Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Ilmu hadits, ilmu yang terzalimi?

Avatar photo
53
×

Ilmu hadits, ilmu yang terzalimi?

Share this article

Melihat maraknya serangan terhadap Sunnah di masa mutakhir, bisa jadi ini sebagai alarm penanda geliat Ilmu Hadits sebagai benteng penjaga kewibawaan Sunnah telah mengalami kemunduran dan minat mempelajarinya menurun pada generasi muslim saat ini.

Padahal geliat ilmu hadits sebelumnya dari masa ke masa sejarah umat Islam selalu berjaya, terbuktikan dengan khazanah literaturnya yang begitu kaya. Semenjak merekahnya mentari Islam, gerakan penjagaan otensitas dan pemahaman sudah terlihat, dan terus berjaya hingga abad ke-10 hijriah. Untuk melihat bagaimana kejayaan ilmu ini di masa awalnya, silahkan rujuk ke karya Dr. Musthafa Al-A’zhami berjudul Al-Dirâsât Fî Al-Sunnah Al-Nabawiyyah (yang ditulis sebagai disertasi doktoral di Universitas Cambridge).

Bahkan keuletan para generasi awal dalam memelihara Sunnah, juga kini bisa kita lihat buktinya dari karya monumental Syekh Muhammad Hamidullah tokoh intelektual modern asal India yang berkarir di Eropa, yang melalui tangannya ratusan orang Barat masuk Islam melihat publikasi-publikasi ilmiahnya tentang otentisitas Sunnah. Di antara karyanya, Majmû’ah Al-Watsâiq Al-Siyâsiyyah Li Al-‘Ahd Al-Nabawi Wa Al-Khilâfah Al-Râsyidah. Hebatnya, tokoh ini dapat melacak keberadaan manuskrip dokumen-dokumen politik dan diplomatik Nabi, seperti piagam dan surat menyurat Nabi yang tersebar dan tersembunyi di perpustakaan-perpustakaan dunia.

Teori-teori ilmu kritik hadits melalui keabsahan sanad dan matan, sudah mulai diletakkan pondasinya dari masa tabi’in. melalui aturan-aturan tidak tertulis yang disampaikan oleh para ulamanya, seperti Ibnu Sirin (w. 110 H) dan Ibnul Mubarak (w. 118 H).

Besi pencakarnya diletakkan oleh para imam abad ketiga hijriah, seperti Imam Al-Syafi’i (w. 204 H). Melalui karyanya Al-Risalah, Al-Umm dan Mukhtalaf Al-Hadits pandangan-pandangannya pentingnya tentang Ilmu Hadits seperti masalah kehujjahan hadits mursal, masalah hadits syadz, khabar Ahad dan lainnya dinukil di berbagai kitab ilmu hadits hingga saat ini.

Begitupun teori-teori guru-guru Al-Bukhari seperti Ali Ibn Al-Madini (w. 234 H) dan Al-Humaidi(w. 219 H), termasuk Al-Bukhari (w. 256 H) sendiri dalam trilogi kitab Tarikh-nya, baik secara sharîh ataupun talmîh memberikan dasar-dasar signifikan bagi ilmu ini.

Muslim bin Hajjaj (w. 261 H) melalui muqaddimah kitab Shahih-nya dan Abu Dawud (w. 275 H) melalui Risalah Ilâ Ahli Makkah merumuskan pondasi penting bagi cabang ilmu Hadits yang kemudian dikenal dengan Manâhij Al-Muhadditsin.

Abu Dawud dalam risalahnya tersebut terhitung sebagai orang pertama yang mendefinisikan Al-Mukhâlafah, sebagai cikal bakal Ilmu Ilal. Sedangkan Muslim dalam Al-Tamyîz sebagai orang pertama yang mengkategorisasikan Ilal beserta dengan prakteknya. Syaikh Aiman Al-Hajjar berpesan, “Saya menasehati bagi yang ingin mendalami Ilmu Ilal, mulailah dengan membaca kitab Al-Tamyîz. Bisa didampingi dengan beberapa syarahnya yang kontemporer.”

Al-Tirmidzi (w. 279 H) melalui kitab Al-Ilal-nya, baik yang Al-Shagir maupun Al-Kabir memberikan prototipe yang sudah hampir sempurna bagi ilmu kritik hadits. Melalui rekaman tanya-jawabnya dengan para gurunya, termasuk Al-Bukhari.

