Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Semangat Belajar Imam An-Nawawi dan Kecintaannya pada Ilmu

Avatar photo
40
×

Semangat Belajar Imam An-Nawawi dan Kecintaannya pada Ilmu

Share this article

Abu Zakariya Yahya bin Abi Yahya Syarf bin Mira bin Hasan Bin Husein Al-Hizami An-Nawawi. Dia terkenal dengan Imam An-Nawawi. Pemilik karya-karya yang manfaatnya mendunia. Cahayanya terpancar dari timur ke barat. Sang wali zuhud dan warak.

Imam An-Nawawi dilahirkan pada pertengahan bulan Muharram 631 H. Nama Al-Hizami nisbat kepada pendahulunya. Sedangkan An-Nawawi nisbat kepada tempat tinggalnya di Nawa, sebuah daerah di Suriah.

Salah satu muridnya, Syekh Ibnu Al-Aththar menuturkan bahwa ayahnya pernah bercerita tentang An-Nawawi kecil sewaktu berumur 7 tahun. Pada tengah malam ke 27 bulan Ramadhan, dia terbangun lalu membangunkan ayahnya. Dia berkata, “Wahai ayahku, cahaya apa yang telah menerangkan rumah kita ini? Ayahnya yang merasa heran kemudian membangun semua penghuni rumah. Semuanya telah bangun, dan tak ada satu pun yang melihat cahaya yang dilihat olehnya. Akhirnya, ayahnya sadar. Malam itu adalah Lailatul Qadar.

Wali agung pada masanya, Syekh Yasin bin Yusuf (w. 687 H) juga pernah bercerita kepada murid-muridnya tentang sosoknya, “Suatu hari, aku melihat An-Nawawi kecil yang masih berumur 10 tahun. Tidak ada teman sebaya yang ingin bermain bersamanya. Akibat perlakuan buruk teman-temannya, dia pun asyik dengan Al-Qur’an. Aku pun jatuh hati melihat dirinya.”

Baca juga: Mengenal Kehebatan Imam Al-Ghazali dari Karya Tulisnya

Syekh Yasin juga bercerita bahwa dia selalu dibawa ayahnya ke toko miliknya. Dia tidak menyibukkan dirinya dengan jual beli, dia hanya membaca Al-Qur’an disana. Aku datang ke sana sambil membawa sekaligus menyarankan seorang guru Al-Qur’an untuknya. “Anak ini sangat diharapkan akan menjadi ulama besar di zamannya,” kataku pada ayahnya dan banyak orang akan mengambil manfaat darinya”.

Ayahnya terkejut. “Apakah kamu peramal?” tanya dia.

Syekh Yasin menjawab, “Tidak, hanya saja Allah menginginkan aku untuk mengucapkannya.”

Setelah pertemuan itu, ayahnya mengizinkan An-Nawawi kecil untuk menyibukkan diri dengan Al-Qur’an hingga hafalnya khatam.”

Imam An-Nawawi pernah bercerita kepada muridnya, Ibnu al-Aththar. “Ketika aku berusia 17 tahun, ayahku membawaku ke Damaskus pada tahun 649 H. Aku tingal di Madrasah Ar-Rawahiyyah. Selama 2 tahun di sana, aku tidak pernah meletakkan perutku di bumi (dia selalu tidur dalam posisi duduk). Aku menghafal kitab At-Tanbih karya Imam Asy-Syairazi selama 6 bulan. Aku juga menghafal kitab ibadah dari Al-Muhadzdzab selama 6 bulan.”

Al-Badr bin Jama’ah pernah bertanya kepada sang imam tentang tidurnya. Dia menjawab, “Jika suatu waktu aku begitu ngantuk, aku bersandar kehadapan kitabku sejenak, kemudian aku segera bangun dengan cepat.”

Pada tahun 651 H, awal bulan Rajab, dia dan ayahnya pergi untuk menunaikan haji. Keduanya menetap di Madinah selama satu bulan setengah. Setelah usai haji, mereka berdua kembali ke Damaskus. Mulai sejak itu, Allah mencurahkan ilmu yang banyak kepadanya. Dia mulai menapaki jalan gurunya dalam beribadah; mulai dari zuhud, warak, dan puasa terus-menerus.

