Keberadaan seorang pemimpin dalam setiap komunitas baik itu lembaga ataupun organisasi sangatlah penting dan krusial. Tanpa pemimpin suatu komunitas akan tidak teratur dan sulit untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Seorang pemimpin menjadi pengambil keputusan bagi setiap kebijakan yang diambil lembaga tersebut. Pemimpin juga menjadi pencipta harmoni di antara anggota komunitas dan berbagai elemen yang bernaung di bawahnya. Dalam Islam penunjukkan pemimpin atau imam merupakan bagian dari syariat. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw., “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.”
Berdasarkan sabda Rasulullah saw. ini, apabila ada tiga orang atau lebih yang berkumpul, mereka haruslah mengangkat seorang di antara mereka menjadi pemimpin.
Begitu pun yang terjadi pada lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi di dunia. Setiap lembaga dan organisasi pastilah menunjuk satu orang untuk menjadi pemimpin tertinggi sebagai pemimpin, pengelola, dan representasi lembaga atau organisasinya dalam berhubungan dengan lembaga atau organisasi lainnya.
Seperti halnya lembaga-lembaga lain di dunia, Al-Azhar sebagai salah satu institusi keagamaan dan pendidikan Islam terbesar dan tertua di dunia, juga memiliki pemimpin tertinggi yang membawahi banyak elemen di bawahnya, dan memiliki tugas-tugas tertentu baik untuk kemaslahatan internal Al-Azhar secara khusus, maupun untuk kemaslahatan umat Islam secara umum. Pemimpin tertingginya disebut Grand Syekh al-Azhar atau Imam Besar al-Azhar.
Awal Mula Jabatan Grand Syekh Al-Azhar
Jika ditinjau dari sisi sejarah, al-Azhar sebagai lembaga keagamaan pada awal berdirinya tidaklah sekompleks hari ini. Di awal berdirinya di masa Dinasti Fatimiyah, al-Azhar hanya berupa masjid dan hanya mengurusi berbagai hal yang menyangkut peribadatan dan perayaan hari besar saja.
Pemimpin tertinggi al-Azhar saat itu bergelar Khatib al-Azhar. Sebagaimana dituliskan oleh Sejarawan Mesir al-Maqrizi dalam al-Khithath al-Maqriziyah juz 4, Khatib al-Azhar memiliki beberapa tugas yang diembannya, yaitu: menjadi imam shalat jamaah di masjid al-Azhar, menjadi khatib pada Khutbah Jum’at di masjid al-Azhar, menjadi khatib pada perayaan-perayaan “Maulid Yang Enam” yang dirayakan oleh khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah, dan menjadi pemimpin keagamaan bagi imam-imam masjid lain di Mesir. Dengan begitu imam-imam masjid lain di Mesir harus tunduk pada fatwa-fatwa Khatib al-Azhar.
Pengurusan masjid al-Azhar di masa awal berdirinya dibagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian menjadi tanggung jawab orang-orang tertentu. Misalnya, dalam urusan perawatan bangunan masjid, infak, dan ketakmiran menjadi tanggung jawab para khalifah Daulah Fatimiyah. Dalam urusan ritual keagamaan seperti penyelenggaraan shalat, penunjukan muazin, khutbah Jum’at, dan perayaan hari-hari besar Islam menjadi tangunggjawab Khatib al-Azhar.
Untuk urusan manajemen masjid yang meliputi kebersihan masjid, perawatan interior dan eksterior masjid, hingga pelayanan sehari-hari untuk para jama’ah menjadi tanggung jawab musyrif masjid beserta para pelayanan dan pembantunya. Di sisi lain musyrif juga bertanggung jawab kepada Khatib al-Azhar dalam urusan manajemen masjid.
Sedangkan masalah pembiayaan operasional masjid, gaji khatib, muazin, musyrif, dan para pelayan masjid, hingga biaya hidup para pelajar yang menginap di asrama masjid Al-Azhar merupakan tanggung jawab Khalifah melalui para menterinya. Di masa sekarang segala biaya operasional masjid Al-Azhar menjadi tanggungjawab Al-Azhar sendiri.
