Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri dalam kunjungannya ke Indonesia tahun ini berkesempatan untuk dapat bersilaturahmi dengan maestro tafsir Indonesia, Prof. DR. Muhammad Quraish Shihab di kediaman beliau di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan, Kamis 25/08/2022.
Pertemuan ini tentu menjadi momen yang sangat istimewa, sebab dua tokoh ini dikenal sebagai cendekiawan muslim kaliber dunia yang sangat getol mengampanyekan nilai-nilai kemanusiaan.
Mungkin saya keliru, namun seingat saya, sepeninggal Gus Dur, sepertinya tidak banyak cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki kapasitas untuk dapat menarasikan semangat kemanusiaan Islam seperti yang Prof. Quraish telah lakukan.
Dalam banyak kesempatan, beliau selalu menekankan sebuah kaidah penting yang menjadi landasan muamalah kita berhadapan dengan realita hukum yaitu bahwa dimensi kemanusiaan harus mendahului dimensi keberagamaan.
Bagi Prof. Quraish , mengutamakan kemanusiaan adalah fitrah yang sejalan dengan akal dan syariat. Mengedepankan kemanusiaan dari keberagamaan bukan berarti meninggalkan agama, sebab keberagamaan tentu bukan agama; keberagamaan lebih diartikan sebagai sikap dan corak dalam mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama itu sendiri.
Dalam pidato beliau saat menghadiri konferensi internasional untuk persaudaraan kemanusiaan di Abu Dhabi pada tahun 2019 lalu, Prof. Quraish yang juga anggota dari Majlis Hukama Al-Muslimin ini memberikan sebuah narasi besar tentang bagaimana persaudaraan kemanusiaan ini dibangun.
Menurut beliau, kemanusiaan bukan hanya manusia. Pun, persaudaraan manusia bukan sekadar hubungan, melainkan konsep manusia sosial dan hubungan yang terbangun di atas dasar nilai-nilai keadilan, perlakuan baik, kasih sayang, dan kedamaian, bahkan mementingkan orang lain dan berkorban.
Nilai-nilai kemanusiaan semacam ini tentu menjadi pijakan penting kita saat berinteraksi dengan banyak persoalan hukum. Prof. Quraish dalam banyak kesempatan sering mencontohkan sebuah sikap prioritas ketika kita dihadapkan pada sebuah situasi antara menunaikan ibadah haji, atau membantu keluarga dekat kita yang terlantar! Tentu membantu keluarga harus menjadi prioritas, sebab itulah nilai kemanusiaan.
“Agama ini diturunkan Tuhan untuk manusia. Bukan manusia untuk agama,” ungkap Prof. Quraish dalam sebuah ulasan.
Narasi kemanusiaan Prof. Quraish ini sama persis dengan apa yang Habib Ali Al-Jufri kampanyekan dalam buku kumpulan artikel beliau yang berjudul “al-Insaniyyah qabla At-Tadayyun”. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan dengan judul “Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan”.
Selain buku, dalam Channel Youtube resmi beliau, Habib Ali Al-Jufri juga telah membuat sebuah program khusus yang memvisualisasikan narasi dari buku tersebut dalam bentuk videografis yang dengan izin beliau telah dialihbahasakan oleh tim Youtube Sanad Media sebanyak 31 episode.
Narasi “al-Insaniyyah qabla At-Tadayyun” (Kemanusiaan sebelum Keberagamaan) Habib Ali Al-Jufri adalah narasi besar tentang visi Islam yang sangat mengedepankan dimensi kemanusiaan. Dalam bukunya, Habib Ali Al-Jufri menawarkan sebuah pandangan kontemplatif dan solusinya terhadap isu isu kekinian, mulai dari permasalahan kaum muda, trend atheisme, terminologi kafir, politisasi mimbar, pandangan beliau terhadap kaum disabilitas sampai tema tema seperti marxisme semua dibahas dalam buku tersebut.
Kemanusiaan menurut Habib Ali Al-Jufri ibarat wadah dan keberagamaan sebagai isinya. Pemahaman agama seseorang akan tumbuh subur jika rasa kemanusiaan telah terbentuk. Sebaliknya, nilai keagamaan seseorang tidak akan tumbuh pada jiwa yang berakhlak buruk dan tidak memiliki rasa kemanusiaan yang baik.
Sejalan dengan Prof. Quraish, kemanusiaan menurut beliau adalah visi dari peradaban Islam yang mulia. Beliau menyatakan bahwa siapa saja yang mengabaikan hubungan kemanusiaan, kesucian hidup manusia, dan kesejahteraan masyarakat, maka keimanannya seakan dibangun di tepi jurang yang runtuh dan mudah roboh saat terkena cobaan.
Habib Ali Al-Jufri juga mengkritik para pendakwah yang seringkali menggunakan bahasa yang kasar dan intimidatif dalam dakwahnya dan mengatakan bahwa mereka adalah sebab menjauhnya sebagian orang dari Islam. Bahkan kepada kelompok radikalis pun, Habib Ali Al-Jufri mengingatkan agar sejatinya kita dapat menguatkan sisi kemanusiaan dalam diri mereka sebelum merubah cara mereka beragama. Hal ini karena radikalisme bukan hanya bersumber dari cara berpikir yang salah, namun juga dari kondisi mental yang kurang baik. Mental yang sehat akan menghasilkan sikap yang luhur. Sebaliknya, mental yang sakit akan mendorong kepada perilaku yang buruk.
Baik Prof. Quraish maupun Habib Ali Al-Jufri sama sama terlahir dari tradisi Alawiyyin yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah Saw. Bertemunya dua tokoh ini di Indonesia -meskipun bukan dalam sebuah forum seminar Ilmiah- menjadi angin segar dalam penguatan narasi keberagamaan yang moderat di Indonesia; Dua Habib level internasional; dua latar belakang budaya dan satu visi kemanusiaan. Membayangkan pertemuan ini saja telah membuat kita optimis bahwa dakwah santun dan luhur tanpa marah dan mubahalah akan tetap bersemi di tanah air kita ini.
Selain kesamaan nasab dan sanad yang tersambung kepada sadah alawiyah, sanad keilmuan Prof. Quraish dan Habib Ali Al-Jufri juga sama sama tersambung dengan pusat keilmuan Islam di Al-Azhar, Mesir. Keduanya bertemu dengan para kibar masyayikh Al-Azhar dan mewariskan semangat keislaman dari kearifan mereka baik riwayat maupun dirayat.
Baik Prof. Quraish dan Habib Ali Al-Jufri sama-sama seorang pemikir Islam yang memiliki falsafah pemikirannya sendiri. Kesantunan, akhlak dan visi kemanusiaan yang mereka perjuangkan tentu akan menjadi titik tolak dan pedoman kita dalam menapakai jalan Islam yang rahmatan lil alamin di kemudian hari; Islam yang mengedepankan kemanusiaan, perdamaian dan kedamaian,bukan islam yang mengedepankan dendam dan caci maki.