Imam Besar Al-Azhar Dr. Ahmad At-Tayeb menyerukan perlunya menghidupkan kembali fatwa hak kerja keras atau haqq al-kadd wa as-si’ayah dari khazanah turats Islam untuk melindungi hak-hak perempuan pekerja yang berusaha mengembangkan kekayaan suaminya, terutama di tengah perkembangan modern di mana perempuan terjun ke dunia kerja dan berbagi beban hidup bersama suami.
Grand Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa khazanah turats Islam amat kaya dengan paparan solusi atas pelbagai permasalahan kehidupan. “Jika kita mengkajinya secara mendalam, kita akan melihat betapa melimpahnya warisan intelektual Islam dan betapa besar semangat syariat Islam dalam melindungi hak-hak perempuan dan menjamin segala sesuatu yang akan menjaga kehormatannya,” ujar beliau.
Demikian disampaikan oleh Syekh Ahmad at-Tayeb dalam pertemuannya dengan Menteri Urusan Islam Arab Saudi Syekh Abdul Latif bin Abdul Aziz Alsyekh di kantor Masyikhah Kairo Mesir, Selasa (15/2).
Baca juga: 10 Pernyataan Syekh Al-Azhar tentang Poligami
Pertemuan dua tokoh itu membahas kerjasama bilateral antar kedua belah pihak termasuk hak-hak wanita dalam Islam.
Imam Besar Al-Azhar menegaskan bahwa kehidupan berumah tangga tidak dibangun berlandaskan hak dan kewajiban, tetapi di atas prinsip cinta dan kasih sayang serta sikap di mana suami dan istri saling mendukung dan menyokong satu sama lain untuk membangun keluarga shaleh yang mampu berkontribusi bagi kemajuan masyarakat dan melahirkan generasi yang berguna.
Pandangan Majma’ Buhuts Islamiyah Al-Azhar
Asisten Sekretaris Jendral Akademi Riset Al-Azhar atau Majma’ Buhuts Al-Islamiyah Dr. Ilham Syahin menegaskan bahwa haq al-kadd wa as-si’ayah yang diserukan untuk dihidupkan kembali oleh Grand Syekh Al-Azhar berangkat dari kisah seorang wanita pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab.
Seorang wanita bernama Habibah binti Zariq mendatangi Amirul Mukminin Umar setelah suaminya Amr bin al-Harits wafat. Kemudian keluarga Amr menguasai kekayaannya termasuk harta dan rumah yang dahulunya dibeli dari uang hasil kerja keduanya. Habibah menjalankan pekerjaannya menenun dan memintal kemudian Amr memperdagangkan hasil kain tenun istrinya itu. Kerjasama mereka membuahkan keuntungan yang berlimpah.
Khalifah Umar kemudian memutuskan untuk membagi harta peninggalan Amr bin al-Harits menjadi dua. Setengah untuk Habibah dan setengah lagi dibagi-bagi sesuai aturan hukum waris Islam. Habibah menerima seperempat dari harta suaminya karena dia tidak mempunyai anak dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang lain.
“Dari sini banyak ulama fikih berfatwa tentang haq al-kadd wa as-si’ayah untuk perempuan,” ujar Dr. Ilham Syahin dikutip harian Akhbar Elyom Rabu (16/2).
Ketika seorang suami meninggal dunia dan istrinya ikut bekerja dalam berbagi beban rumah tangga, maka dengan fatwa haqq al-kadd ini istri akan mendapatkan bagiannya terlebih dahulu kemudian harta warisan digunakan untuk membiayai proses pengurusan jenazah, membayar hutang lalu dibagi-bagikan kepada ahli waris.
Baca juga: Gugatan Al-Azhar atas Tuduhan Legalitas KDRT
Dosen Yurisprudensi Islam Universitas Al-Azhar Dr. Fathiyah al-Hafni menyebutkan bahwa banyak istri berbagi segalanya dengan suami mereka dan segera setelah suaminya meninggal, harta itu langsung dibagikan kepadanya dan anak perempuannya, dan sisanya kepada ke ahli waris.
“Haqq al-Kadd wa as-Si’ayah ini akan mencegah itu terjadi dan melindung hak-hak istri.” tandasnya.