Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Wasathiyah, kunci al-Azhar bertahan ribuan tahun

Avatar photo
19
×

Wasathiyah, kunci al-Azhar bertahan ribuan tahun

Share this article

Kalau Al-Azhar hanya sekadar institusi keilmuan, yang dihuni oleh para ulama bintang dan dikelilingi jutaan pelajar yang dahaga ilmu, maka di belahan negeri manapun, banyak institusi yang lebih hebat dan unggul ketimbang Universitas Al-Azhar.

Kalau Al-Azhar hanya sekadar gudang khazanah literatur-literatur ilmiah, maka di luar sana banyak perpustakaan yang jauh lebih besar dan lebih komplit menampung kitab ketimbang Maktabah Al-Azhar.

Kalau Al-Azhar hanya sekadar nama besar dan brand terkenal, maka di pentas dunia komersial, banyak yang bisa menandingi dan lebih bergengsi ketimbang popularitas Al-Azhar.

Lantas apa yang membuat Al-Azhar begitu tinggi kedudukannya, berharga nilainya dan tetap berdiri kokoh seiring perguliran masa?

Rahasianya adalah karena keteguhan Al-Azhar dalam berpegang pada Manhaj I’tidal (seimbang) dan benar-benar menjiwai Islam Wasathi (Moderat). Wasathiyah inilah manhaj yang sesungguhnya paling ampuh untuk menebarkan keindahan Islam dan keanggunan syariat yang di baliknya sarat hikmah dan maslahah dan yang kebaikannya kembali ke manusia itu sendiri.

Dengan wasathiyah ini, Allah swt. menjaga eksistensi dan kekekalan umat Islam. Dengan wasathiyah, umat ini dipilih oleh Allah di hari kebangkitan kelak menjadi saksi bagi umat-umat terdahulu. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاس

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilhan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.”

Wasathiyah yang selalu dikibarkan Al-Azhar bukanlah omong kosong belaka, melainkan berupa penerapan nyata yang selalu diaplikasikan dalam memecahkan berbagai persoalan krusial dalam Islam.

Dari semenjak memainkan peran vital memberikan sumbangsih pemikiran, Al-Azhar selalu berdiri teguh dengan pandangan yang netral. Misalnya dalam menyikapi perpecahan umat pasca al-Fitnah al-Kubro yang menjadi cobaan berat di abad pertama perkembangan Islam. Prinsip Al-Azhar terkait hal ini adalah:

Prinsip pertama, Al-Azhar menyuarakan dengan lantang kewajiban memuliakan kedudukan para Sahabat-Ridhwānullā’alaihim Jami’ā-, menghukumi bahwa sahabat semuanya adil, serta membela mereka dari setiap hinaan dan tuduhan keji. Berlandaskan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam:

لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِي

“Janganlah kalian melempar celaan kepada para sahabatku!”

أَصْحَابِي كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِم اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ

“Para sahabatku seperti bintang-bintang, siapapun mereka yang kalian jadikan panutan, niscaya kalian mendapatkan penerangan.”

Prinsip kedua, Al-Azhar mengajak kaum muslimin untuk tutup mulut (baca: tidak berkomentar) terkait pertikaian yang terjadi di kalangan sahabat. Berdasarkan kalam bijak yang terkenal dari ulama salaf shalih: “Karena Allah telah menjauhkan kita dari ikut berperang bersama mereka, maka jangan mengotori mulut kita untuk ikut-ikutan mencampuri permasalahan mereka.”

Prinsip ketiga, senantiasa melakukan pengecekan dan penelitian dalam meluruskan literatur-literatur sejarah yang didistorsi oleh setiap tangan tak bertanggung jawab, yang berusaha mencoreng kehormatan para sahabat atas dasar kebencian, kedengkian dan fanatisme buta.

