Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Spirit Kemanusiaan Ibadah Puasa

Avatar photo
20
×

Spirit Kemanusiaan Ibadah Puasa

Share this article

“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
 (QS. al-Baqarah [2]:183)

Agama hadir membawa pesan moral dan senantiasa
mengawal gerak laju manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya. Sebab, agama
melalui berbagai ajarannya membimbing manusia agar tidak keluar dari
garis-garis besar kemaslahatan.
Puasa
Ramadhan
sebagai salah satu kewajiban agama adalah sebuah fase yang
menyimpan berbagai nilai dalam segenap aktivitas ritual peribadatan.
Puasa adalah kewajiban
yang telah ditetapkan terhadap umat-umat yang lalu. Begitulah salah satu
penegasan dari Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183
yang
telah dikutip di bagian awal tulisan ini.

Prof. Quraish Shihab menjelaskan tafsir atas
ayat tersebut bahwa ayat di atas menyebut kewajiban berpuasa tanpa menyebut
siapa yang mewajibkannya. Hal ini untuk mengisyaratkan bahwa seandainya bukan
Allah SWT yang mewajibkannya, manusia sendiri akan melaksanakannya setelah tahu
besarnya manfaat puasa. Puasa yang diajarkan al-Qur’an dapat membuahkan
kesucian jiwa, keikhlasan, dan ketulusan. Puasa juga menjadi alat pengawasan
diri dan sekaligus perwujudan ketakwaan kepada Allah SWT.

Pada hakikatnya, bulan puasa Ramadan adalah
bulan kemanusiaan. Kewajiban puasa Ramadan tidak hanya menuntut peningkatan
hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia
dan alam raya pada umumnya Di balik ibadah-ibadah yang disyariatkan, terdapat
pesan-pesan agar kita lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan. Dalam ibadah
puasa, diri kita dilatih untuk mempunyai solidaritas kemanusiaan.

Secara
pemaknaan, puasa bisa dipahami dalam dua pengertian, yakni teosentris dan antroposentris.
Puasa bukan hanya ibadah mahdhah  (ibadah murni) yang hanya berorientasi
vertikal (teosentris) tetapi juga horizontal (antroposentris).
Namun
demikian,

pengaruh nalar teologis-bayani 
begitu
kuat
dalam
pemaknaan agama (religion
meaning
), yakni pemusatan segala aktivitas dan persoalan apapun
kepada Tuhan, sedangkan problem kemanusiaan cenderung terabaikan.

Cara manusia memahami agama senantiasa akan mengalami hambatan jika ia
tidak mampu menangkap pesan-pesan yang tersirat dalam setiap sendi ajaran
agama.
Dalam pemaknaan
seperti

ini,
puasa
akan semakin jauh dari nilai fungsionalnya untuk menjadikan manusia bertaqwa `la`allakum
tattaquun`
(QS. Al-Baqarah: 183).

Spirit
Kemanusiaan

Pada bulan Ramadan tahun ini, spirit
dan aksi kemanusiaan harus lebih ditingkatkan
, mengingat
kita sedang bersama-sama diuji oleh Allah SWT dengan virus COVID-19. COVID-19
menguji solidaritas kemanusiaan kita, apakah hanya sebatas slogan atau
diwujudkan dalam aksi nyata. Ramadan kali ini banyak yang terdampak COVID-19
baik kesehatannya maupun perekonomiannya. Mereka adalah sasaran aksi
kemanusiaan yang harus lebih diintensifkan selama Ramadan.
 Oleh
sebab itu, mentransformasikan nilai peribadatan keagamaan menjadi seperangkat
nilai sosial kemanusiaan merupakan sebuah upaya yang perlu terus menerus
dilakukan.
  

Nilai-nilai kemanusiaan yang dikandung dalam ibadah puasa tidak cukup hanya
dipahami, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Maka, salah satu jalan
untuk memeriksa diri dan menghidupkan rasa kemanusiaan adalah dengan berpuasa,
karena ibadah ini mengandung dua aspek sekaligus: kesalehan individual dan
kesalehan sosial; kombinasi keduanya mampu melahirkan efek yang besar dalam pola
interaksi sosial. Dengan berlapar-lapar, haus dan menahan hasrat-nafsu, kita
bisa belajar menerapkan empati kepada orang lain dan menahan diri untuk tidak
berlaku negatif dan merugikan orang lain.
 

Dengan puasa, manusia diajarkan
untuk lebih mengerti empati dan menerapkannya dalam lingkungan sosial. Pada
titik inilah terjadi transformasi nilai dari kesadaran individual menuju
kesadaran sosial. Rasa empati antar-sesama manusia yang diajarkan oleh puasa Ramadhan
kemudian berproses menjadi sebuah refleksi etis.

Puasa
mengandung pesan esoteris,
“Aku sudah
berjanji kepada Allah Yang Mahakasih untuk melakukan shaum.” (QS.
Al-Baqarah: 26).
Pada surah Maryam itu Allah menggunakan redaksi “shaum” untuk
memberitakan puasanya Siti Maryam, seorang perempuan suci yang dari rahimnya
lahir Nabi Isa AS. Di
mana Siti Maryam menjalankan puasa
fisik dan non-fisik, yang hidupnya berharap keridlaan-Nya semata.
Di sini Siti Maryam berpuasa untuk
mengendalikan diri dari kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya.
Inilah bentuk puasa yang bisa membangkitkan
lagi jiwa kemanusiaa manusia. Puasa syariat sekaligus hakikat. Puasa fisik
sekaligus nonfisik. Puasa yang bergerak jauh ke atas menuju keridhaan Allah.
Menahan berbicara kecuali yang penting saja dan sesuai ajaran Allah. Mendengar
hanya yang menjadi kewajiban kita untuk mendengarnya. Melihat hanya yang
menjadi haknya.

Sekali
lagi,
puasa
tidak hanya memberikan
pesan spiritual, tetapi juga mengandung pesan sosial. Ibadah menjadi tidak ada artinya
jika pesan sosialnya tak diindahkan. “Maka, celakah orang-orang yang
shalat; yang lalai dalam shalatnya yang hanya pamer; yang tidak memberi
pertolongan.” (QS
al-Ma’un: 5-7). Semoga melalui puasa Ramadhan, kita
belajar memanusiakan manusia.

Kontributor

  • Edi Sutrisno

    Ketua I bidang Ibadah dan Dakwah, Masjid Jami’ Bintaro Jaya Jakarta.