Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Ajaran Islam untuk Membumikan Cinta dan Kedamaian

Avatar photo
25
×

Ajaran Islam untuk Membumikan Cinta dan Kedamaian

Share this article

Islam, sesuai
namanya, berakar kata al-silm berarti damai, dan selamat. Dalam bentuk
fi’il (kata kerja): Aslama yuslimu islâm berarti berbuat damai,
menyelamatkan, dan
masuk Islam,
menyerahkan diri secara total pada Agama Tauhid untuk keselamatan dunia dan
akhirat.

Islam sebagai agama (al-Dîn)
membawa misi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kedamaian, ketenteraman
dan kasih sayang bagi umat manusia
dan semesta alam).

Al-Quran, firman Allah Taala,
sumber utama ajaran
Islam
, dimulai dengan ayat Bismillâhir
rahmânir
rahîm, mengajarkan agar
kita memulai sesuatu kebaikan dengan menyebut nama Allah, Bismillâh.
Bahwa Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, Pengasih lagi Penyayang. 

Ayat ini menegaskan bahwa dalam
memulai dan melakukan setiap pekerjaan apa pun, yakni perbuatan yang baik,
harus mengingat keagungan Allah Taala sebagai Sang Penebar kasih sayang.

Kata Bismillâh hakikatnya
mempunyai dua makna sekaligus, yaitu mengingat keagungan Allah, yang merupakan
ekspresi (ungkapan) tentang esensi (hakikat) iman itu sendiri. Iman
mensyaratkan kepercayaan dan keyakinan pada keesaan Tuhan, dan memahami sifat
Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Artinya keagungan Tuhan
tersebut dijelaskan dalam sifat-Nya yang mengajarkan kasih sayang dan
kerahmatan.

Ayat ini mengajarkan kita untuk
membumikan kasih sayang sebagai ekspresi iman. Juga agar kita menciptakan
kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara di dunia ini.

Oleh karena
itulah membunuh jiwa tanpa hak (alasan kebenaran) diharamkan dalam Islam. Allah
Taala berfirman:

Dan
janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar.
(QS. Al-Isrâ’: 33)

Yang dimaksud dengan alasan yang
benar, adalah seperti
kisas (membunuh sebagai
balasan hukuman yang setimpal terhadap kejahatan pembunuhan), terorisme maupun
kejahatan narkotika.

Pada ayat
lainnya, yaitu
QS. Al-Furqân ayat 68-70 terdapat penegasan
bahwa orang yang melakukan pembunuhan bukan karena alasan yang benar maka
mendapat hukuman yang berat, azab dan kenistaan di hari kiamat, akibat
kejahatannya itu.

Hadis atau Sunnah, yakni sabda
Nabi Muhamamd SAW, tindak tanduk beliau dan persetujuan beliau, sebagai sumber
utama kedua ajaran Islam setelah Al-Quran menjelaskan pengertian orang muslim
yang benar (lebih utama). Rasulullah SAW bersada:

Seorang muslim yang benar keislamannya
ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lisan dan
tangannya.
(HR. al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasai, dari Ibnu Umar
ra
., dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra.)

Dalam redaksi Imam al-Bukhari yang lain, diriwayatkan dari
Abu Musa bahwa para sahabat bertanya
, “Wahai
Rasulullah,

Islam manakah yang
lebih utama?” Beliau menjawab,
“Yaitu (Islamnya) sesorang yang orang-orang muslim lainnya
selamat (aman) dari gangguan lisan dan tangannya.

Dalam riwayat at-Tirmidzi, diriwayatkan
d
ari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Nabi SAW ditanya, “Orang-orang muslim manakah yang lebih
utama?
Nabi menjawab, “Orang muslim yang benar keislamannya
ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lidah dan
tangannya.

Dalam riwayat at-Tirmidzi yang lain disebutkan: “Dan orang mukmin yang utama itu adalah orang
yang bilamana manusia merasa aman darah (nyawa) mereka dan harta mereka.”

Sunnah (Hadis) Nabi SAW, dalam
riwayat
at-Tirmidzi memerintahkan manusia agar menebarkan kedamaian,
ketenteraman, menjalin dan mempererat tali silaturahim dan memberi makan orang
yang membutuhkan. Inilah amalan yang diajarkan Islam untuk mengantarkan kita,
pelakunya masuk ke dalam surga.

Dalam menegakkan ajaran Islam,
ada konsep tentang amar makruf nahi munkar, yakni menyeru kepada kebaikan dan
melarang kemungkaran. Mengenai amar makruf nahi mungkar,
Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Said al-Khudzri tentang amar makruf nahi munkar dengan tangan, lisan, dan hati,
dijelaskan secara baik oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani al-Hasani.

Menurut beliau, amar makruf-nahi munkar itu dilakukan
sesuai dengan kompetensi
atau kecakapan atau kewenangan masing-masing
orang.

Nahi munkar dengan tangan atau senjata dilakukan oleh
penguasa
atau aparat berwenang.

Nahi mungkar dengan lisan (ucapan), nasehat, ceramah,
pidato bijaksana, dilakukan oleh ulama, dan kaum intelektual.

Sedangkan nahi munkar dengan hati (yaitu pengingkaran
dengan hati terhadap suatu kemungkaran) dilakukan oleh orang biasa (orang awam). 

Jadi, dakwah dan jihad Islam yang benar
adalah ajakan atau seruan untuk mengamalkan ajaran Islam dengan cara hikmah
dan bijaksana,
mau‘izhah
hasanah
(petuah yang baik) dan perdebatan yang fair dan proporsional. Bukan amar makruf
nahi mungkar dengan cara-cara kekerasan, memerangi, membunuh dan menyiksa.

Secara jelas kaidah fikih menegaskan: dar’ al-mafâsid
muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih
, menolak kemafsadatan lebih
didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Juga kaidah al-mashlahah
al-‘âmmah muqaddamatun ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah
(kemaslahatan
publik lebih diprioritaskan daripada kemaslahatan
privat). Kaidah ini merupakan derivasi
atau turunan dari kaidah fikih al-dharâru yuzâlu, madarat harus dihapus,
yang didasarkan pada hadis Nabi SAW, lâ dharara walâ dhirâr, tidak boleh
berbuat kerusakan pada diri sendiri dan/atau orang atau pihak lain, tanpa
alasan yang dibenarkan (hak).

Bahkan Islam juga memerintahkan
manusia untuk mempererat tali persaudaraan, melalui silaturahim. Silaturahim
secara luas bermakna bekerjasama dalam kebaikan, dan berbuat untuk kemajuan
bersama, tanpa mengenal perbedaan agama dan keyakinannya.

Dalam konteks umat seagama,
sesama orang mukmin, umat Islam adalah bagaikan satu bangunan, yang saling
menopang sehingga bangunan itu berdiri kokoh. Maka, orang yang memutuskan tali
silaturahim disabdakan oleh Nabi, ia tidak akan masuk surga (“lâ yadkhul
al-jannata qâthi‘”,
HR. al-Bukh
ari).

Apalagi orang yang berbuat
anarkhis, terorisme, bahkan serangan dan pemunuhan sadis adalah perbuatan yang
sangat zalim dan terkutuk. Secara syar’i, tentu tidaklah ia akan masuk surga,
karena unsur membunuh dengan sengaja terhadap nyawa manusia tanpa alasan yang
hak (benar), melebihi pemutusan tali silaturahim.


Wacana, aksi dan dukungan terhadap ISIS dalam konteks
Indonesia, bertentangan dengan empat dasar
landasan atau pilar kebangsaan kita (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI,
UUD 1945).

Keempat landasan/pilar kebangsaan ini, ditinjau dari
perspektif Islam, adalah bentuk kesepakatan (kalîmatun sawâ’, common
platforms
) yang wajib dijunjung tinggi, ditegakkan dan dipatuhi oleh umat
Islam dan umat lainnya sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Dasarnya ialah Hadis Nabi SAW:
Perjanjian/persepakatan boleh dilakukan di antara
orang-orang Islam kecuali perjanjian

atau
persepakatan
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang-orang Islam
(orang-orang mukmin) wajib menegakkan persepakatan mereka kecuali persepakatan
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
(HR. at-Tirmidzi dan Abu Daud)

Atas dasar ini, segala wacana, sikap dan tindakan yang
mengarah pada pengabaian keempat landasan

atau
pilar
kebangsaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari pengingkaran terhadap kalîmatun
sawâ’
(common platforms), yang hukumnya haram. Dengan cara ini, kita
dapat berperan besar dalam menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan
bermartabat dalam tingkat lokal, nasional bahkan internasional.

Semoga kita, keluarga kita, masyarakat
dan bangsa kita dan umat Islam diberi pertolongan oleh Allah Taala menjadi
orang-orang yang
mendapat hidayah dan inayah
(pertolongan)-Nya menjadi pribadi-pribadi, masyarakat, bangsa dan umat yang
menebarkan kedamaian, yang dengan itu pula akan mengantarkan kita memperoleh
ridha Ilahi.
Amin.

Kontributor

  • KH. Dr. Ahmad Ali M.D.

    Pengasuh Pesantren Progresif Madania Tangerang, Pengurus Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI).