Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Muhammadku Sayangku, Meniru Nabi dalam Kadar Sebisa-bisanya

Avatar photo
28
×

Muhammadku Sayangku, Meniru Nabi dalam Kadar Sebisa-bisanya

Share this article

Bersyukurlah kita menjadi umat Baginda Nabi Saw., yang tercatat sebagai umat terbaik sepanjang sejarah. Umat yang selalu diberi keluasan oleh Allah untuk selalu bisa membenahi diri dari keburukan, tanpa memperkerdil ruang gerak kita.

Barakah adanya Baginda Nabi, Allah Swt. enggan menurunkan azab kepada kita. Berbeda jauh dengan umat sebelumnya. Ketika mereka bermaksiat dan melampaui batas, sontak Allah akan turunkan azab kepada mereka. Pelbagai bala bencana mengerikan ditimpakan; ada yang menjadi monyet, ditenggelamkan ke laut, dihujani letusan gunung hingga jadi batu sangat mungkin terjadi di masa umat sebelum Baginda Nabi Saw.

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِ

Artinya: “Dan sungguh Allah Swt. takkkan menimpakan azab kepada mereka sepanjang Engkau (wahai Muhammad Saw.) bersama mereka. (QS. Al-Anfal: 33)

Inilah bukti teramat mencintainya Allah kepada Baginda Nabi Saw. Hingga tidak rela menurunkan azabnya kepada kita yang lalai dan telah bermaksiat kepadanya.

Edi AH Iyubenu pada bukunya Muhammadku Sayangku 3 menerangkan bahwa betapa amat sangat agung cinta Allah Swt. kepada Baginda Nabi Saw., sampai-sampai keagungan-Nya yang dilecehkan oleh orang-orang pongah tersebut ‘dikesampingkan’ oleh-Nya demi terhamparnya rahmat Baginda Nabi Saw.

Pembahasan buku ini berkutat pada bagaimana seharusnya kita untuk bisa membuka pintu hati, yang selalu diketuk oleh keagungan sifat Baginda Nabi dengan segala suri teladannya. Mengejawantahkannya dengan rutin selalu membacakan sholawat kepadanya, mengagungkan namanya dengan julukan-julukan yang teramat mulia.

Baca juga: Al-Madh An-Nabawi, Ungkapan Cinta lewat Sastra

Allah Swt. mencontohkan kepada kita bahwa kepada Baginda Nabi Saw., Dia tak pernah menyebut kepadanya secara langsung. Di dalam Al-Quran teramat banyak Allah Swt. menyebut para Nabi dan utusan-Nya dengan nama mereka secara langsung. Berbeda kepada Baginda Nabi Saw., Allah selalu meggunakan gelar, julukan dan pujian yang menunjukkan bahwa Allah  amat sangat mencintainya melampaui siapapun.

Di buku terbarunya Edi ini, terceritakan banyak kisah tentang kemuliaan Baginda yang teramat menyentuh hati kita untuk senantiasa menyontohinya dan memanifestasikannya lewat sholawat, sanjungan, dan pujian kepadanya.

Dikisahkan, Fadholah Ibnu Umar bertekad bulat untuk membunuh Nabi Saw. Namun, ketika waktu yang direncanakannya itu tiba, dia tiba-tiba mati gaya dan lantas menjadi sangat mencintai Baginda Nabi Saw. lantaran mengetahui betapa teduh dan welas asihnya perangai Nabi yang dihadapinya.

Ternyata Fadholah telah terketuk pintu hatinya, hingga agresifitas dalam dirinya seketika runtuh dihadapan kerendah hatian Baginda Nabi. Amarah Fadholah berubah menjadi derai air mata penyesalan. Dia pun bertaubat kepada Allah Saw. dan mempercayai Nabi Muhamad Saw. adalah sebenar-benarnya utusan Allah.

Bukankah ini telah sangat terang bagi kita untuk mengerti, memahami, menghayati, dan lalu sedikit demi sedikit mengamalkan dengan nyata bagaimana menebarkan welas asih, rasa perdamaian, dan etika kemanusiaan sebagai ajaran yang sangat agung dalam kerisalahan Kanjeng Nabi Saw? kita, mengapa masih cenderung gemar fafifu untuk meniru Kanjeng Nabi Saw walau dalam kadar sebisa-bisanya? (hlm.41).

Alangkah baiknya kita memulai dengan hal yang sederhana dan sebisa kita dulu. Tidak usah terlalu ke jenjang taraf yang susah.  Baginda Nabi memberikan ajaran agama dengan hal-hal yang tidak untuk mmemperberat umatnya.

