Membahas surat Al-’Alaq, sama halnya dengan membahas perihal wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Surat ini diturunkan di Makkah, sehingga disebut dengan surat Makkiyah.
Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, perihal wahyu pertama yang diterima Rasulullah dalam Al-Quran, tepatnya pada surat Al-’Alaq.
Ada satu ayat yang diulang-ulang Allah SWT dalam wahyu pertama surat Al-’Alaq. Pengulangan tersebut tentu memiliki makna dan kandungan yang sangat luar biasa. Berikut teks ayatnya:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقرأ وَرَبُّكَ الأكرم (3) الذى عَلَّمَ بالقلم (4) عَلَّمَ الإنسان مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia (3), Yang mengajar (manusia) dengan pena (4). Dia mengajarkan apa yang tidak diketahuinya (5).” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam tafsirnya al-Khawathir mengatakan bahwa selain sebagai wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, ayat 1-5 surat Al-‘Alaq memiliki histori yang sangat besar. Bahkan Rasulullah memiliki perubahan emosional yang sangat drastic karenanya. Berikut kisahnya:
Tanda-tanda Wahyu
Syekh asy-Sya’rawi menceritakan bahwa permulaan wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah SAW, ialah berupa mimpi yang wajar. Setiap kali memimpikan sesuatu, pasti akan menjadi kenyataan, bagaikan sinar fajar. Kemudian, beliau mulai suka menyendiri, dan memilih Gua Hira sebagai tempat menyepi.
Di tempat itu beliau beribadah selama bermalam-malam, kemudian pulang kepada keluarganya, dan menyiapkan bekal lagi untuk menyendiri, kemudian pulang lagi kepada Khadijah, dan kembali mempersiapkan bekal. Kegiatan menyendiri yang kerap dilakukan Rasulullah ini, terjadi menjelang kenabiannya. Ini merupakan pertanda yang sangat agung dan memiliki nilai penting bagi kehidupan kaum Muslim.
Permulaan Wahyu
Pada suatu hari, Rasulullah dikejutkan dengan datangnya wahyu ketika berada di Gua Hira. Malaikat pembawa wahyu masuk ke dalam gua untuk menemuinya. Kemudian menyampaikan wahyu pertama kepadanya, yaitu:
فَقَالَ: اِقْرَأْ فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِيْ. فَقَالَ: اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ.
“Jibril berkata, ‘Bacalah’, maka aku (Rasulullah) menjawab: ‘Aku bukanlah orang yang bisa membaca. Maka malaikat itu kembali memegang dan mendekapku kemudian melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.’”
Sikap Rasulullah ketika Menerima Wahyu
Kejadian itu menjadikan Rasulullah sangat ketakutan, payah dan pikiran yang tidak karuan. Datangnya wahyu pertama meningkatkan emosionalnya. Beliau pulang membawa bacaan itu dengan hati yang kacau. Beliau menemui Khadijah binti Khuwailid dan berkata, “Selimuti aku. Selimuti aku.” Beliau diselimuti hingga kegelisahannya sirna.
Menurut Syekh asy-Sya’rawi, perubahan emosional yang sangat tinggi, dan penyebab kepayahan, ketakutan dan kegelisahan yang begitu besar merupakan sesuatu yang wajar dan niscaya, ketika seorang hamba (abdun), harus mampu menerima dan melafalkan firman Allah SWT sebagai Dzat yang disembah (ma’bud).
Gambaran berat dan payahnya menerima wahyu menurut Syekh Mutawalli, adalah jika seandainya Rasulullah menerima wahyu pertama dalam keadaan menunggangi hewan, maka ia akan terjatuh dengan sendirinya. Jika dalam keadaan duduk dengan para sahabat, dan meletakkan kakinya di atas kaki sahabat, maka niscaya kaki yang ada di bawah kaki Rasulullah akan pecah.
Semua kepayahan disebabkan penerimaan wahyu pertama itu dirasakan secara langsung oleh Rasulullah SAW. Maka tidak heran jika hal itu menimbulkan perubahan emosional yang tinggi, sebab menunjukkan bahwa yang diterima oleh Rasulullah melalui malaikat Jibril bukanlah perkataan biasa yang sudah sering didengar olehnya, akan tetapi firman Allah SWT, yang tidak tertandingi dan tidak ada seorang pun yang mampu untuk membuat perbandingan sama dengannya.
Hanya saja, pada saat yang bersamaan, yaitu ketika Rasulullah sangat payah, tepatnya saat menerima wahyu pertama, Allah menjadikannya sebagai rahmat yang diletakkan dalam hatinya, sehingga ia selalu merindukan wahyu selanjutnya. Kerinduan inilah yang mampu menghilangkan semua beban, rasa takut dan gelisah ketika menerima wahyu kedua dan seterusnya, hingga sempurna. (Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, halaman 1954).
Beratnya beban menerima wahyu pernah Rasulullah ungkapkan melalui riwayat Sayyidah Aisyah, yang dikutip oleh Syekh Mutawalli pada halaman yang lain. Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepadamu?”
Rasulullah menjawab, “Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng, dan cara ini paling berat bagiku, kemudian terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang malaikat menyerupai seorang laki-laki, lalu berbicara kepadaku, maka aku ikuti apa yang diucapkannya.”
Sayyidah Siti Aisyah mengatakan, “Sungguh aku pernah melihat turunnya wahyu kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin kemudian (dingin)nya terhenti, dan aku melihat dahi Rasulullah mengucurkan keringat.”
Demikian salah satu gambar beratnya menerima wahyu. Namun sikap rindu Rasulullah setelah menerima wahyu pertama semakin bertambah untuk menerima wahyu selanjutnya. Kerinduan ini merupakan representasi dari kerinduan beliau kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa dunia tak memiliki nilai apa pun, karena tempat keabadian sejati hanyalah akhirat.
Menurut Syekh asy-Sya’rawi, sejarah ini berkaitan dengan firman Allah dalam surat yang lain, yaitu:
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الأُوْلَى
“Dan sungguh, yang kemudian (akhirat) itu lebih baik bagimu dari yang permulaan (dunia).” (QS. Ad-Duha: 4). (Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz XI, halaman 1954).
Demikian catatan histori singkat menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, perihal permulaan wahyu. Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 merupakan fondasi yang seluruh fakta agama beserta segala keyakinan dan hukumnya dibangun di atasnya. Memahami dan meyakini wahyu hukumnya wajib bagi siapa pun sebelum meyakini semua berita gaib dan perintah hukum yang dibawa Nabi Muhammad. Sebab, hakikat wahyu merupakan satu-satunya hal yang membedakan antara manusia yang berpikir rasional dan mengandalkan akalnya, dan manusia yang menyampaikan pesan dari Tuhannya tanpa mengubah, mengurangi dan menambahi.
Selain penjelasan di atas, ada poin penting yang disampaikan oleh Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi. Beliau berpesan agar membaca al-Quran dengan maksud ta’abbud (murni beribadah). “Janganlah seseorang menyibukkan diri dengan merenungkan maknanya. Barang siapa membaca al-Quran untuk mengambil pemahaman dan menarik kesimpulan darinya, hendaklah dia berpegangan pada lafal dan maknanya.” ujar beliau.
Pesan beliau lebih lanjut, “Apabila kamu membaca al-Quran murni untuk beribadah, maka bacalah dengan sirr Allah di dalamnya. Jika engkau mencari maknanya, kamu akan membatasi makna al-Quran dengan informasi yang ada padamu dan makna yang kamu peroleh niscaya terbatas seterbatas pemikiran manusia. Maka bacalah Al-Quran dengan sirr Allah di dalamnya.”