Amal kebaikan, baik amal lahir maupun batin dihukumi mulia karena lima indikasi. Yaitu amal itu sendiri memang baik, hal-hal yang berkait dengan amal, efek dari amal tersebut, sarana yang dilakukan atau usahakan untuk mewujudkan amal, dan hal-hal yang mendorong amal tersebut dilakukan.
Dari lima indikator tersebut, Syekh Izzuddin mengatakan bahwa amal yang paling utama adalah ma’rifah (mengenal) Dzat dan sifat-sifat Allah. Mengapa ini menjadi amal yang paling utama?
Pertama: karena amal itu terkait dengan Allah SWT, Dzat Maha Mulia yang menjadi tempat bergantung semua makhluk.
Kedua: buah dari amal ini menjadi buah yang paling mulia.
Berangkat dari sini, semua perbuatan yang berkaitan dengan Allah SWT jika dilakukan menjadi perbuatan yang paling utama. Entah itu ketaatan, pengabdian, rasa takut, cinta, segan, syukur, kesabaran, perenungan, pengharapan, tangis, malu, fana, kedermawanan atau pun lain sebagainya. Berbuatan baik apapun selagi dinisbatkan kepada Allah SWT, akan menjadi perbuatan yang paling mulia.
Apakah ini artinya ketaatan, pengabdian, cinta dan sebagainya kepada selain Allah bukan suatu kebaikan? Tentu saja tidak. Sebab diksi yang dipilih oleh Syekh Izzuddin adalah ‘paling’, bentuk superlatif yang menunjukkan bahwa perbuatan baik lainnya berpotensi menjadi amal kebaikan (ibadah) meski derajatanya di bawah perbuatan yang terkait langsung dengan Allah SWT.
Kalau dikatakan bahwa konsep Syekh Izzuddin ini terinspirasi dari firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 24, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”
Atau sabda Rasulullah SAW, “Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia,” maka baik ayat atau hadits tersebut dimaknai oleh para ulama sebagai suatu kondisi di mana manusia harus memilih dalam arti posisi Allah dan Rasul-Nya di satu sisi sementara anak, orang tua dan manusia lain di sisi lain yang berhadap-hadapan dan bertentangan.
Sebagaimana bisa dilihat dari sababun nuzul, ayat tersebut dilatarbelakangi oleh perintah Allah kepada Nabi Muhammad dan para sahabat agar berangkat hijrah ke Madinah, meninggalkan harta dan keluarga mereka yang belum beriman.
Ketika Allah beserta Rasul-Nya dan anak, orang tua serta orang-orang sekitar tidak dalam posisi berlawanan maka mengabdi, menaati, mencintai, dan merindukan mereka adalah kebaikan semata. Bahkan itu merupakan alasan Allah mengutus Nabi dan menebarkan syari’at Islam.
Cinta kepada Allah bukan berarti menepis semuanya selain Allah.
Allah SWT berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [3]: 31)
Ayat itu menjelaskan bahwa pengejawantahan cinta kepada Allah adalah dengan mengikuti sunnah nabi. Mengikuti sunnah Nabi pun tidak berarti menegasikan sunnah yang dilakukan oleh para sahabat.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, tetapilah sunnahku dan sunnah para khalifah (penggantiku) sesudahku yang memberi petunjuk dan diberi petunjuk. Gigitlah dengan erat sunnah itu meskipun kamu dipimpin oleh seorang negro yang keriting. Dengar dan taatilah.”
Mencintai Allah dan Rasul-Nya artinya menyayangi sesama. Rasulullah SAW bersabda, “Kasihilah penduduk bumi, maka kamu akan dikasihi penduduk langit.”
Beliau juga bersabda, “Bukan masuk dalam golongan kami, orang yang tidak mengasihi orang yang lebih muda dan memuliakan orang yang lebih tua.”
Menaruh cinta, penghormatan, pengabdian dan ketaatan pertama dan utama kepada Allah SWT, sebagaimana disebut Syekh Izzuddin, adalah karena itu bisa menggerakkan semua perbuatan baik kepada sesama dan meluruskan niat supaya tetap benar dan lurus demi mendapatkan buah yang baik di kemudian hari.