Hukum vaksin
AstraZeneca menjadi babak baru; MUI
Pusat yang mengharamkan, tapi boleh digunakan dan PWNU Jatim yang menghalalkan,
dan tentu saja boleh digunakan. Secara prosedur ilmiah sudah sama-sama memenuhi
syarat akademik, atau dalam pandangan Charles Pierce sudah sama-sama melakukan
inquiry-investigation, tetapi hasilnya bisa berbeda.
Uniknya bagi
keduanya, ada dua titik temu: keduanya tak menampik jika dalam AstraZeneca ada
kandungan pangkreas (tripsin) babi, dan boleh digunakan. Tetapi sudut pandang
soal tripsin ini adalah apakah termasuk haram li zatih, yaitu keharaman
yang sejak semula ditentukan syar’i, atau bukan? Ini yang menjadi pemicu
berbedanya kesimpulan hukum.
Tentu saja bagi
MUI, sebagaimana fiqih pada umumnya, semua kandungan yang berasal dari babi
adalah mutlak haram penggunaannya, kecuali jika ada proses istihâlah:
Hilangnya kandungan babi seluruhnya dan telah berubah wujud secara alamiah,
sebagaimana yang tersirat dalam kitab fiqih dasar Madhab Imam Hanafi: Radd
Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr.
Begitu juga
Madhab Imam Syafi’i pada kitab Syarh Al-Muhadzdzab.
Sekarang
pertanyaanya adalah apakah perubahan dari bahan baku pangkreas babi menjadi
tripsin, lalu dilarutkan dengan kode getik yang hanya 10 mililiter dan telah
berubah ini terjadi secara alami atau kimiawi? Disinilah letak masalahnya.
Sebagian besar pemegang otoritas pemegang fatwa di Timur Tengah, seperti
al-Azhar Mesir, Uni Emirat Arab dan lainnya mengangap halal, karena perubahan
tersebut dianggap alami. Tetapi bagi sebagian bersikukuh adalah rekayasa dan
kimiawi, maka tetap haram.
Terlepas dari
perbedaan pengambilan hukum, jika menilik negera lain, otoritas hukum (fatwa)
seharusnya satu dan itu adalah otoritas tertinggi seperti MUI, adapun selain
itu hanya bisa sebuah diskusi/dealektika. Bukan sebagai alternatif bentuk
prodak hukum. Sehingga para pejabat menggunakan prodak alternatif sebagai
penguat kebijakannya (sebagaimana statemen Presiden yang akan menggunakan
vaksin AstraZeneca untuk masyarakat Pesantren, sehari setelah keputusan fatwa
MUI). Itulah sebabnya, kenapa tiap produk hukum itu seharusnya tidak hanya
dilihat dari sebuah proses metodologis, tapi juga dampak
psikologis-sosiologis?
Karena
“konsumen” fatwa adalah masyarakat luas, dengan berbagai macam latar
belakang sosial-kultural dan pendihidikannya. Melihat dampak kata (teks) dari
sisi psikologis ini, jauh hari kita sudah diingatkan oleh Schleirmacher dalam
teori hermenutika pisikologisnya. Menurutnya, tiap kata (teks) selain bermakna
secara gramatikal, juga bermakna secara psikologi, dan kaitannya dengan
psikologis ini, tiap kata (teks) berdampak lebih serius dan lebih besar. (Hermeneutics
and Crititism, h.27)
Pada kasus
AstraZeneca ini contohnya. Meskipun, kesimpulan hukum MUI dan PWNU jatim itu
sebenarnya serupa, yaitu sama-sama boleh digunakan vaksinasi.
Tapi dampak psikologisnya sangat berbeda. Kelompok yang satu merasa akan
memasukkan barang haram ke tubuhnya, meski boleh karena kondisi darurat
(al-Masyaqot tajlibu at-taysir). Sementara yang satu merasa halal, dan tentu
saja tidak masalah masuk tubuh.
Tentu saja,
penyebutan kata HARAM oleh MUI, itu akan sangat membekas bagi publik, daripada
mencoba memahami soal “istihâlah:” dari pangkreas babi menjadi
tripsin lalu dilarutkan dengan kode getik yang hanya 10 mili, kemudian dzat
yang semula najis/haram bisa menjadi suci/halal. Jadi MUI versus PWNU ini bisa
membawa masalah baru: polarisasi antara kelompok vaksin halal dan haram.
Masalah ini bisa berbuntut ke ranah isu politik-bisnis-vaksinnya, dan sekitarnya.
Jadi, penting
sekiranya, para tokoh agama menyadari prodak hukum dan dampaknya yang lebih
luas, terutama dari sisi prosedur-ilmiah dan dampak psikologi-sosial, ditengah
krisis kesehatan, ekonomi dan politik. Selebihnya, tentu kita berharap, para
elit kita (agamawan maupun negarawan) labih mengutamakan kemaslahatan dan
persatuan dari pada hal-hal lainnya, seperti arogansi kelompoknya. Wallahu’lam
bishawab.