Kesungguhan An-Nawawi dalam belajar tidak perlu diragukan. Dalam satu hari, dia membaca 12 pelajaran kepada guru-gurunya. Sebanyak 2 pelajaran dalam kitab Al-Wasith, satu pelajaran dalam kitab Al-Muhadzdzab, satu pelajaran dalam Ash-Shahihain, satu pelajaran dalam Shahih Muslim, satu pelajaran dalam Al-Luma’ karya Imam al-Junni dalam ilmu Nahwu, dll.

Tidak hanya sebatas itu. Dia pun tak pernah menyia-nyiakan waktunya siang dan malam. Waktunya hanya habis dalam belajar. Bahkan, ketika dalam perjalanan, dia sibuk mengulang hafalan yang ia miliki, hingga tertancap tak terlupakan.

Dalam kitab Al-Mathalib al-‘Aliyah fi Thabaqat asy-Syafi’iyah, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Wasithi menerangkan bahwa ketika seseorang bertamu ke rumahnya, Imam An-Nawawi hanya akan membalas salamnya, dan menjawab apa yang harus dijawab dalam masalah ilmu. Jika orang tersebut masih berada di sana, dia akan memberinya kitab untuk dibaca, supaya tidak mengganggu.

Dalam kitab Tuhfah al-Asyraf jilid 1 hal 91 diriwayatkan bahwa Imam An-Nawawi sedang mengulang pelajaran dan ketika lentera lampunya mati, ibu jarinya mengeluarkan cahaya. Imam Ar-Rafi’i juga pernah mengalami kisah serupa. Saat lentera padam, pohon yang ada di dekatnya akan bercahaya.

Dengan kesungguhan, dia tak lupa dengan mujahadah. Dia hanya makan satu kali dalam sehari ketika waktu Isya akhir, dan hanya minum satu kali ketika waktu sahur. Minumannya tidak pernah didinginkan. Dia juga tidak pernah memakan buah-buahan yang ada di Damaskus.

Sifat kehati-hatian yang ada pada dirinya juga hebat. Dia tidak pernah berbuat zhalim kepada orang lain. Dia juga tidak pernah menerima apapun dari orang kecuali sudah diketahui asal hartanya dan amanahnya dalam agama.

Semua apa yang dilakukannya tergambarkan dalam karya-karyanya. Semua yang ditulisnya telah tersebar ke penjuru dunia. Di mana pun ada penuntut ilmu, di situ ada kitab karyanya.

Baca juga: Dari Ibnu Sina hingga Mbah Moen, Kisah Orang-orang yang Tidak Berhenti Belajar

Dua bulan sebelum wafat, Imam An-Nawawi memulai menziarahi guru-gurunya baik yang masih hidup seperti Syekh Yusuf Al-Faqa’i atau pun yang sudah wafat. Dia juga menziarahi Baitul Maqdis dan maqam Nabi Ibrahim as.

Setelah pulang dari Baitul Maqdis, dia jatuh sakit. Mendengar kabar sang guru sakit, murid kesayangannya Ibnu al-Aththar datang menjenguk. Setelah selesai, dia pun memerintahkan muridnya untuk pulang.

Pada tanggal 20 Rajab tahun 676 H beliau kembali sehat. Hanya 3 hari berada dalam kondisi sehat, Imam An-Nawawi menghembuskan nafas terakhir pada hari Rabu tanggal 24 Rajab 676 H. Dia dimakamkan di Damaskus keesokan harinya.

Dalam Ath-Thabaqat Al-Wushta jilid 8 hal 399, Imam Tajuddin As-Subki menerangkan bahwa ketika merasa ajalnya sudah mendekat, An-Nawawi seolah mengerti. Semua kitab yang dia pinjam langsung dikembalikan ke perpustakaan wakaf.

Semua merasakan kehilangan matahari Islam, yang  telah menghabiskan hidupnya untuk menerangi umat. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa lebih dari 20 ulama pada masanya meratapi kepergiannya dengan lebih dari 600 bait syair mengantar kepergiannya.

رضي الله عن النووي و أرضاه و أعلا في المقربين نزله و مثواه، و نفعنا و المسلمين بعلمه و سيرته

Diringkas dari kitab Tuhfah ath-Thalibin fi Tarjamah Imam An-Nawawi karya muridnya, Syekh Ibnu al-Aththar dan beberapa dari kitab yang lain. Foto di depan adalah makam sang imam sebelum kemudian diledakkan oleh militan bersenjata pada 2015.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.