Esai

Yang Harus Diketahui Agar Tidak Keliru Menafsirkan Al-Quran

30 Aug 2021 09:35 WIB
1523
.
Yang Harus Diketahui Agar Tidak Keliru Menafsirkan Al-Quran

Al-Quran adalah kitab ajaib. Ia mampu berteofani terhadap berbagai macam wujud yang ada di dunia ini, termasuk wujud manusia dengan segala aspeknya, baik dari sisi zahir maupun batin.

Atas dasar keluasan cakupannya itu, para ulama kemudian mencoba untuk menyusun konsep penafsiran yang baku atas al-Quran agar signifikansi maknanya tidak dipolitisir oleh nafsu-nafsu duniawi dan angkara murka. Sehingga fungsinya sebagai kitab hidayah, rahmat dan kabar gembira bagi sekalian umat manusia tidak bergeser menjadi inspirasi bagi tindakan-tindakan yang tidak terpuji.

Penyusunan konsep ini tentunya tidaklah mudah. Ulama sendiri secara qadrati terikat secara kuat dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Nabi dan murid-murid didiknya secara langsung. Tak terkecuali ketika mereka merumuskan kaidah-kaidah penafsiran.

Ulama mensyaratkan setidaknya 15 ilmu yang wajib dikuasai seseorang sebelum ia diperbolehkan secara legal untuk menafsirkan al-Quran.

Kita bisa mengambil satu contoh saja dari syarat-syarat tersebut sebagai wujud riil dari betapa pentingnya tradisi sahabat bagi cara keberagamaan kita di satu sisi, dan betapa cerdasnya ulama dalam mengkonseptualkan sebuah ilmu baru yang terilhami secara langsung dari tradisi tersebut di sisi lain.

Satu contoh yang bisa kita ambil yaitu, ilmu asbabun nuzul. Kenapa seorang penafsir harus memahami asbabun nuzul suatu ayat? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melacak akar sejarah dari sistem kebahasaan yang memunculkan ilmu asbabun nuzul itu sendiri.

Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar bin Khatab menugaskan sahabatnya yang saleh dan rajin beribadah, yakni Qudamah bin Madz’un, untuk menjadi Gubernur di Bahrain. Di tengah ia menjabat, terjadilah peristiwa yang menghebohkan.

Problem bermula ketika Jarud Abdul Qais datang langsung dari Bahrain berniat melaporkan hal kontroversial yang terjadi di negaranya kepada Khalifah Umar, “Wahai Amirul Mukminin, Qudamah telah meminum khamar dan mabuk, maka jatuhkanlah hukuman had kepadanya.”

Setelah melakukan diskusi yang cukup panjang, akhirnya Qudamah dipanggil oleh Khalifah Umar untuk dimintai keterangan.

Qudamah pun bersedia memberikan klarifikasi atas perbuatannya yang nyeleneh itu. Ia berargumen, “Jika memang aku telah meminum khamar, maka Anda tidak berhak menghukumku. Karena Allah Swt telah berfirman: ‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu apabila mereka bertaqwa, beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh.’ (QS. Al-Maidah: 93)

Khalifah Umar seketika berkata, “Wahai saudaraku, takwilmu itu keliru. Justru jika kamu bertakwa kepada Allah, kamu pasti menjaukan diri dari apa yang diharamkan-Nya!”

Dari hadis ini kita dapat mengetahui alasan kenapa Qudamah meminum khamar dan alasan kenapa ia tidak merasa bersalah atas tindakannya itu. Ia bertendensi pada potongan ayat di atas dengan pemahaman: “Karena saya bertakwa, beriman dan beramal saleh, maka saya boleh meminum khamar!”

Dalam riwayat yang lain dikatakan, setelah mendengarkan jawaban Qudamah, Khalifah Umar lantas bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Siapa di antara kalian yang ingin membantah argumentasinya?”

Ibnu Abbas pun ikut memberi jawaban. Dengan kepakarannya sebagai mufasir, ia berkata, “Ayat-ayat itu diturunkan sebagai kompensasi bagi muslim yang meminum khamar dan wafat sebelum khamar itu diharamkan. Kemudian menjadi dalil atas keharaman khamar bagi muslim yang masih hidup saat ini. Karena ayat yang menerangkan keharamannya sangat jelas. Jadi maksud dari ayat tersebut bagi kita yang masih hidup sekarang yakni, bahwa Allah tetap mengharamkan khamar meskipun ia adalah orang yang bertakwa, beriman, beramal shaleh dan seterusnya.”