Tugas khatib Al-Azhar terus mengalami perkembangan dalam hal kepentingan dan kompleksitasnya, mengikuti perkembangan peran Al-Azhar di Mesir secara khusus dan dunia Islam secara umum. Itu mengapa hari ini pemimpin tertinggi Al-Azhar tidak lagi bergelar khatib, namun berubah menjadi Grand Syekh Al-Azhar. Hal ini karena hari ini peran Al-Azhar tidak hanya mengurus soal peribadatan dan perayaan hari-hari besar Islam saja, namun sudah merambah ke dunia pendidikan, wakaf, hukum, hingga lembaga riset dan literatur Islam. (Ibnu Muyassar: tt.)
Pemilihan khatib al-Azhar di masa kekuasaan Daulah Fatimiyah didasarkan pada kedudukan seorang ulama di mata penguasa Fatimiyah. Di awal berdirinya masjid al-Azhar, khatib dipilih dari kalangan dai-dai senior yang memiliki kedudukan tinggi di lingkungan Kesultanan Fatimiyah. Misalnya Abu al-Fakhr Shalih yang menjadi khatib al-Azhar di awal abad ke-6 H.
Pada masa-masa selanjutnya terutama di era Daulah Mamluk dan Turki Utsmani, Al-Azhar semakin mandiri dan tidak banyak diintervensi oleh kerajaan kecuali di era rezim Muhammad Ali Pasha. Pemilihan Grand Syekh al-Azhar saat itu dilakukan sendiri oleh para ulama-ulama besar Mesir dan kandidatnya adalah para ulama-ulama senior yang memiliki kedudukan ilmiah yang tinggi di antara para ulama, semisal Qadhi Qudhât Tajuddin bin Bint al-A’z yang menjabat khatib al-Azhar di akhir abad 7 H dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani pengarang kitab Fathul Bari yang menjadi khatib al-Azhar di awal abad 9 H.
Pemilihan Grand Syekh Al-Azhar
Sering kali orang-orang di luar Al-Azhar keliru mengatakan bahwa Grand Syekh al-Azhar adalah rektor Universitas al-Azhar. Faktanya Grand Syekh al-Azhar justru lebih tinggi kedudukannya daripada rektor Universitas al-Azhar.
Grand Syekh al-Azhar adalah pemimpin tertinggi Al-Azhar yang membawahi berbagai elemen di bawahnya, mulai dari pendidikan dasar, menengah, atas, hingga universitas. Juga memimpin masjid al-Azhar, lembaga fatwa, lembaga riset, jurnalistik, penerbitan, hingga badan wakaf Al-Azhar. Itu mengapa seperti yang sudah disinggung sebelumnya, gelar khatib hari ini tidak lagi disematkan kepada pemimpin tertinggi Al-Azhar, namun diganti dengan gelar al-Imam al-Akbar (Imam Besar) atau Syekh al-Kabir al-Azhar yang dalam bahasa Indonesia disebut Grand Syekh al-Azhar. Terkadang juga disebut dengan gelar Syekh al-Azhar saja.
Secara resmi penggunaan gelar Grand Syekh al-Azhar menggantikan gelar khatib al-Azhar dimulai tahun 1010 H atau 1679 M. Orang pertama yang menduduki jabatan ini adalah Syekh Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi. Jabatan Grand Syekh al-Azhar berlaku seumur hidup, sehingga pergantian hanya terjadi jika Grand Syekh al-Azhar yang menjabat wafat atau mengundurkan diri.
Pada masa kekuasaan Turki Utsmani di Mesir, pemilihan Grand Syekh al-Azhar dilakukan oleh para ulama senior al-Azhar dan hasil pemilihan dilaporkan ke Gubernur Turki Utsmani di Kairo untuk diresmikan dan dilantik. Namun pada masa rezim Muhammad Ali Pasha, intervensi Gubernur Kairo dalam pemilihan Grand Syekh al-Azhar sangat besar. Sehingga hanya orang-orang yang direstui oleh rezim saja yang bisa menjabat posisi ini.
