Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sikap Nabi terhadap hal baru dalam agama

Avatar photo
30
×

Sikap Nabi terhadap hal baru dalam agama

Share this article

Ketika menemukan hal-hal yang baru dalam agama (bid’ah), para ulama mengajarkan kita untuk mengembalikannya kepada kaidah-kaidah dan maqashid syariah. Tidak memukul rata sebagai bid’ah sesat yang tercela.

Jika ia menyelisihi, maka masuk ke dalam bid’ah yang tercela, dan jika tidak, maka ia bid’ah yang tidak tercela.

Konsep memandang bid’ah ini diambil langsung dari sikap Nabi terhadap perkara bid’ah yang terjadi di hadapan beliau.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, beliau bercerita:

Rasulullah suatu saat pernah memasuki masjid. Di sana beliau menemukan ada tali yang terbentang antara dua tiang masjid, beliau kemudian bertanya, “Apa ini?”

Para sahabat menjawab, “Ini milik sayyidah Zainab, jika merasa letih, ia berpegang di sana ketika shalat.”

Nabi kemudian bersabda, “Lepaskan tali ini, hendaknya kalian shalat ketika semangat, jika merasa letih maka duduklah (jangan dipaksakan).”

Mengikat tali di tiang masjid sebagai tempat berpegang ketika shalat adalah perkara yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi , perkara bid’ah ini beliau tolak karena menyelisihi ruh syariat yang dibangun atas kemudahan. Allah Swt berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Ini di antara bid’ah buruk yang beliau tolak karena memang menyelisihi syariat.

Coba kita perhatikan bagaiamana sikap Nabi terhadap perkara bid’ah yang tidak menyelisihi syariat:

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, suatu hari saat para sahabat berjamaah dengan Nabi, ada seorang sahabat yang berdzikir dengan dzikir yang tidak pernah diajarkan Nabi. Setelah mendengar Nabi mengucapkan sami’alllahu liman hamidah ketika bangun dari rukuk, sahabat tersebut mengatakan,

ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه

Seusai shalat, Nabi bertanya, “Siapa yang mengucapkan dzikir tadi? Saya melihat 30 sekian Malaikat berebutan siapa yang lebih dulu menulis kebaikan dzikir itu.”

Karena tidak ada kaidah dan maqashid syariah yang diselisihi, masih sejalan dengan usul (prinsip-prinsip dasar) syariah, dan tidak menafikan sunnah yang tsabit (mapan), maka Nabi menerimanya.

Kita sepakat bahwa dzikir itu akan jadi sunnah nantinya dikarenakan iqrar Nabi , tapi perlu diperhatikan:

1. Dzikir “bid’ah” yang dibuat sahabat tadi ternyata sudah diberi pahala oleh Allah bahkan sebelum Nabi menetapkannya, yakni sebelum menjadi sunnah taqririyah. Bagaimana mungkin Allah Swt memberikan ganjaran terhadap amalan yang belum Nabi tetapkan?

2. Nabi tidak melarang para sahabat berbuat bid’ah saat itu, sedangkan keadaannya menuntut untuk itu, karena jelas-jelas ada bid’ah yang terjadi di hadapan beliau. Kaidah mengatakan:

تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز

Hadits di atas dikomentari oleh Imam Ibnu Hajar dengan mengatakan,

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور، إذا كان لا يخالف المأثور

“Dari hadits itu bisa diambil dalil bahwa boleh membuat dzikir di dalam shalat, selama tidak menyelisihi dzikir ma’tsurnya.”

Syeikh Ali Jum’ah menambah penjelasan Imam Ibnu Hajar ini dengan mengatakan, “Kalau saja membuat hal baru yang tidak menyelisihi sunnah di dalam shalat diperbolehkan, maka di luar shalat tentu lebih longgar lagi.”

Ini baru satu contoh, di sana ada beberapa amalan yang dibuat oleh para sahabat yang Nabi tidak pernah mencontohkannya. Apakah semuanya Nabi tolak, ternyata tidak.

Jika ada yang bertanya, “Semua itu ada di zaman nabi, apapun itu yang baru jika ditetapkan Nabi akan jadi sunnah, bagaimana dengan sekarang?”

Ingat, Nabi Saw meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah kepada kita. Dari sana para ulama mengambil kaidah dan pedoman. Oleh sebab itu, jika kita tidak tahu apakah perkara baru ini menyelisihi syariat atau tidak, maka kita bertanya ke para ulama, merekalah yang paling tahu.

Imam Ibnu Daqiq menyampaikan bahwa bid’ah itu tertolak sebenarnya bukan semata-mata karena ia bid’ah, tapi karena menyelisihi sunnah dan membawa kepada kesesatan.

Kalimat penutup dari Imam Ghazali,

ليس كل ما أبدع منهيا، بل المنهي بدعة تضاد سنة ثابتة، وترفع أمرا من الشرع (إحياء علوم الدين، ٢٣)

“Tidak semua yang diadakan (bid’ah) itu terlarang. Melainkan yang dilarang itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah yang tsabit dan menghilangkan perintah dari syariat.” Wallahu a’lam

Kontributor

  • Amru Hamdany

    Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suka mengkaji fikih.