Salah satu polemik dalam dunia filsafat Islam yang sangat fenomenal-dan tetap eksis hingga kini ialah mengenai perdebatan dua tokoh mashyur yakni Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Perdebatan ini dimulai ketika Al-Ghazali mulai mengkritisi filsuf-filsuf muslim sebelumnya, yaitu Al-Farabi dan Ibnu Sina yang pemikirannya berbau Aristotelian pada bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Incoherence of the Philosophers). Kemudian, timbul respon dan sanggahan dari Ibnu Rusyd terhadap pemikiran Al-Ghazali, dalam karyanya yang berjudul Tahafutul Tahafut (Incoherence of the Incoherence).
Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali yang mengkafirkan filsuf Islam pada tiga hal: Pertama, kekadiman alam, kedua, kebangkitan jasmaniah tidak ada, dan ketiga pengetahuan Tuhan hanya bersifat kulli. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa al-Ghazali telah salah paham terhadap filsuf. Tidak ada filsuf muslim yang berpendapat demikian.
Sekilas Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd memiliki nama lengkap Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd. Namun di barat ia lebih dikenal-dengan nama Averroes. Ia lahir tahun 520 H/ 1126 M dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat berpendidikan dan tergolong masyhur.
Talenta kejeniusannya telah terlihat sejak masa kanak-kanaknya, dengan fakta bahwa ia sangat haus ilmu pengetahuan. Bahkan sejak kecil ia telah mempelajari Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Ia menghafal-dan mempelajari kitab al-Muwatta dari ayahnya, yakni Abu Al- Qasim.[1]
Setelah menguasai ilmu-ilmu keislaman, Ibnu Rusyd menekuni matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat. Sehingga menjadikan ia sebagai ulama dan filsuf yang mahir di bidangnya. Ibnu Thufail memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Sultan Daulah Muwahiddun, Sultan Abu Ya’qub Yusuf pada tahun 564 H/ 1169 M. Sultan itu meminta Ibnu Rusyd menulis ulasan atas karya-karya Aristoteles.
Sejak saat itu ia dipercaya menjadi hakim di Sevilla dan menjadi ketua hakim (qadhi qudhat) di Kordoba pada tahun 566 H/ 1171 M. Berikutnya pada tahun 577 H/1182 M ia dipercaya menjadi dokter keluarga istana Sultan Abu Ya’qub Yusuf dan Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur di Marakesy. Pasca didera fitnah dan diasingkan di Lucenna, dekat Kordoba selama satu tahun, yakni pada 592 H/1195 M, ia kembali menjadi dokter istana, tapi dua tahun kemudian wafat dalam usia 75 tahun.[2] Namun di riwayat lain ada yang mengatakan bahwa beliau wafat pada usia 72 tahun.
Meluruskan Tafkiri Al-Ghazali
Al-Ghazali mengkafirkan para filsuf muslim dalam tiga masalah: 1. Kekadiman alam, 2. Allah tidak mengetahui hal-hal-dari yang kecil (juz’i), dan 3. Pengingkaran kebangkitan jasmani.
Kekadiman Alam
Ibnu Rusyd berpandangan bahwa alam itu kadim tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an. Malahan menurutnya paham yang dianut oleh teolog yang menyatakan bahwa alam diciptakan dari tiada justru tidak memiliki pijakan dalam al-Qur’an.
Ibnu Rusyd berpandangan bahwa dari ayat-ayat al-Qur’an seperti QS. Hud: 7, dan QS. Fussilat: 11, dapat ditarik kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-‘adam), melainkan dari sesuatu yang telah ada.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham kekadiman alam tidak selalu mengandung pengertian bahwa alam ada dengan sendirinya atau tidak diciptakan oleh Tuhan. Karena diciptakan sejak azali, maka alam menjadi kadim pula. Meskipun dari segi waktu sama-sama kadim, kekadiman Tuhan tidak berarti sederajat dengan kekadiman alam, Tuhan kadim sebagai pencipta.[3]
Pengetahuan Tuhan
Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, baik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal-yang telah digariskan dengan jelas dalam al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus dalam kalangan umat Islam. Hanya bagaimana Tuhan mengetahui hal-hal yang parsial (juz’iyat) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan.
