Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tafsir Syekh Sya’rawi tentang Dua Ayat Terakhir Surat Al-Baqarah

Avatar photo
53
×

Tafsir Syekh Sya’rawi tentang Dua Ayat Terakhir Surat Al-Baqarah

Share this article

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi, tentang dua ayat terakhir dalam surat Al-Baqarah, tepatnya ayat 285 dan 286.

Ayat 285-286 surat Al-Baqarah mengisahkan para sahabat ketika mendapatkan perintah, kewajiban dan beban, sedangkan mereka menganggap terlalu berat bahkan merasa tidak akan mampu untuk melaksanakan semua kewajiban, menjalani semua ujian dan beban lainnya.

Karena merasa tidak mampu, para sahabat mengadukan apa yang dirasakan kepada Rasulullah SAW, mereka menyampaikan bahwa kemampuannya tidak bisa melakukan semua tugas-tugasnya, akan tetapi, Rasulullah memberikan pesan dan nasihat bahwa semua kewajiban dan beban yang menimpa sahabatnya itu tidak akan melebihi kemampuan yang ada dalam diri mereka.

Ayat ini juga menjadi saksi bahwa Allah SWT tidak akan memberikan suatu beban dan kewajiban kepada makhluk-Nya berupa kewajiban yang tidak akan mampu mereka lakukan. Allah tahu siapa yang akan benar-benar berusaha dan siapa yang justru akan durhaka.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. Mereka berkata, ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Tafsir Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi

Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Khawathir lisy-Sya’rawi, juz 1, halaman 6592, mengatakan bahwa ayat ke-285 ini menjelaskan perihal keyakinan dan percayanya orang beriman kepada semua utusan.

Keimanan yang dimaksud pada ayat di atas adalah perihal akidah (tauhid) bukan dalam masalah cabang-cabang ibadah. Sebab, semua utusan memiliki aturan dan metode (manhaj) tersendiri perihal ibadah. Dakwah para Nabi sejak zaman Nabi Adam AS didasarkan atas dua hal, yaitu: (1) akidah; dan (2) hukum dan akhlak.

Ajaran Akidah Para Nabi Semuanya Sama

Berkaitan dengan akidah, semua umat Islam tahu bahwa kandungannya tidak pernah berubah sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Semua nabi dan rasul menyeru manusia untuk beriman pada keesaan Allah dan menyucikan-Nya dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Mereka juga mendakwahkan keimanan pada hari akhir, hisab, surga, dan neraka.

Semua Nabi mengajak kaumnya untuk mengimani semua itu. Masing-masing hadir untuk membenarkan dakwah Nabi sebelumnya dan memberi kabar gembira tentang pengutusan Nabi setelahnya. Demikianlah kenabian mereka sampai ke berbagai kaum dan umat agar mereka menegaskan satu hakikat yang diperintahkan untuk disampakan dan manusia mempunyai tugas untuk tunduk padanya, yakni memeluk agama Allah SWT semata.

Oleh karenanya, pada ayat di atas ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman akan mengimani apa yang dibawa oleh para nabi perihal akidah serta tunduk patuh di bawah akidah yang dibawa oleh Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Tidak ada satu nabi pun yang perlu dibedakan. Sebab, semua ajaran akidah yang mereka bawa semuanya sama.

Allah Tidak Memberi Beban yang Tidak Manusia Mampu

Setelah sebelumnya membahas perihal keimanan dan tentu juga harus menjalankan kewajiban sebagai konsekuensi dari keimanannya, maka pada pembahasan ayat selanjutnya, Syekh Mutawalli menjelaskan perihal perintah Allah dan beban yang diberikan oleh-Nya dengan standar-standar kemampuan manusia.

 Dalam hal ini, ada dua opsi yang disampaikan Syekh Mutawalli dalam tafsirnya, (1) tuntutan (taklif) sesuai dengan ketentuan Allah; dan (2) tuntutan sesuai dengan angan-angan manusia.

Untuk contoh yang pertama, ketika Allah memberikan suatu tuntutan, berupa kewajiban yang tentunya harus dilakukan, larangan yang harus ditinggalkan dan beberapa ujian yang harus sabar menghadainya, kemudian ia menganggap dirinya mampu menerima semua tuntutan tersebut, maka inilah maksud sebenarnya dalam kandungan ayat di atas.

Sedangkan contoh kedua, ketika Allah memberikan tuntutan sebagaimana pada contoh pertama, kemudian menganggap bahwa dirinya tidak mampu, maka yang perlu diingat kembali adalah “Allah tidak memberi tuntutan melebihi kemampuan manusia”. Dengan kata lain, jika beban dan tuntutan itu sudah diberikan, artinya Allah tahu bahwa ia mampu menerima semuanya. Dan tentu, tidak sepatutnya manusia berburuk sangka kepada-Nya. (Syekh Mutawalli, Tafsir al-Khawathir lisy Sya’rawi, juz I, halaman 210).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa ketika tuntutan dan beban itu datang kepada manusia, ia perlu berpikir bahwa Allah sebagai Dzat yang menciptakan sekaligus Dzat yang memberikan beban kepadanya, sangat tahu dengan ilmu-Nya yang meliputi semua ciptaan-Nya perihal batas kemampuan hamba-Nya. Allah tidak akan memberikan beban di luat batas kemampuan manusia.

Oleh karenanya, ketika seorang hamba merasa bahwa dirinya tidak mampu untuk melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan, serta tidak bisa bersabar ketika ujian mendatanginya, Allah memberikan dispensasi (rukhsah) untuk memilih jalan yang bisa ia lakukan tanpa harus merasakan beban yang berat.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.