mengikutinya dan dijadikan sebagai role model. Mulai dari kebiasaan, baju, gaya hingga cara berbicara.
Dalam perjalanan spiritualpun, untuk mencapai level tertinggi kita tidak bisa sendiri. Tentunya kita memerlukan suatu sosok yang kita kagumi. Kita idolakan. Kemuliaan seseorangpun tergantung kepada siapa yang diikutinya. Jika yang diikuti adalah orang-orang fasik maka dia akan meresap vibrasi kefasikan ke dalam dirinya. Begitupun jika mengikuti orang-orang saleh maka vibrasi mereka akan terserap ke dalam jiwa. Sehingga menjadi energi positif dan output yang positif. Syekh Ali Jum’ah pernah mengatakan bahwa para ulama tasawuf pada awalnya mengikuti orang yang diidolakannya dari golongan sufi, atau disebut sebagai musyabbih. Sebagaimana hadis Nabi saw “barang siapa mengikuti suatu kaum maka ia termasuk ke dalam kaum itu”. Bagi Syekh Ali Jum’ah, mengikuti dan meneladani para sufi terdahulu adalah “ashlun adzim” (sebuah pokok yang luar biasa). Para sufi terdahulu memiliki tokoh yang diikuti dari kalangan era sebelumnya hingga bermuara rantainya dengan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah saw adalah sosok role model yang Allah berikan kepada manusia sebagai sebaik-maik manusia. Sebaik-baik ciptaan. Al-Insan al Kamil dalam bahasa sufi atau dalam bahasa Nietzsche disebut sebagai “ubermensch”.
Ulama lain menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah “al Mizan al Akbar” (timbangan yang agung). Dalam artian beliau sebagai sosok pengukuran paling paripurna. Pertimbangan paling baik. Jika kita berada dalam suatu posisi, yang kita pertimbangkan adalah “kira-kira tindakan apa yang akan Rasulullah lakukan”. Setidaknya manusia akan minim buta arah ketika mereka berada dalam sebuah pilihan. Dan manusia yang paling mengenal arah itu adalah mereka yang arif. Yang mendapat intuisi nubuwah melalui peribadatannya. Mulai dari giat mempelajari ilmu agama praktis yang berupa mujahadah dan riyadhoh.
Allah tidak meninggalkan hamba-Nya begitu saja selepas peninggalan utusan-Nya. Nabi Muhammad saw telah mengajarkan kepada orang-orang terdekatnya tentang hidup. Problem solving ala Kanjeng Nabi. Yang kemudian mereka ajarkan kepada orang-orang setelahnya. Dari sekian banyak ajaran yang telah diajar, terdapat satu ibadah yang hanya setahun sekali yang dikenal dengan puasa.
Agaknya puasa ini masyhur dengan menahan lapar dan dahaga. Padahal inti ajaran puasa tidaklah sesimpel itu. Manusia dituntut merasakan kesetaraan dalam hierarkinya. Setiap orang harus merasakan sama-sama menjadi seorang hamba. Menjadi orang lapar. Menjadi orang yang berlomba-lomba mengunduh kemuliaan di Bulan Ramadhan. Meskipun puasa ini telah ada sejak sebelum Nabi Muhammad saw dengan cara yang lebih berat, namun beliau selaku nasikh (pembaharu syariat) dari sebelumnya memberikan keringanan atas izin Allah.
Lapar, dahaga, syahwat, hawa nafsu semua diadu di sini. Pembersihan hati dan dosa terjadi di bulan ini. Seperti halnya dalam ilmu tasawuf, untuk mencapai kelulusan tertinggi sebagai manusia, seorang manusia perlu melakukan pembersihan terlebih dahulu. Hal itu biasa disebut at Takhalli (pengosongan). Dalam momen pengosongan inilah manusia berada pada pensucian diri dari segala angkara murka. Nafsu lawwamah dan sebagainya. Usai manusia melakukan pengosongan, dia akan dihadapkan dengan proses penghiasan diri melalui peribadatan-peribadatan yang telah Allah janjikan ganjarannya di bulan ini dengan kelipatan yang banyak. Bisa diperhatikan melalui sholat malam yang sejumlah 20 rakaat, kemudian itikaf dalam suatu masjid yang bagi beberapa ulama hal ini termasuk wajib dilakukan sekali dalam setahun. Lalu pembacaan Al Qur’an secara bersamaan dengan tujuan memuliakan bulan ini, bulan turunnya Al Qur’an. Sehingga, seringkali Bulan Ramadhan disebut sebagai Bulan Al Qur’an (Syahrul Qur’an).
Semua amal peribadatan itupun akan mendapat kalkulasi khusus di hadapan Allah. Bulan ini penuh dengan rahmat Allah, ampunan dan pembebasan dari api neraka. Dalam hadis riwayat al Baihaqi dan Ibn Abi Dunya, Bulan Ramadhan terbagi dalam tiga fase. Sepuluh hari pertama yang berupa hari-hari kasih sayang Allah, kemudian sepuluh hari berikutnya yang berupa ampunan (maghfirah) dan sepuluh hari terakhir yang berupa pembebasan dari api neraka.
Hingga menuju akhir di Bulan Ramadhan, manusia akan berlomba-lomba menemukan sebuah malam yang lebih utama daripada seribu bulan. Disebut dengan lailatul qadr. Para manusia akan berjihad membuang jauh hawa nafsunya demi mendekatkan diri kepada Allah. Malam itu diprediksi oleh banyak ulama dengan clue yang Rasulullah saw berikan yang berupa malam ganjil di akhir Ramadhan. Selama itulah prosesi yang manusia jalani selama bulan ini dengan dua fase yakni pembersihan dan penghiasan diri dengan amal (Takhalli dan Tahalli).
Usai semua prosesi telah dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan dengan tujuan mendekatkan diri sehebat-hebatnya kepada Allah, manusia akan mendapati prosesi Tajalli (manifestasi) pasca bulan itu. Masuklah manusia ke bulan Syawwal yang dikenal dengan Idul Fitri. Hari Raya Suci. Kembalilah manusia kepada fase dimana ia bersih bagai bayi yang baru saja lahir. Putih bersih tanpa dosa. Tentunya manusia tidak akan pernah bisa sendiri mencapai fase itu dan sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Manusia akan kembali menjadi sosok suci dengan semua peleburan itu dengan bimbingan Rasulullah saw yang mengajarkannya melalui para pendahulu manusia dengan lafadz dan amal yang terwariskan. Maka dari itu fase manifestasi paling paripurna iki hanya akan didapati oleh manusia-manusia pilihan Allah, yang memeras dirinya dan membuang segala kotoran yang meliputi dirinya sejak saat mereka baligh hingga saat ini. Maka makna “fitri” yang terkandung sebetulnya memiliki tafsiran yang amat mendalam. Sudahkah sifat fitri itu kita siapkan semenjak Bulan Ramadhan berjalan? Sudahkah kita lulus menjadi manusia dengan itu semua?
Please login to comment