Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Syaikh Muhammad Mahfudz Termas dan Karyanya Tentang Kenabian Khidir

Avatar photo
26
×

Syaikh Muhammad Mahfudz Termas dan Karyanya Tentang Kenabian Khidir

Share this article

Seperti biasa, setiap Ahad, 6 Desember 2020, saya mengisi “Webinar Tentang Ulama Nusantara” yang dikelola oleh sebuah komunitas “Pecinta Ilmu dan Dakwah” bernama Rewah (Remaja Dakwah). Saya menyampaikan tentang Syaikh Muhammad Mahfudz Termas, seorang ulama besar Nusantara yang berasal dari tanah Jawa. Darinya lahir tokoh-tokoh ulama besar selanjutnya yang tersebar luas di wilayah tersebut.

Ada sebuah kitab karya Syaikh Muhammad Mahfudz Termas yang termasuk langka. Sebab, sampai meninggalnya, karya ini masih dalam bentuk manuskrip. Kitab ini selanjutnya diterbitkan oleh Al-Maktabah al-Anwariyah, sebuah penerbit dan percetakan di bawah naungan Pesantren Al-Anwar di Sarang asuhan KH. Maimun Zubair.

Naskah manuskrip berjudul “Inayah al-Muftaqir bima Yata’allaq bi Sayyidina al-Khadir” yang dinukil penulisnya dari sebagian isi kitab Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ini, diberi pengantar oleh KH. Maimun Zubair.

Dalam kata pengantarnya, ulama besar Indonesia tersebut memberikan beberapa catatan sebagai kesimpulan. Di antaranya:

(a) Tahun selesai penulisan pada tanggal 28 Shafar 1337 H dan menjadi karya terakhir kedua sebelum kitab Bugyah al-Adzkiya’ fi al-Bahts an Karamat al-Auliya’ yang selesai sekitar sebulan setelahnya.

(b) Karya yang membahas tentang kenabian Khidir termasuk jumlah tulisan yang sedikit.

(c) Sebab yang menjadi latar belakang penulisan adalah sebagai respon banyaknya pertanyaan masyarakat terkait persoalan tentang kenabian dan kewalian Khidir, dan keberadaannya sampai saat ini. Syaikh Muhammad Mahfudz Termas lebih memilih berpendapat bahwa ia masih hidup sampai sekarang.

(d) Membaca dan mengetahui informasi tentangnya merupakan bentuk kecintaan seorang muslim kepada seorang nabi atau hamba saleh. Sebab, mencintai mereka merupakan sesuatu yang dituntut meskipun tidak sampai persis melakukan seperti yang mereka lakukan, setidaknya dengan mencintai mereka akan mendapatkan tempat bersama mereka, sesuai kandungan hadits nabi Muhammad SAW: “Seseorang akan bersama orang yang dicintai” dengan syarat—menurut Imam Nawawi—orang yang dicintai adalah karena kebaikan dan kesalehan mereka.

(e) Bersambungnya sebagian sanad KH Maimun Zubair kepada Nabi Khidir AS.

Apa yang dibahas Syaikh Muhammad Mahfudz Termas dalam kitab tersebut?

Setidaknya ada beberapa bab yang sebenarnya sebagai jawabannya atas pertanyaan yang diajukan. Yaitu: (1) nama dan kelahiran Nabi Khidir AS (2) persoalan seputar kenabian dan kewalian (3) umur dan perjumpaanya dengan Nabi Muhammad SAW (4) kehidupannya sampai sekarang (5) dan pendapat yang dipilih penulis.

Baca juga: Mengunjungi Rumah Keluarga Syaikh Yasin Padang di Pariaman Sumatera Barat

Terkait nama dan kelahirannya, setidaknya ada sepuluh riwayat yang ditampilkan penulis. Sebagian riwayat tersebut diberi komentar dan penilaian, sementara yang lainnya tidak diberikan catatan apapun.

Seperti, riwayat pertama yang menyebutkan bahwa Nabi Khidir AS adalah anak nabi Adam AS. Riwayat ini bersumber dari Imam ad-Daraqutni melalui jalur Rawad–al-Jarah–Muqatil bin Sulaiman–Dhahhak–Ibnu Abbas.

Ia memberikan penilaian bahwa seorang perawi yang bernama Rawad termasuk lemah, Muqatil bin Sulaiman sebagai matruk, sedangkan Dhahhak tidak langsung mendengar hadits dari Ibnu Abbas.

Oleh karenanya, ia tidak menyebutkan nama nabi yang pernah berdialog dengan Nabi Musa AS ini sebagai Khidir AS.

Menurutnya, penamaannya dikenal dengan Khidir (sesuatu yang berwarna Hijau), sebab menurut riwayat Imam Bukhari-Muslim bahwa apabila Nabi Khidir AS duduk di sebuah tanah yang kering, maka akan tumbuh dan begerak di tempat duduknya sesuatu yang hijau–kemungkinan rerumputan hijau. Sementara sebutan kunyah-nya adalah Abu Abbas sebagaimana yang dinukil dari Imam An-Nawawi.

Persoalan selanjutnya tentang kenabian Khidir AS, yaitu apakah sebagai nabi atau sebatas wali.

Dalam kesempatan ini, ia menampilkan dua pendapat sekaligus. Menurutnya, pendapat yang menyebutkan Khidir sebagai nabi berargumentasi dengan ayat al-Quran tentang dialog dan perjumpaan Nabi Musa AS dengannya.

Menurutnya, tidaklah perbuatannya membunuh seorang anak kecil dan melubangi sebuah kapan selain hal tersebut berupa wahyu. Selain itu, argumentasi lain menyebutkan bahwa mustahil seorang yang bukan nabi lebih mengetahui dari nabi; maksudnya, Khidir yang bukan nabi lebih pintar dari nabi Musa AS.

Perdebatan selanjutnya, kalau seorang nabi, apakah juga seorang rasul. Sebagian pendapat menyebutkan ia hanya sebatas nabi, tetapi sebagian lain berpendapat bahwa ia juga seorang rasul.

Baca juga: Khidmah Kitab Al-Luma’, Dari Syekh Yasin Al-Fadani Hingga Mbah Sahal

Pendapat lainnya menyatakan bahwa kenabian Khidir dalam bentuk ilmu batin, sementara Musa dalam ilmu zahir.

Adapun pendapat selanjutnya hanya menguatkan bahwa ia sebagai wali dan tidak sampai kepada derajat kenabian.

Bahkan, Syaikh Muhammad Mahfudz Termas menukil sebuah pendapat lain yang menyebutkan ia adalah seorang malaikat dalam bentuk manusia.

Pembahasan selanjutnya terkait penyebab mengapa Nabi Khidir AS berumur panjang. Setidaknya penulis menyebutkan tiga alasan:

(1) Bahwa dipanjang umurnya agar menjadi orang yang berdusta atas Dajjal.

(2) Sebab menguburkan jasad Nabi Adam AS. Hal tersebut, karena menjelang kematian Nabi Adam AS, ia memerintahkan kepada anaknya agar meletakkan jasadnya di sebuah gua dan kemudian dikebumikan di negeri Syam dan ia berdoa agar orang yang menguburkannya diberikan umur panjang. Jasad yang mulia tersebut akhirnya dikebumikan oleh Nabi Khidir AS.

(3) Sebab, ia meminum sebuah telaga yang dikenal dengan “Ain al-Hayah (telaga kehidupan).

Ceritanya, Raja Zulkarnain, seorang raja saleh yang menguasai Timur dan Barat, mempunyai seorang sahabat dari malaikat yang bernama Rafael.

Suatu ketika, keduanya duduk membicarakan sesuatu. Di sela pemicaraan tersebut, Raja Zulkarnain bertanya kepada malaikat bagaimana ibadah mereka sebagai penduduk langit.

Malaikat tersebut mengatakan bahwa ibadah mereka apabila dibandingkan dengan penduduk bumi sangat jauh. Sebab, di antara ibadah mereka, ada yang selamanya berdiri saja, rukuk dan sujud.

Oleh karenanya, raja saleh tersebut bertanya kepada sahabat malaikatnya tersebut bagaimana agar diberikan umur yang panjang agar dapat menyamai ibadah para penduduk langit. Malaikat tersebut menyebutkan bahwa ada sebuah telaga yang disebut dengan “Ain al-Hayat” yang apabila meminum airnya akan diberikan umur panjang.

Singkat cerita, Raja Zulkarnain mencari tempat keberadaan telaga tersebut bersama dengan bala-tentarannya. Di antaranya adalah Khidir yang kemudian berhasil minum, berwudhuk dan mandi di dalamnya.

Beberapa sub judul lainnya sangat menarik dibaca dalam kitab ini. Namun, di bagian akhirnya, Syaikh Muhammad Mahfudz Termas memilih dan menguatkan pendapat bahwa Nabi Khidir AS masih hidup sampai sekarang.

Baca juga: Kejeniusan Syekh Nawawi Banten dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Siapakah Syaikh Muhammad Mahfudz Termas?

Nama ulama ini sangat terkenal di Nusantara, terutama di lingkungan tanah Jawa. Nama lengkapnya adalah Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan al-Tarmasi. Saya mendapatkan tulisan bahwa kakeknya, Syaikh Abdul Mannan adalah orang yang pertama sekali belajar di Al-Azhar, Mesir dari kalangan ulama Nusantara.

Syaikh Muhammad Mahfudz lahir di Termas, 12 Jumadil Ula 1285 H dan meninggal tahun 1338 H di Mekkah. Ia belajar kepada ulama tempat kelahirannya, termasuk Syaikh Saleh Darat di Semarang.

Sedangkan ulama-ulama terkemuka lainnya yang menjadi gurunya berada di Makkah, antara lain Abu Bakar Syatha (yang menjadi ulama utama dalam sanad keilmuan), Syaikh Mustafa Afifi, Syaikh Muhammad Minsyawi, Syaikh Ahmad Zawawi, Syaikh Muhammad Amin Ridwan, dan masih banyak lagi.

Sementara para muridnya adalah Syaikh Hasyim Asy’ari Jombang, Syaikh Baqir Nur Jogjakarta, Syaikh Muhammad Dimyati Termas, Syaikh Ihsan Jampes, Syaikh Abdul Muhit Surabaya, Syaikh Baidhawi Lasem, Syaikh Maksum Lasem, Syaikh Siddiq Lasem, Syaikh Abdul Wahab Jombang, Syaikh Khalil Lasem, Syaikh Abdul Qadir Mandailing, dan lainnya. Dari daftar nama muridnya, yang lebih mendominasi adalah dari daerah Jawa.

Baca juga: Sayyid Utsman Betawi dan Pengenalan Habaib di Nusantara

Karyanya kurang lebih sekitar 12 judul. Semua karya tersebut sesuai dengan gelar yang disematkan kepadanya, yaitu “Al-Allamah (banyak ilmu), al-Faqih (ahli fiqih), al-Ushuli (ahli ushul fiqih), al-Muhaddis (ahli hadits), dan al-Muqri’ (ahli al-Quran dan qiraat).

Terkait sanad keilmuan Syaikh Muhammad Mahfudz Termas, tertuang dalam karyanya yang berjudul Kifayah al-Mustafid lima Ala min al-Asanid.

Kontributor

  • Ahmad Fauzi Ilyas

    Direktur Pusat Studi Naskah Ulama Nusantara, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah. Di antara karyanya adalah Warisan Ulama Nusantara: Tokoh, Karya dan Pemikiran