Sebagian kelompok muslim menilai golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Asya’irah dan Maturidiyah) terlalu berlebihan memposisikan akal dari pada nash di dalam persoalan tauhid. Lantas bagaimana sebenarnya kedudukan akal dalam berakidah menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita pahami dahulu definisi akal beserta tauhid. Secara bahasa, akal berarti daya pikir atau ingatan, yang merupakan kebalikan dari makna dungu dan bodoh. Orang Arab memahami kata ‘akal’ sebagai al-‘âshim, yang berarti menjaga. Yakni menjaga manusia dari kebodohan dan sembrono, serta mengarah pada makna al-idrâk yang berarti pengetahuan.
Definisi Akal
Imam al-Mawardi mendefinisikan akal sebagai pengetahuan tentang sebuah konsepsi ataupengertian yang pasti. Pengetahuan tersebut bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, penemuan lewat panca indera. Seperti saat kita melihat atau mendengakan sesuatu, maka kita akan mendapat pengetahuan tentang apa yang baru saja kita lihat atau dengar. Kedua, pengetahuan dasar yang sudah kita ketahui tanpa pembuktian. Misalnya pengetahuan tentang angka satu yang lebih kecil dari dua, atau pun dua hal yang berlawanan tidak mungkin ada dalam satu waktu bersamaan.
Menyoal akal, Allah SWT sangatlah memuliakan manusia di atas hewan sebab kelebihannya memiliki daya pikir. Dengan akalnya, manusia mampu menggerakkan dirinya untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT pun melarang manusia untuk mendekati perkara-perkara yang dapat mendestruksi fungsi akal.
Dalam surat al-Maidah ayat 31, Allah SWT. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Baca juga: Mengapa Wahabi Keluar dari Ahlus Sunnah wa Jamaah?
Di dalam al-Quran juga terdapat begitu banyak ayat-ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan daya pikirnya, dengan mangamati dan merenungkan sebuah kejadian.
Adapun ilmu tauhid secara bahasa berarti pengetahuan bahwa sesuatu itu satu. Sedangkan menurut istilah maknanya adalah menyembah satu Tuhan beserta meyakini bahwa Tuhan yang berhak disembah hanya satu, membenarkan keesaan-Nya baik dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya (af’âl); tidak ada dzat lain yang menyerupai dzat-Nya, tidak ada wujud lain yang menyeruapai sifat-sifat-Nya, pun tidak ada wujud lain yang menyertai perbuatan-Nya.
Jika melihat dari fungsinya, sebagai cabang ilmu, tauhid berfungsi untuk menetapkan akidah Islam dengan dalil-dalil yang pasti (yaqîniyyah). Sedangkan fungsi akal adalah mengetahui substansi dan karakteristik dari sebuah benda atau pun sebuah kejadian. Pengetahuan tersebut sesuai dengan kemampuan setiap individu, tanpa ada campur tangan hukum taklif Islam di sana.
Posisi Akal di Mata Ahlus Sunnah wal Jamaah
Dalam hal ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah memposisikan akal sebagai sarana manusia untuk mengamati dan membaca fenomena-fenomena alam, hingga kemudian mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang keberadaan Allah SWT yang dengan mendayagunakan akalnya untuk memperhatikan sekeliling, manusia dapat mengenal Tuhannya lebih dekat. Misalnya, dengan menyaksikan keindahan alam manusia akan terdorong untuk memikirkan keberadaan Dzat Maha Kuasa yang mampu menciptakan alam ini. Sampai kemudian ia meyakini bahwa hanya Tuhan Yang Maha Esa lah yang kuasa untuk menciptakan semesta alam. Lantas dengan pengenalannya terhadap Allah SWT tersebut ia tergerak untuk senantiasa menghambakan diri kepada Allah SWT.
Ahlus Sunnah wal Jamaah membenarkan bahwa kewajiban mengimani Allah SWT diketahui lewat syariat, bukan dari akal. Mazhab ‘Asyairah menegaskan, “Kewajiban muslim untuk mengenal Allah SWT datangnya lewat syariat, bukan akal. Begitupun hukum-hukum yang lain. Sebab tidak ada hukum apapun sebelum turun syariat Islam. Baik hukum ashliyyah maupun far’iyyah.”
Oleh karenanya, anggapan bahwa golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah terlalu berlebihan menggunakan akal (ketimbang nash) tidak bisa dibenarkan. Sebab penetapan hukum taklif soal kewajiban mengenal Allah SWT tidak mungkin turun selain lewat syariat. Sedang kedudukan akal dalam berakidah menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah, untuk membuktian hakikat akidah serta keselarasannya dengan realitas.