Barulah datang Al-Ramahurmuzi (w. 360 H) sebagai orang paling pertama yang menyusun kitab khusus dalam Ilmu Musthalah Hadits, dengan mengumpulkan cabang-cabang dari epistemologi ilmu ini dalam kitabnya Al-Muhaddits Al-Fashil. Walaupun itu masih jauh dari kata memadai, di samping penyusunannya dengan gaya bahasa Adabi yang relatif sulit dipahami.

Datanglah Al-Hakim (w. 405 H) yang melengkapi kekurangan Al-Ramahurmuzi, melalui kitabnya Ma’rifatu Anwâ’ Ulûm Al-Hadîts, sebagai kitab yang pertama kali merepresentasikan kharitah sempurna dalam disiplin ini, dengan mencantumkan sebanyak 52 pembahasan. Kitab ini dilengkapi oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani (w. 430 H) dalam Al-Mustakhrij-nya. Meski demikian, masih terdapat kekurangan dari segi sistematika penyusunan.

Ilmu Hadits menemukan babak barunya dengan ketibaan Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H), selain melalui dua karya pokoknya Al-Kifâyah Fî Ilmi Al-Riwâyah dan Al-Jâmî’ Li Akhlâq Al-Râwi Wa Adab Al-Sâmi’, ia juga menyusun risalah khusus dalam setiap cabang pembahasan yang ada. Tidaklah berlebihan jika Al-Hafizh Ibnu Nuqthah memberikan pernyataan tentangnya, “Setiap orang yang objektif, pasti akan mengakui, bahwa para muhaddits setelah era Al-Khatib adalah pengikut bagi karya-karyanya.”

Dengan demikian, bangunan Ilmu Hadits sudah berdiri kokoh dari era Al-Khatib. Bangunan itu lalu dihias, didekorasi dan diperindah penataannya oleh tokoh terpenting dalam ilmu ini, yaitu Ibnu Shalah (w. 643 H). Dia mengumpulkan karya-karya Al-Khatib yang bertebaran dan melakukan Ta’shîl Qawâ’id melalui maha-karyanya yang berjudul Ma’rifatu Anwâ’ Ilmi Al-Hadîts. Lebih populer dengan sebutan Muqaddimah Ibnu Shalah (dipopulerkan oleh Aisyah Bintu Syathi’ sebagai pentahqiq pertama kitab ini di masa kontemporer).

Keberkahan Ibnu Shalah sebagai seorang muhaddits dan faqih, menjadikan karyanya itu menjadi poros baru bagi khazanah ilmu hadits. Karya-karya selanjutnya dalam ilmu hadits tidak lebih dari mengikhtishar, menazhamkan, mengulik permasalahan-permasalahan mendetail (Al-Nukat), menyusun kritikan dan pembelaan atas kitab ini.

Di antara yang menyusun kritikan adalah Alauddin Mughlathay (w. 762 H) dalam Ishlah Kitab Ibni Al-Shalah. Di antara yang menyusun Al-Nukat: Al-Al-Zarkasyi (w. 794 H), Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 852 H) dan Al-Biqa’i (w. 885 H). Di antara yang me-nazham-kan: Al-Iraqi  dan Al-Suyuthi (w. 911 H) dalam Alfiyyah mereka.

Syaikh Aiman menjelaskan, “Apabila ditanya, sebaiknya menghafal Alfiyah Al-Iraqi ataukah Alfiyyah Al-Suyuthi? Apabila Anda ingin menghafal dengan mudah dan cepat, pilihlah Alfiyyah Al-Suyuthi. Apabila Anda ingin kekokohan kaidah dan contoh (matânah), pilihlah Alfiyyah Al-Iraqi.”

Banyak yang meng-ikhtishar kitab Muqaddimah: Mukhtasharnya yang paling terkenal adalah Irsyâd Thullâb Al-Haqâ’iq Ilâ Ma’rifati Sunan Al-Khalâ’iq karya Al-Nawawi (w. 676 H) dan Ikhtishâr Ulûm Al-Hadîts karya Ibnu Katsir (w. 774 H). Dari segi kecermatan, Ikhtishar lebih unggul. Sedangkan dari gaya penyusunan, Al-Irsyad lebih mudah dipahami.