Pada masa kepemimpinan Grand Syekh al-Azhar Salim al-Bisyri di tahun 1911 M bertepatan dengan 1239 H, didirikanlah Majelis Ulama Senior al-Azhar (Hai`ah Kibâr ‘Ulamâ` al-Azhar) sebagai lembaga dewan ulama al-Azhar yang bertugas mengawasi kinerja Grand Syekh al-Azhar dan memilih Grand Syekh al-Azhar yang baru jika Grand Syekh yang menjabat wafat. Pendirian lembaga dewan ini berdasarkan Undang-undang Mesir nomor 10 tahun 1911. Nantinya Grand Syekh al-Azhar juga dipilih dari anggota-anggota Majelis Ulama Senior al-Azhar. Namun pada masa kekuasan Presiden Gamal Abdul Nasir Majelis Ulama Senior al-Azhar dibubarkan berdasarkan Undang-undang Mesir nomor 103 tahun 1961. Sebagai gantinya didirikanlah Akademi Riset Islam al-Azhar (Majma’ al-Buhūts al-Islâmi bi al-Azhar).
Majma’ al-Buhūts al-Islâmi bi al-Azhar ini beranggotakan lima puluh orang ulama al-Azhar dan Grand Syekh umumnya dipilih dari kelima puluh anggota ini. Setelah dipilih melalui pemilihan tertutup para anggota Akademi Riset ini, kemudian Grand Syekh al-Azhar terpilih akan ditetapkan dan dilantik oleh presiden Mesir.
Pada tanggal 17 Juni 2012, Hai`ah Kibâr ‘Ulamâ` al-Azhar kembali didirikan dan diberi kewenangan memilih Grand Syekh al-Azhar, memilih Mufti Agung Mesir, dan membuat keputusan-keputusan keagamaan dan hukum di Mesir, misalnya penetapan hukuman mati kepada seorang terpidana.
Di masa sekarang, Hai`ah Kibâr ‘Ulamâ` al-Azhar akan memilih tiga orang untuk menjadi kandidat Grand Syekh al-Azhar melalui pemilihan tertutup, dan Presiden Mesir akan memilih satu orang untuk menduduk posisi tertinggi di Al-Azhar ini. Grand Syekh al-Azhar memiliki posisi setara dengan perdana menteri Mesir dalam struktur politik, gaji, dan pensiunan.
Persyaratan menjadi seorang Grand Syekh al-Azhar selain dalam hal keilmuan adalah warga negara Mesir, kedua orang tuanya adalah seorang warga negara Mesir yang muslim, dia adalah lulusan salah satu fakultas keagamaan di Universitas al-Azhar yaitu Syariah Islamiyah, Ushuluddin, Dakwah, dan Bahasa Arab, dan dia mengenyam pendidikan pra-universitasnya di lembaga-lembaga pendidikan al-Azhar.
Grand Syekh al-Azhar hari ini selain bertanggung jawab memimpin al-Azhar, juga diberi kewenangan memutuskan berbagai hal yang berkaitan dengan urusan keagamaan, al-Qur’an, dan ilmu-ilmu keislaman. Ia merupakan pemimpin tertinggi terkait studi keislaman di al-Azhar dan mengepalai Dewan Tertinggi al-Azhar (Majelis al-A’lâ al-Azhar).
Hingga kini sudah ada 44 orang Grand Syekh al-Azhar dengan Syekh Muhammad al-Khurasyi sebagai yang pertama menjabat dan Syekh Ahmad Thayyib yang saat ini menjabat. Syekh Abdullah asy-Syabrawi adalah Syekh al-Azhar yang paling lama menjabat yaitu 34 tahun dan Syekh Abdurrahman an-Nawawi adalah Syekh al-Azhar yang paling pendek masa jabatannya yaitu hanya satu bulan saja.
Daftar Pustaka:
- Ibnu Muyassar, Al-Muntaqī fī Ahkbâr Mishr (Kairo: Ma’had al-Faransi li at-Turats asy-Syarqiyah, tt.).
- Khafaji, Muhammad Abdul Mun’im, Al-Azhar fī Alf ‘Âm (Kairo: Maktaba al-Azhariyah li at-Turâts, 2011), Vol. I.
- Maqrizi, Ahmad bin Ali, Khithath al-Maqriziyah (Kairo: Mathba’ah an-Nīl, 2019), Vol. IV.