Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengapa Harus Bahagia Menyambut Bulan Suci Ramadhan?

Avatar photo
51
×

Mengapa Harus Bahagia Menyambut Bulan Suci Ramadhan?

Share this article

Insya Allah nanti malam, umat Islam akan
memasuki bulan suci Ramadhan. Berbagai macam ibadah, seperti tarawih,
puasa, tadarus Al-Qur’an akan menghiasi-hiasi hari-harinya. Sambutan akan
kedatangan bulan mulia ini dimulai paling tidak sejak bulan Rajab.

Kaum muslimin sering melantunkan doa: Allahumma Barik Lana
Fi Rajaba wa Sya’bana, wa Ballighna Ramadhana
(Ya Allah berkatilah kami
di bulan Rajab dan Sya’ban, sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan).

Menjelang datangnya hari H bulan puasa
ini, kaum muslimin di seluruh dunia menyambut dengan penuh suka cita. Berbagai
macam kegiatan yang sudah menjadi tradisi dilakukan di sana-sini.

Di Mesir sana ada budaya memasang fanus
(lampion) di rumah-rumah. Di Aceh ada tradisi Meugang, Punggahan di Sumatera
Utara, Nyorog Betawi, Suru Maca Bugis. Di Jawa sendiri ada tradisi Nyadran,
Padusan, Megengan yang pada intinya adalah upacara penyiapan diri, mental dan
spiritual yang dibalut doa-doa supaya diberikan kesehatan dan panjang umur
supaya bisa menjalankan ibadah-ibadah dengan baik dan sempurna.

Ibadah yang kita lakukan tidak  hanya dilihat oleh Allah SWT dari sisi
kualitas –apakah kita melaksanakan dengan khusyuk atau tidak-, atau kuantitias
–seberapa banyak ibadah yang kita lakukan-; tapi bagaimana kita merespon dan
menyambutnya ketika seruan itu datang adalah jauh lebih penting.

Inilah yang disebut dengan istijabah
(sendiko dawuh melaksanakan dawuh Gusti). Imam Qusyairi dalam Lathaiful
Isyarat
menyatakan bahwa istijabah adalah hal yang utama, mulia dan
istimewa karena menunjukkan kesiapan dan kecintaan hati pada perintah-perintah
Allah SWT. Istijabah menunjukkan bahwa si hamba siap melaksanakan
perintah dengan suka rela tidak karena terpaksa.

Mengapa istijabah demikian
mulia?, karena ia adalah respon spontan dari orang yang benar-benar iman dan cinta
pada Allah dan Rasul-Nya. Dalam dunia tarbiyah, ia masuk dalam kategori akhak.
Artinya melakukan sesuatu dengan otomatis tanpa perlu dipikir-pikir terlebih
dahulu.

Para sahabat dan para ulama salaf berkat
gemblengan dari Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam hal otomatisasi
respon positif terhadap perintah-perintah Allah SWT.

Ketika Rasulullah SAW menyerukan
perintah untuk sedekah, maka mereka berebutan untuk melaksanakan. Sampai-sampai
Sayyidina Umar RA berkata, “Aku tidak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar dalam
hal sedekah.”

Dalam hal jihad di medan peperangan,
Rasulullah selalu menyembunyikan kapan hari H pelaksanaannya. Karena begitu
Rasulullah mengumumkan, maka seluruh sahabat baik tua muda maupun anak-anak
siap sedia menyambutnya. Inilah Ady bin Hatim, dia berkata, “Tidak datang waktu
shalat sekalipun, kecuali aku sudah menyi
apkan sarana prasana untuknya. Tidak datang waktu shalat
kecuali aku sudah begitu ingin menjumpai dan melaksanakannya.”

Inilah Sa’id bin Musayyab, dia berkata,
“Tidaklah muadzin mengumandangkan azan selama tiga puluh tahun kecuali aku
sudah ada di dalam masjid.”

Inilah Amir bin Abdillah bin Zubair,
ketika dia sedang sakit parah dan dikumandangkan azan Maghrib dia berkata,
“Bimbing aku ke masjid
.” Orang-orang
berkata, “Tapi kamu sedang sakit
. Dia
menjawab, “Aku mendengar seruan Allah, tapi tidak menyambutnya?
Lalu dia pergi ke masjid dan shalat.
Ketika masuk rakaat pertama, dia terjatuh dan meninggal dunia.

Kisah-kisah teladan ini menegaskan bahwa
sambutan terhadap seruan Allah adalah hal utama dan harus diutamakan. Apakah
nanti kita bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna atau tidak itu urusan
nanti.

Itulah mengapa, Rasulullah SAW bersabda,
“Niat orang mukmin adalah lebih baik dari pada amalnya.” Ya, karena niat
menunjukkan seberapa besar kita siap melaksanakan perintah-Nya. Karena niat
adalah ibadah hati yang murni dari riya dan sum’ah. Beda dengan pelaksanaan
riil ibadah yang kadang berbau riya dan beraroma sum’ah.

Dan Abu Lahab. Meski dia di-nash oleh
Al-Qur’an sebagai penghuni neraka, tapi karena ketika Nabi Muhammad lahir dia
langsung memerdekakan budaknya –Tsuwaibah- dan menyerahkan untuk menyusui nabi
sebagai wujud rasa gembira atas kelahiran keponakannya, paman Nabi yang getol
menentang dakwah Islam ini –sebagaimana tersebut dalam hadis
Bukhari-mendapatkan keringanan siksa setiap hari Senin, yakni kelahiran Nabi
Muhammad SAW.

Semoga penyambutan umat Islam terhadap
datangnya bulan suci Ramadhan tercatat sebagai bentuk kegembiraan, sambutan
suka cita atas seruan Allah SWT, sebagai bentuk kesiapan iman dan Islam dalam
melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci Ramadhan. Semoga kita semua bisa
melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci Ramadhan dengan kuantitas maksimal dan
kualitas optimal.

Dan adalah benar ketika ada sebuat hadis–meski
dianggap dhaif oleh sebagian ulama-, “Barang siapa yang gembira dengan
datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka.” Wallahu
A’lam

Kontributor

  • Muhammad Saifuddin

    Nama lengkapnya adalah Dr. KH. Muhammad Saifuddin, Lc. MA., seorang doktor lulusan Al-Azhar Mesir yang mendalami ilmu tafsir. Selain mengisi kajian dan seminar, sehari-harinya mengasuh Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang dan mengajar di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.