Al-Irsyâd ini kemudian dipress lagi oleh Al-Nawawi dalam Al-Taqrîb Wa Al-Taysîr menjadi buku saku agar mudah dihafal oleh pelajar hadits pemula. Cetakan terbaik untuk matannya saja adalah cetakan Dâr Al-Sammân.

Kompetisi antara Al-Sakhawi dan Al-Suyuthi

Dari sejak disusun pada abad ketujuh hijrian, kitab Al-Taqrîb milik Al-Nawawi itu baru disyarhkan oleh dua abad kemudian tokoh hadits terhebat abad kesembilan, yaitu Al-Sakhâwi (w. 902 H) dan Al-Suyuthi (w. 911 H).

Dalam muqaddimahnya, Al-Suyuthi mendaku sebagai orang pertama yang menuliskan syarh untuk Al-Taqrîb dengan karya Tadrîb Al-Râwi, dengan bubuhan tanda selesai proses tabyidh tahun 890 H.

Pun Al-Sakhawi mendaku demikian dan selesai dengan pensyarahan itu secara taswid tahun 892 H. Bisa jadi klaim tersebut dikarenakan Al-Sakhawi belum mengetahui perihal Tadrîb karena memang belum terpublikasi.

Jika melihat keunikan sejarah kehidupan kedua tokoh hebat ini, memang tidak terlepas dari kompetisi antara keduanya. Tetapi kompetisi itu menurut ulama, telah memberikan banyak manfaat positif bagi khazanah ilmu hadits, berkat semangat mereka berlomba-lomba dalam memberikan karya terbaik untuk umat. Sehingga persaingan antara mereka tidak semestinya kita pahami secara negatif, apalagi sejarah menetapkan, bahwa di akhir hayat keduanya mereka hidup saling mencintai dan menghormati.

مما جعلت هذه المنافسة تُطوى ولا تُروى

Seperti kita ketahui, Al-Nawawi sudah banting tulang meringkas kitab Ibnu Shalah dua kali, agar menjadi kecil. Lalu mengapa Al-Suyuthi malah mengembalikannya Al-Taqrib menjadi besar, bahkan lebih besar dari asalnya (Muqaddimah Ibnu Shalah)?

Tentu itu dilakukan Al-Suyuthi karena faidah. Banyak faidah dari penyusunan Tadrib, di antaranya:

a) Gaya bahasa yang indah dan renyah. Mengingat keahlian Al-Suyuthi dalam kebahasaan di samping kepakakarannya dalam Ilmu Hadits.

b) Melihat akumulasi teori-teori dalam Ilmu Hadits yang kian berkembang dan meluas, dengan kian banyaknya kritik-mengkritik pendapat (al-Intiqâdât) dan pengelaborasian hal-hal mendetail (al-Tankît), maka Al-Suyuthi memandang perlu mendokumentasikan perkembangan-perkembangan termutakhir itu serta menghadirkan penyelasain pada intiqadat dan tankit. Al-Suyuthi menyajikan perbedaan pandangan para muhaddits secara sistematis, lalu memberikan pendapat yang muhaqqaq.

c) Al-Suyuthi melalui Tadrîb ingin menghadirkan semacam dustur mu’tamad bagi para muhaddits. Sebagaimana orang-orang ketika bertanya, “Kitab apa yang paling mu’tamad dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan dalam Fiqih Syafi’i? atau dalam Aqidah Asy’ariyah? atau dalam Nahwu?” Maka masing-masing akan dijawab dengan kitab fulan. Maka ketika ada yang bertanya, “Kitab apa yang paling mu’tamad dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan Ilmu Hadits?” Maka orang bisa menjawab: “Tadrîb Al-Rawi.”

d) Al-Suyuthi menambahkan poin pembahasan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, jumlah poin pembahasan yang dirumuskan Al-Hakim sebanyak 52 poin, oleh Ibnu Shalah sebanyak 65 poin, tambahan oleh Ibnu Hajar dalam Nuzhatun Nazhar. Maka Al-Suyuthi menambahkan kembali poin-poin dari Ibnu Hajar menjadi 93 poin pembahasan, di antara pembahasan baru dalam Tadrib: Periwayatan Sahabat dari Tabi’in, Thabaqât Al-Huffazh, dst.

e) Al-Suyuthi sangat cermat dalam penukilan pendapat kepada pemiliknya. Berbeda dengan Ibnu Shalah yang menuai beberapa kritikan dalam hal penisbatan. Di mana hal itu bisa dimaklumi, mengingat Ibnu Shalah mendiktekan penulisan kitabnya itu dari hafalannya.