Adil Menyikapi Ikhtilaf

Netralitas pendirian juga diperlihatkan Al-Azhar dalam menyikapi perbedaan mazhab fikih. Sejarah membuktikan bagaimana usaha Al-Azhar membangun kerukunan antar-mazhab. Al-Azhar berjuang mewujudkan kekompakan di tengah hantaman badai politik yang menggoncang keutuhan umat, menangkal siasat busuk musuh Islam yang berulang kali mencoba memanfaatkan celah perbedaan mazhab sebagai penyulut permusuhan antar saudara seiman. Jalan persatuan inilah yang sejatinya ditempuh dan diperjuangkan semua mazhab.

Dari awal mengkristalkan pemikirannya, Al-Azhar menentukan konsep dalam mensinkronisasikan antara dalil wahyu dan penalaran akal. Al-Azhar berpegang pada konsep Imam Al-Ghazali yang mengatakan:

لا معادة بين مقتضيات الشرائع وموجبات العقول

“Tidak ada kontradiksi antara ketentuan-ketentuan syariat dengan logika yang sehat.”

Hujjatul Islam juga berkonsep yang senada:

العقل كالبصر السليم، والقرآن والسنة كالشمس المنتشرة الضياء، ولا غنى لأحدهما عن الآخر

“Akal bagaikan mata yang sehat. Sedangkan Al-Quran dan As-Sunnah bagaikan matahari yang memancarkan cahaya terang benderang. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.”

Dengan kenetralan ini, Al-Azhar melimpah ruah dengan literatur-literatur klasik (turats), sejalan pula dengan penalaran turats yang sistematis dan tidak kaku terpaku pada teks. Al-Azhar tidak condong atau berpihak pada arus tertentu, yang rentan menggiring akal secara pelan-pelan kepada ambang saling kafir-mengkafirkan; atau kepada pergulatan logika yang berpotensi menjebak kita dalam memahami keindahan Islam; atau kepada pemikiran tak terkendali bermoduskan gerakan modernisasi atau sekularisme yang fatal.

Al-Azhar berjuang membentengi agama dan syariat dari serangan-serangan yang menerjang dari berbagai penjuru. Pertahanan Al-Azhar begitu kuat dalam meng-counter serangan kaum sekuler terhadap Islam, terhadap aneka upaya memporak-porandakan Islam dengan bermacam permainan dan manuver politik dan upaya pengaburan undang-undang syariat yang memicu perang pemikiran di tubuh umat Islam. Walhasil perpecahan ini berefek pada lahirnya sikap antipati pada Islam. Menyadari tantangan ini, Al-Azhar menawarkan sikap bijak dan toleransi dalam menyikapi perbedaan.

Deskripsi moderasi seperti di atas, dalam sejarah panjangnya dipilih dan dipertahankan oleh Al-Azhar Asy-Syarif. Al-Azhar ingin menampakkan wajah Islam yang sebenarnya, yang murni, yang sangat indah, yang harum citranya!

Al-Azhar dalam menghadapi permasalahan tidak pernah asal-asalan dan rancu, melainkan berdasarkan proses ijtihad yang terarah sehingga menghasilkan konsep yang solutif. Namun perlu diingat, Al-Azhar dalam cita-cita wasathiyah ini, tidak pernah keras dan ngotot memaksakan konsepnya diterima oleh kelompok yang berseberangan karena merasa paling benar.

Moderasi ini bukan sekadar hasil kompromi dangkal dalam menyatukan kelompok-kelompok yang berseteru, sehingga Al-Azhar tidak mudah dieksploitasi oleh kelompok tertentu sebagai penyokong untuk mencapai misi pribadinya. Justru moderasi Al-Azhar selamanya berwujud pada pendirian yang jelas dan pandangan yang berlandaskan pada sumber-sumber hukum Islam yang Qath’i, semata demi mewujudkan kemaslahatan umat Islam, dan berharap wasathiyah ini menjadi solusi yang bisa menuntun umat di kala tersesat jalan atau saat terpecah belah karena hawa nafsu.

Artikel ini saya terjemahkan 14 Maret 2016 silam, dari Maqalah yang ditulis Almarhum Prof. Dr. Muhammad Abdul Fadhil Al-Qushi di Majalah Al-Azhar.

Kontributor

  • Zeyn Ruslan

    Bernama lengkap Muhammad Zainuddin Ruslan. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Kamal NW Kembang Kerang dan telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.