Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tafsir Surat Luqman Ayat 19, Jangan Bersuara Kencang Seperti Keledai

Avatar photo
30
×

Tafsir Surat Luqman Ayat 19, Jangan Bersuara Kencang Seperti Keledai

Share this article

Selain memuat ketentuan hukum syariat, al-Qur’an juga berisi banyak pembahasan tentang bagaimana seorang muslim bersosialisasi dengan baik dalam bermasyarakat. Al-Qur’an yang pertama kali turun kepada bangsa Arab menyesuaikan keadaan mereka saat itu.

Bangsa Arab merupakan bangsa yang hidup di daerah gurun yang panas sehingga kebanyakan dari mereka berwatak keras. Salah satunya, mereka juga keras dalam bersuara meski hanya memanggil temannya sendiri.

Nasihat yang diberikan Luqman kepada anaknya dalam Surat Luqman sedikit banyak merekam bagaimana seorang manusia harus berinteraksi baik kepada Tuhan maupun kepada sesama.

Baca juga: Adab Ngaji Ihya Ulumiddin Sesuai Tuntunan Habib Abdullah Al-Haddad

Di antara nasihat Luqman kepada anaknya dalam ruang lingkup akhlak kepada sesama ialah Luqman meminta anaknya untuk tidak berlaku sombong kepada sesama dan menyederhanakan langkah serta melunakkan suara ketika berbicara.

Allah swt. berfirman,

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ, إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ

Artinya, “Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19)

Pada ayat tersebut Luqman menasihati anaknya untuk menyederhanakan langkah ketika berjalan dan melunakkan suara ketika berbicara serta larangan bersuara kencang ketika berbicara.

Bersuara Kencang Disamakan dengan Suara Keledai

Saking tidak baiknya bersuara kencang, sampai-sampai Allah menyamakannya dengan suara keledai yang dianggap suara paling buruk. Mengapa suara keledai dianggap paling buruk dan apa korelasinya dengan bangsa Arab saat itu?

Imam Qatadah berkata, “Suara paling buruk ialah suara keledai, awalnya berupa jeritan dan diakhiri dengan ringkikan.”

Syekh Ali Al-Shabuni dalam Safwat at-Tafasir Juz 2 hal 493 mengutip pendapat Imam Hasan bahwa orang-orang musyrik saat itu saling menyombongkan diri dengan melantangkan suara. Kemudian anggapan mereka dibantah oleh al-Qur’an bahwa jika melantangkan suara itu memang baik, maka (suara) keledai lebih baik daripada mereka.

Baca juga: Syekh Yusri Terangkan Adab Interaksi dengan Nonmuslim

Sementara dalam redaksi lain, saat menafsiri ayat tersebut Ibnu Katsir dalam tafsirnya antara lain mengutip penjelasan Mujahid dan ulama lainnya. Mujahid mengatakan:

إن أقبح الأصوات لصوت الحمير, أي: غاية من رفع صوته أنه يشبه بالحمير في علوه ورفعه, ومع هذا هو بغيض إلى الله تعالى. وهذا التشبيه فى هذا بالحمير يقتضي تحريمه وذمه غاية الذم, لأن رسول الله ص.م قال:  ليس لنا مثل السوء, العائد في هبته كالكلب يقيء ثم يعود في قيئه.

“Suara yang paling buruk ialah suara keledai, yakni: suara tinggi yang dilantangkan seseorang itu menyerupai suara keledai. Di samping paling buruk, suara seperti itu juga dibenci Allah. Penyerupaan dengan keledai ini mengindikasikan keharaman dan tercelanya hal tersebut, karena Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidak ada dalam kita (umat Islam) perumpamaan yang buruk, mereka yang mengambil kembali pemberiannya sama seperti anjing yang meludah kemudian menjilat kembali ludahnya.’”

Sedangkan Imam an-Nasa’i ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bersabda yang artinya:

“Ketika kalian mendengar suara ayam jago maka mintalah anugerah kepada Allah dan jika kalian mendengar jeritan suara keledai maka mintalah perlindungan kepada Allah dari syaitan, karena pada saat itu ia melihat setan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/339)

Demikian beberapa pendapat ulama terkait penjelasan suara keledai dalam tafsir surat Luqman ayat 19. Wallahu a’lam.

Referensi:

1. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Juz 6. 1999. Riyadh: Daar At-Thayyibah.

2. Muhammad Ali Al-Shabuni, Safwat at-Tafasir Juz 2, 1981, Beirut: Daar Al-Qur’an Al-Karim.

Kontributor

  • Alwi Jamalulel Ubab

    Alumni Khas Kempek, Cirebon. Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.