***

Sebagaimana kita ketahui, untuk dapat menilai keluarbiasaan Al-Sakhawi adalah dengan bercermin pada kitabnya Fath al-Mugîts (Syarah Alfiyah Al-Iraqi). Kitab yang dikatakan, “Lâ Hijrata Ba’da Al-Fath”, artinya jika sudah selesai membaca Fathul Mugits Anda sudah menjadi alim kabir dalam ilmu hadits.

Lantas, Syarh Taqrib disusun oleh Al-Sakhawi setelah selesai menyusun Fathul Mugits, sehingga terdapat faidah-faidah dalam Syarh Taqribnya yang tidak ditemukan dalam Al-Fath. Lantas mengapa Syarh milik Al-Suyuthi yaitu Tadrîb lebih populer dan ratingnya lebih diunggulkan oleh umat dari syarh milik Al-Sakhawi? Dan kita tahu bahwa umat tidak mengenal mujamalah dalam pemberian rating.

Sebab Tadrîb lebih komprehensif dalam mengakomodir penukilan keseluruhan pendapat, lebih banyak memberikan contoh, lebih cermat, di samping lebih mudah dipahami.

Sementara Fathul Mugits, adalah kitab yang diperuntukkan untuk tingkatan muntahi (advance), sehingga hanya para kibar yang bisa menangkap faidah-faidah yang tersirat di sana.

Sedangkan Tadrîb diperuntukkan untuk tingkatan mutawassith (medium). Bahkan kalau ditilik dari penamannya, kata “Al-Râwi” diperuntukkan untuk mubtadi (beginner, ini untuk standar pada masa penyusunannya). Al-Râwi secara terminologi ilmu ini terhitung sebagai derajat paling rendah, sebelum Al-Muhaddits, apalagi Al-Hâfizh. Kendati demikian, jika dikuasai dengan baik, kitab ini langsung bisa menyampaikan pembacanya ke titik muntahi.

Dengan demikian, apabila ingin menjadi pakar dalam hadits secara musthalah, cukuplah mempelajari kitab-kitabnya ini dengan urutan sebagai berikut:

1) Nukhbat Al-Fikar: Ibnu Hajar

2) Nuzhat Al-Nazhar: Ibnu Hajar

3) Ikhtishâr Ulûmul Hadîts: Ibnu Katsir

4) Muqaddimah Ibn Al-Shalah

5) Tadrîb Al-Râwi: Al-Suyuthi

6) Fath Al-Mugîts: Al-Sakhawi

7) Syarh ‘Ilal Al-Tirmidzi: Ibnu Rajab

Selain Tadrib, Al-Suyuthi menyusun kitab dalam ilmu hadits yang tidak kalah penting, yaitu Al-Bahr Alladzî Zakhar Fî Syarh Alfiyati Al-Atsar. Jika ada istilah Fiqih Muqaran, maka kitab Al-Bahr ini adalah kitab dalam ilmu hadits muqaran. Ia bagaikan lautan yang mengumpulkan seluruh faidah yang ada dalam Nukat milik Al-Zarkasyi, Al-Iraqi, bahkan Nukat Al-Kubra milik Ibnu Hajar yang naskahnya tidak sampai kepada kita saat ini. Dalam kitab ini terdapat banyak faidah yang tidak kita temukan baik dalam Fathul Mughits ataupun Tadribul Rawi sebagai kitab terhebat sebagaimana disebutkan di atas. Sayangnya, kitab Al-Bahr ini tidak sampai seutuhnya kepada kita dan diterbitkan sebagiannya saja.  

Maka, berkaca pada kejayaan ilmu hadits daripada para pendahulu kita, sungguh amat zalim jika kita tidak memelihara tradisi ilmiah ini dengan menumbuhkan minat mempelajari ilmu hadits secara riwayah dan dirayah.

Catatan istifadah dari Dars Pertama Tadribur Rawi bersama Dr. Aiman Al-Hajjar.

Kontributor

  • Zeyn Ruslan

    Bernama lengkap Muhammad Zainuddin Ruslan. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Kamal NW Kembang Kerang dan telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.