“Rumah sakit adalah,” tulis Ibnu Jubair, “salah satu bukti paling nyata kemuliaan Islam.”
Tidak ada salahnya, sebagai manusia modern, sesekali kita menengok pusat-pusat penyehatan di masa silam Islam. Untuk sekadar memperkaya khazanah keagamaan maupun demi perenungan ilmiah lainnya.
Dalam istilah aslinya, rumah sakit disebut sebagai Bimaristan, ada pula yang menyebutnya Dar al-Syifa’. Keduanya beda secara etimologi namun memiliki kemiripan arti. Bimaristan, atau cukup maristan, berasal dari kosakata Persia: bimar, vimar, atau vemar berarti orang sakit; disandarkan dengan kata “stan” yang artinya tempat. Sementara Dar al-Syifa’ jelas dari Bahasa Arab, kurang lebih bisa diterjemahkan sebagai tempat pemulihan.
Dalam artikel sebelumnya, Bimaristan Al-Mansuri sudah sedikit disinggung, sebuah institusi pelayanan kesehatan yang berdiri sejak tahun 1284 M., dibangun dengan empat pintu masuk, masing-masing memiliki air mancur di tengah-tengahnya. (Silakan baca: Telusur Jejak Rumah Sakit Islam Masa Silam).
Baca juga: Rumah Sakit Zaman Dinasti Islam: Pasien Enggan Pulang, Orang Sehat Mengaku Sakit
Sultan Mamluk Qalawun menegaskan bahwa maristannya harus memiliki staf kesehatan yang kompeten, sejumlah dokter, berikut perlengkapan yang memadai. Pegawai baik pria maupun wanita ia tunjuk untuk melayani pasien yang ditempatkan di bangsal yang terpisah satu sama lain, perawat pria melayani pasien pria demikian pula perawat putri khusus di bangsal putri.
Kamar pasien memiliki ranjang berkasur berikut area khusus yang terjaga higienisnya. Air bersih tersedia di seluruh area rumah sakit. Di salah satu bagian gedung, dokter senior yang juga merangkap sebagai direktur Bimaristan menempati ruangan khusus untuk praktik sekaligus tempat memberikan kuliah umum kesehatan. Tidak ada batasan jumlah pasien yang mampu ditampung, karena pada waktu itu sudah berkembang praktik rawat jalan. Apotek di sudut bangunan menyediakan berbagai obat-obatan untuk dibawa pulang pasien sesuai anjuran tabib.
Bimaristan Al-Mansuri adalah salah satu rumah sakit di dunia Muslim yang dikelola secara efisien. Ibn Jubair, seorang musafir abad ke-12, bahkan memuji tata cara Bimaristan Al-Nuri dalam menjamin kesejahteraan pasien. Dia berkata:
Yang terbaru (rumah Sakit al-Nuri) adalah yang paling banyak dikunjungi juga lebih besar dari yang sebelumnya (rumah sakit di Damaskus). Anggaran hariannya sekitar 15 dinar. Memiliki seorang pengawas yang bertanggung jawab sebagai juru tulis yang mencatat nama-nama pasien berikut pengeluaran untuk obat-obatan yang diperlukan, bahan makanan, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan. Para dokter datang pagi-pagi sekali untuk memeriksa penyakit serta memberikan sekaligus mempersiapkan resep obat-obatan juga konsumsi yang dianjurkan terhadap setiap pasien.”
Sang pengembara Ibn Jubair banyak memberikan catatan penting bagi sejumlah rumah sakit di setiap kota yang ia lalui, hal yang kemudian mendorongnya mengatakan bahwa rumah sakit adalah salah satu bukti paling nyata keagungan Islam.
Baca juga: Wabah dalam Catatan Ulama Klasik
Sekolah Kedokteran
Rumah sakit merangkap sebagai lembaga pendidikan kesehatan, atau sekolah kedokteran, berperan sebagai wadah pertama untuk orientasi serta pelatihan bagi mahasiswa baru ilmu kedokteran, hal yang masih kerap terlihat sampai hari ini. Berabad-abad lalu, rumah-sakit-pendidikan seperti ini menyediakan pelajaran praktis dan teoretis bagi segenap siswanya.
Pengajaran dilakukan baik secara kelompok maupun privat seperti layaknya saat ini. Kuliah umum diselenggarakan di aula besar rumah sakit, biasanya pokok bahasannya seputar naskah-naskah medis para dokter era sebelumnya. Seusai penjelasan, narasumber yang biasanya adalah dokter spesialis bertanya dan menjawab beberapa pertanyaan siswa.
Banyak siswa mempelajari naskah kedokteran langsung dengan dokter terkemuka, saat itu kertas melimpah ruah di dunia Muslim, di era yang saat ini sering dikenang sebagai era keemasan. Bukti paling kuat sebagai tolak ukur kegemilangan era pramodern tidak lain adalah kertas, kertas, dan kertas.
Baca juga: Mengenang al-Urmawi, Pakar Fikih yang Lihai Bermusik
Di samping pengajaran, praktik langsung dalam sebuah kelompok belajar yang dibimbing langsung oleh dokter senior dipandang sebagai hal sakral yang amat penting. Siswa secara langsung mengamati dokter dalam memeriksa pasien juga menentukan dosis pengobatannya.
Salah satu sekolah kedokteran seperti itu dijumpai di Bimaristan Al-Nuri di Damaskus. Atas saran seorang dokter bernama Abu al-Majid al-Bahili, penguasa Suriah abad ke-12, Nuruddin Zanki (1118-1174 M.) mendirikan rumah sakit di Damaskus yang diberi nama al-Nuri. Penamaan yang tidak lain disesuaikan dengan nama pendirinya.
Amir Damaskus dan Aleppo dari kekaisaran Seljuk tersebut tidak hanya memenuhi persediaan makanan dan obat-obatan yang dibutuhkan saja, namun juga menyumbangkan sejumlah besar buku-buku medis yang didatangkan dari berbagai belahan dunia, kemudian ditata di aula khusus sehingga menjadi semacam pustaka kesehatan.
Bila kita merunut rentetan sejarah, misalnya seperti yang disinggung M. Meyerhof selaku sejarawan medis asal Jerman yang bertahun-tahun riset di Kairo, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa transformasi bentuk rumah sakit hingga hari ini berawal dari keterpanaan pasukan Salib terhadap sejumlah rumah sakit yang antara lain sudah disinggung di atas, dari sanalah kemudian mereka mengadopsi dan mengembangkan institusi-institusi serupa.
Secara umum, semua yang tampak di mata kita terangkum dalam ucapan Dwight D. Eisenhower: “Civilization owes to the Islamic world some of its most important tools and achievements…”