Terhadap tuduhan al-Ghazali, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam ini, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah paham, karena tidak pernah kaum filsuf mengatakan yang demikian.
Menurut Ibnu Rusyd Tuhan mengetahui sesuatu dengan dzat-Nya. Pengetahuan Tuhan tidak bersifat juz’i maupun bersifat kulli. Pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, karena pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat.[4]
Selanjutnya pengetahuan manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan bersifat kadim, yaitu semenjak awal Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapun kecilnya.
Bagi Ibnu Rusyd, Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil. Tuhan tidak mengetahui perincian itu dengan ilmu baru, di mana syarat ilmu baru itu dengan kebaharuan peristiwa dan perincian tersebut, karena Tuhan menjadi sebab (illat) bagi perincian tersebut, bukan menjadi akibat (musabbab) dari padanya seperti halnya dengan ilmu baru. Ilmu Tuhan bersifat kadim tidak berubah, karena perubahan peristiwa. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian Tuhan Yang Maha Mengetahui segala-galanya.
Kebangkitan Jasmani
Ibnu Rusyd memperlihatkan bahwa ada kerancuan dalam tulisan al-Ghazali mengenai kehidupan manusia di akhirat. Al-Ghazali di dalam Tahafut al-falasifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan hari akhirat bersifat ruhani semata. Namun di karyanya yang lain, al-Ghazali mengemukakan pandangan kaum sufi bahwa kebangkitan di akhirat bersifat ruhani. Jadi tidak ada konsensus atau ijmak di kalangan ulama bahwa kebangkitan di akhirat adalah kebangkitan jasmani. Karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat ruhani tidak dapat dikafirkan dengan alasan ijmak. Mengenai kebangkitan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tubuh tak akan bangkit kembali karena sudah hancur berkeping-keping di alam kubur.[5]
Penutup
Pertentangan antara Ibnu Rusyd dengan al-Ghazali berkisar sekitar interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri.
Ibnu Rusyd maupun al-Ghazali tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam. Hanya yang menjadi permasalahan ialah, apakah semenjak azali Tuhan menciptakan sehingga alam dengan demikian menjadi kadim, ataukah Tuhan menciptakan tidak semenjak azali sehingga alam bersifat baru.
Ibnu Rusyd berpendapat Tuhan menciptakan semenjak qidam. Sebaliknya, al-Ghazali tidak semenjak qidam. Kedua pihak mengakui adanya hari perhitungan dan yang di permasalahkan adalah apakah yang menghadapi perhitungan itu roh atau tubuh, ataukah hanya roh manusia saja. Menurut Ibnu Rusyd hanya roh, sedangkan menurut al-Ghazali tubuh dan roh.
Kedua golongan sama-sama mengakui bahwa Tuhan mengetahui perincian (juz’iyat) dan yang dipersoalkan kaum filsuf cara Tuhan mengetahui yang juz’iyat itu. Kedua filsuf hanya terlibat dalam perbedaan ijtihad, dan perbedaan ijtihad itu lumrah dalam Islam, tidak membawa kepada kekafiran. Bahkan, Nabi Muhammad bersabda, “Jika seorang benar dalam ijtihadnya mendapat dua pahala, dan jika salah, mendapat satu.”
[1] Asep Sulaiman, “Mengenal-Filsafat Islam”, (Bandung: Penerbit Yrama Widya, 2016), h. 105.
[2] Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat yang Pengen Tau”, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), h. 73-74.
[3] Ibnu Rusyd, “Tahafut at tahafut”, Terj. Khalifurahman Fath, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 48.
[4] Muhammad Mahfud Ridwan, “Kafirnya Filsuf Muslim: Ibnu Rusyd Meluruskan Al-Ghazali”, dalam Jurnal-Kontemplasi, Vol. 4 No. 01, Agustus 2016, h. 172-173.
[5] Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat yang Pengen Tau”,……, h. 76-77.