Nabi Muhammad Saw. telah memberikan banyak ilmu dan tuntunan kepada kita. Bersyukur dan berterima kasih kepadanya adalah sebuah kewajiban untuk kita mendapatkan ridha dari Allah Swt.

Bila sekeping hati telah dikebaki terima kasih, bangga, gembira, dan bahagia kepada Kanjeng Nabi Saw., tepat seketika Allah Ta’ala bertahta di dalam hati yang sama. Allah Swt. dan Kanjeng Nabi adalah sepaket; adalah Satu Wujud—Ahmad tanpa Mim adalah Ahad. (hlm.55).

Baca juga: Melihat Rasulullah Secara Sadar, Ini Penjelasan Ulama

Memang banyak ajaran Nabi yang disampaikan kepada umatnya, yang barangkali dari kita sendiri masih ragu dengan hanya setengah-setengah untuk berkhidmah mengamalkan ajarannya tersebut. Maka, Edi dalam bukunya ini bertutur dengan cara bahasa yang mudah dipahami, dengan keren ala pemuda-pemudi kekinian.

Setidaknya, menurut Edi, hal yang perlu dipelihara dari kita adalah “rasa malu” kepada Baginda Nabi. Karena jikapun rasa malu itu kini masih amatlah tipis, bahkan terkesan “apaan sih”, namun yakinlan suatu saat akan membesar seiring dengan lajunya usia, pergaulan, amaliah, dan pengalaman. Hingga pada suatu saat akan menguat, menjelma dorongan lebih peduli dan patuh kepada kanjeng Nabi.

Bila suatu saat cinta yang telah kita hadirkan kepada Baginda Nabi sudah merekah di dalam hati kita, tidak terperikan lagi kita akan selamat di dunia hingga akhirat kelak. Barakah wasilah Syafaat Nabi, dosa-dosa umatnya yang juga para pecintanya dijamin dihapus oleh Allah Swt. Lawajadullaha tawwaban rahima, sungguh engkau akan mendapati  Allah Ta’ala Maha Pengampun dan Maha Welas Asih.

Diceritakan, Syekh Abdur Rahman Ad-Diba’i—pengarang shalawat Diba’ yang amat terkenal, hendak bepergian untuk haji dari Yaman menuju ke Makkah dan Madinah. Sebelum berangkat, ada bocah yang belum genap sepuluh tahun menemui rombongan Syekh Abdurrahman meminta izin untuk ikut dalam perjalanan. Ia mengaku sangat rindu dan ingin sekali bertemu Baginda Nabi. Karena prediksi perjalanan itu akan lama, maka bocah kecil itupun ditolak dan tidak boleh ikut.

Tiba-tiba Syekh Abdur Rahman teramat kaget karena sebelum memasuki kota Madinah, yang masih di luar kota, ia menemukan bocah kecil itu meringkuk di dalam kopernya. Ketika ditanyai, bocah itu menjawab bahwa cinta yang teramat agung kepada Baginda Nabi itulah yang mampu mmembuatnya mampu bertahan berhari-hari di dalam koper tersebut.  

Setiba di Kota Madinah, usai berziarah di sekitar  Masjid Nabi, anak itu bertanya kepada Syekh Abdurrahman.

“Wahai Syekh, jika Kanjeng Nabi Saw. pernah tinggal di sini, tentulah tanah-tanah di sini, debu-debu di sini, pernah dilewati, diinjak, dan dilalu-lalangi oleh Kanjeng Nabi?” 

“Tentu saja,” jawab Syekh Abdurrahman.

Sontak ia menjerit, menangis, bergulingan di tanah, bergumul debu-debu yang pernah membersamai kanjeng Nabi Saw. Bahkan ia meninggal di lokasi tersebut. Ia meninggal dalam lumuran debu-debu yang pernah dikumpuli Kanjeng Nabi Saw; ia meninggal dalam kerinduan yang membuncah membelah langit-langit kepada Kanjeng Nabi. (hlm.117-118).

Buku ketiga dari seri Muhammadku Sayangku ini adalah buku Edi yang dirampungkan dalam waktu yang cukup singkat. Buku setebal 124 ini kurang-lebih diselesaikan dalam lima hari saja di penghujung bulan Maulid. Sebuah menifestasi dari betapa agungnya cinta kepada Baginda Nabi Saw.

Identitas Buku

Judul    : Muhammadku Sayangku 3; Bagi Cah Cinta, Pokoke Cinta, Pokoke Cinta, dan Pokoke Cinta

Penulis  : Edi AH Iyubenu

Tebal    : 124 halaman

Terbit   : Cetakan pertama, November 2021

Penerbit : DIVA Press

ISBN     : 978-623-293-594-5 

Kontributor

  • Achmad Dhani

    Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.