Umar dan para sahabat yang hadir pun membenarkan jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Seperti yang terlihat, Ibnu Abbas mengetahui betul perihal asbabun nuzul sebuah ayat beserta maqasidnya sehingga penafsiran orang lain bisa ia koreksi agar berjalan sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pencantuman asbabun nuzul sebagai syarat wajib bagi mufasir memang berangkat dari tradisi yang hidup, tradisi salaf saleh, yang mana apabila keluar dari koridor ini akan menyebabkan kerancuan penafsiran.

Dengan kata lain, para sarjana al-Quran mengkodifikasikan syarat-syarat yang wajib dipenuhi bagi seorang mufasir disesuaikan dengan pengalaman kolektif dari para sahabat Nabi itu sendiri. Kaidah “kembali kepada tradisi” ini tentunya tidak hanya berlaku pada asbabun nuzul saja, syarat-syarat lainnya juga mempunyai akar kesejarahan dan rasionalitasnya tersendiri yang ketika ditelusuri ada relasi yang jelas dengan tradisi keilmuan dari masa sahabat.

Jadi jika ditanya, bagaimana cara kita menyikapi keluasan makna al-Quran yang sangat spektakuler itu? Ya mau tak mau kita juga harus memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran umum yang telah dikonseptualkan oleh para mufasir terlebih dahulu.

Al-Quran lebih luas dan lebih dalam dari sekedar lautan samudra. Bahkan tidak bertepi. Karena sangat luas dan dalam, kita akan tenggelam jika tidak mempunyai keterampilan berenang atau tidak menggunakan alat bantu khusus untuk menyebranginya.

Meskipun konsep-konsep tersebut tak lain merupakan rumusan manusia yang tentu saja tidak bisa terlepas dari bias-bias kesalahan. Cara memahami agama memang membutuhkan kompromi-kompromi.

Tapi bagaimanapun al-Quran tetaplah Maha Kuat dan Maha Luas. Dalam artian, yang berarti tidak ada manusia yang mampu mengeksplornya 100% meskipun hanya satu ayat saja.

***

Lalu kenapa metodologi penafsiran yang telah “dimatangkan” oleh para ulama ini kemudian menuai kritik dari para pemikir liberal dengan dalih bahwa makna al-Quran ini sangat luas alias tidak boleh “dipolitisasi” penafsirannya hanya bagi kalangan ulama saja?

Singkat kata, dalam hal ini baik kalangan ulama maupun pemikir liberal sama-sama melihat luasnya kemungkinan munculnya makna-makna baru yang ada di dalam al-Quran. Tapi perbedaannya, ulama, di samping sisi melihat hal positif tersebut, mereka juga melihat 'efek negatif' dari keluasan makna itu ketika diserahkan kepada khalayak umum dengan bebas sebebas-bebasnya.

Apa yang diperbolehkan ulama untuk kalangan awam seperti saya, dan barangkali Anda, yakni sebatas tadabbur qurani. Sebatas itu. Sedangkan untuk masalah tafsir dengan makna ketatnya kita diwajibkan mengikuti ulama yang sudah kapabel di bidang itu, seperti Habib Quraish Shibab, misalnya. Bukankah keputusan para ulama dalam hal ini sangat bijaksana dan proporsional?

Berbeda dengan ulama, orang-orang liberal nampaknya tidak melihat atau bisa jadi menutup mata tentang betapa membahayakannya model "penafsiran terbuka" yang mereka sering dengungkan itu.

Mereka akan tercengang ketika dikatakan, "Lihatlah para jihadis bodoh yang kalian anggap ekstrimis itu. Mereka menafsirkan al-Quran sekehendaknya dengan alasan bahwa kitab suci ini menerima banyak penafsiran. Bukankah pola pikir mereka sama sepertimu meskipun dalam bentuknya yang lain, yakni sama-sama ekstrimis tapi berbeda corak saja, bukan?"

Sebagai tambahan, ada beberapa ilmu baru yang pada akhirnya harus dikuasai pula oleh seorang mufasir masa kini sebagai tuntutan zaman yang terus berdinamika dengan anomali-anomali epistemenya yang harus dihormati bersama.

Referensi:

1. Imam Abu Abdillah bin Ismail al-Bukhari, At-Tarikh al-Ausath.
2. Imam Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran.
3. Dr. M. Husain az-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun.

Bumi Sepuh Hafidzahullah
Bumi Sepuh Hafidzahullah / 10 Artikel

Nama aslinya Syamsudin Asyrofi, aktifis Lakpesdam NU, mahasiswa S2 di Universitas Al-Azhar Mesir jurusan Tafsir dan Ulumul Quran dengan konsentrasi tesis bertemakan tafsir sufistik dalam bingkai sosial.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: