Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pernikahan Nabi Muhammad Saw: Menepis fitnah, menggali hikmah

Avatar photo
69
×

Pernikahan Nabi Muhammad Saw: Menepis fitnah, menggali hikmah

Share this article

Keberhasilan Nabi Muhammad Saw dalam mengislamkan bangsa Arab, yang sebelumnya dikenal sebagai penyembah berhala serta kesuksesannya dalam mengelola berbagai aspek kehidupan, telah menarik perhatian banyak kalangan untuk mengkaji siapakah sosok Nabi Muhammad ini sebenarnya, khususnya dalam kehidupan pribadinya. Salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah pernikahannya. Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad Saw dikenal sangat berhasil dalam membina rumah tangganya. Beliau merupakan teladan seorang suami yang diidam-idamkan oleh banyak wanita berkat keagungan akhlak dan budi pekertinya.

Namun demikian, pernikahan ini kerap dijadikan dalil bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membenarkan praktik poligami secara tidak proporsional. Bahkan, sebagai kalangan yang tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan, menjadikan pernikahan ini sebagai dalih untuk menjatuhkan harga dirinya.

Misalnya, adanya anggapan jika pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah sebagai bentuk penyimpangan atau perampasan hak-hak anak atau sekedar pemuas hawa nafsu akibat nabi memiliki banyak istri. Tuduhan semacam ini hanyalah upaya untuk merendahkan martabat Nabi Muhammad Saw dan agama Islam. Lantas bagaimana sebenarnya peristiwa tersebut, dan apa hikmah di balik poligami yang dilakukan oleh Nabi?

Pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Sayyidah Aisyah

Nabi Muhammad Saw menikahi Sayyidah Aisyah saat usianya tujuh tahun dan mulai hidup bersama ketika Aisyah berusia sembilan tahun. Tidak tanggung-tanggung mahar yang Rasul berikan padanya yaitu sebanyak 400 dirham. Nabi menikahi Aisyah memang di usia yang sangat belia, jika dibandingkan dengan perempuan seusianya di zaman sekarang.

Perbandingan itu tentu bisa disamakan, kondisi sosial dan geografis tentu mempengaruhi pertumbuhan seorang anak. Karenanya, Aisyah saat itu dianggap sebagai seorang perempuan yang sudah dewasa. Dalam kehidupan rumah tangganya, Aisyah terlihat sangat bahagia. Hal tersebut bisa tergambar lewat kisah-kisah romantis yang ia lalui bersama Rasul Saw. Jadi, tidak bisa dikatakan jika Aisyah tidak bahagia atau merasa tersiksa dengan pernikahan yang berlangsung ini.

Usianya yang masih muda ini menjadi salah satu hikmah dibalik pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Rasulullah Saw, yaitu kuatnya hafalan dan banyaknya ilmu pengetahuan yang ia dapatkan dari nabi selama berumah tangga. Sepeninggal Rasul, umatnya menjadikan para sahabat sebagai tempat bertanya, tidak terkecuali pada Bunda Aisyah, khususnya bagi kalangan wanita yang malu bertanya langsung pada Nabi Saw, baik saat beliau masih hidup atau telah wafat.

  • Mereka mendatanginya tidak hanya membahas seputar agama saja, melainkan juga urusan muamalah dan domestik. Atha bin Rabah meriwayatkan bahwasanya, “Aisyah adalah orang yang paling fakih, paling berilmu dan pendapatnya paling baik secara umum” Imam az-Zuhri juga mengatakan, “Seandainya ilmu Aisyah dibandingkan dengan kumpulan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu yang Aisyah miliki pasti lebih unggul.”

Benarkah Nabi Muhammad Tidak Cukup Hanya dengan Satu Wanita (Istri)?

Kesetiaan Nabi Saw pada istrinya tidak perlu diragukan lagi. Sebut saja ketika Nabi mempersunting Sayyidah Khadijah, istri pertama Nabi Saw hingga mencapai 25 tahun usia pernikahan. Selama Khadijah hidup, Nabi tidak pernah melakukan praktik poligami, karena kehadirannya sudah cukup untuk Rasul.

Banyak kekhususan yang dimiliki Khadijah di antaranya: Pertama, menjadi istri pertama Rasul Saw. Kedua, tak pernah dimadu oleh Nabi Saw di saat ia masih hidup. Ketiga, satu-satunya istri yang melahirkan anak untuk Rasul Saw. Keempat, cintanya Rasul pada istri-istrinya tak pernah melebihi rasa cinta Nabi pada Khadijah. Kelima, Rasul menamai hari wafatnya Khadijah dengan Ammul Huzn (tahun kesedihan). Kepergian Khadijah ibarat seperti kehilangan separuh jiwa bagi Nabi Muhammad Saw.

Menikahi Wanita-Wanita Sepeninggal Khadijah

Menikahi perempuan-perempuan lain setelah wafatnya Khadijah bukan berarti menandakan ketidaksetiaan Nabi pada istrinya (adanya keinginan poligami). Akan tetapi banyak alasan dan hikmah dibalik pernikahan ini. Rasulullah Saw merupakan sosok laki-laki ideal dan menjadi manusia terbaik sepanjang zaman.

Banyak dari kalangan laki-laki yang ingin berpoligami dengan tujuan mengikuti Rasul Saw dan berlandaskan pada surah an-Nisa’ ayat 3 yang artinya, “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi , dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut untuk tidak berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.”

Padahal, jika ia beralasan ingin memiliki istri lebih dari satu (dua, tiga dan empat) tentu ia juga harus bercermin pada sosok Rasul dan meniru budi pekertinya. Bahkan, pada ayat tersebut juga dijelaskan jika seorang suami tidak mampu berlaku adil maka ia cukup menikahi satu wanita saja. Perkara berlaku adil bukanlah hal yang mudah, banyak hal-hal yang nantinya bisa saja mengganggu keutuhan rumah tangga jika seorang suami tidak mampu berlaku adil.

Terlebih lagi, menikahi perempuan lebih dari empat orang adalah hak khususiyah (kekhususan) yang Allah berikan kepada Rasulullah Saw, tidak pada umatnya secara umum. Hak ini diberikan oleh Allah SWT untuk menunjukkan keistimewaan Nabi jika dibandingkan dengan manusia pada umumnya.

Hikmah di Balik Pernikahan Nabi Dengan Istri-istrinya

Dalam kitab Azwaj ar-Rasul (Istri-Istri Rasul), karangan Syekh Alwi bin Hamid bin Muhammad bin Syihab ad-Din dijelaskan hikmah Rasul poligami di antaranya:

  1. Agar kabilah dari wanita tersebut bisa menyaksikan akhlak-akhlak nabi secara langsung. Sehingga tidak akan ada lagi anggapan jika nabi adalah seorang penyihir.
  2. Agar bertambah rasa saling mengasihi antar dua kabilah, yaitu kabilah dari nabi dan istrinya.
  3. Agar Nabi mempunyai keluarga yang banyak.
  4. Memudahkan Nabi untuk menyampaikan risalah-risalahnya.
  5. Dengan adanya hubungan pernikahan tersebut maka kabilah perempuan itu akan mulia karena kemuliaannya Rasulullah Saw.

Jadi bisa disimpulkan bahwasanya nabi menikah dengan istri-istrinya tidak semata-mata hanya karena dorongan nafsu, atau ingin merampas hak-hak wanita, akan tetapi banyak hikmah luar biasa yang terkandung di dalamnya seperti yang telah dijelaskan di atas.

Kontributor

  • Kurniawati Musoffa

    Alumni Pesantren Haur Kuning dan Maha Santri Ma’hadaly Sai’idusshiddiqiyah Jakarta.