Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologis dalam literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan penggunaan rasio (burhan) secara maksimal, sebagaimana pernah dipraktekkan pada masa the golden age of science in Islam antara tahun 650 M sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.
Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulat-postulat al-Quran dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-eksperimental.
Usaha tersebut dilakukan dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas, baik yang nyata (fisis) maupun yang gaib (metafisis). Dari revolusi filsafat di tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Qurani.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah, simpul H.G. Wells, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya. Dalam perjalanan sejaran lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.
Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran kaum muslimin sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat, khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia sufisme.
Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Quran menjadi haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran dan redupnya mercusuar peradabannya.
Epistemologi Islam Kontekstual
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (bayani, irfani atau kasyf dan burhani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani) secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio (akal), tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Segenap aktivitas didominasi oleh otoritas teks (wahyu) sebagai sumber utama kebenaran, sedang porsi untuk akal. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman.
Hal ini dikarenakan epsitemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami mungkin benar, atau barangkali kebenaran karena kebetulan, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.
Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka menurut penulis, seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai manifestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Harun Nasution, yang menempatkan manusia dan akalnya sebagai penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Quran masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah.
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipandu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi (terasing) dari lingkungannnya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa (jiwa) mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan antara pikiran (fikr) dan rasa (dzikr) ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya juga adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada dua pilar ini disebut al-Quran sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikir, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al-Quran dinilai sebagai khairan katsiran (QS. al-Baqarah: 269).
Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peraban Islam dan dunia yang cemerlang. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikir atau aqal dan isyq harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar.
Epistemologi sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Rumusan-rumusan epistemologi para Filosof Muslim klasik harus disikapi dengan kritis dan tidak boleh diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, karena terlanjur berlabel Islam. Setiap perkembangan baru dalam dunia epistemologis mesti disikapi secara arif dengan prinsip al-muhafadhatu ala al-qadiimi al-shalih wal akhzu bil jadidi al-ashlah atau, menerima secara terbuka setiap perkembangan terbaru yang baik, tanpa menafikan peninggalan-peninggalan lama yang masih relevan.
Syahdan, perhatian yang mendalam terhadap epistemologi yang kontekstual terhadap tuntutan zaman, akan mengantarkan kita (umat Islam) pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar, logis, rasionalis dan ilmiah, yang pada gilirannya akan membawa pada penemuan-penemuan baru yang berguna bagi kemashalatan manusia. Dan harapan besar akan kebangkitan kembali dunia Islam yang telah dicanangkan beberapa dasawarsa yang silam bukan lagi sesuatu yang utopis dan mustahil untuk diraih. Wallahu a’lam bisshawab.