Tokoh
Abu Hasan Al-Asy’ari, Imam Besar Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Nama lengkap Imam Al-Asy’ari sebenarnya adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq. Nasabnya sampai pada Abu Musa Al-Asy’ari, salah satu sahabat Nabi yang terkenal karena keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an. Dari sinilah asal usul nama Al-Asy’ari yang dilekatkan padanya.
Lahir di Bashrah pada tahun 260 H, Imam Al-Asy’ari hidup dalam lingkungan Ahli Hadits. Sang ayah menitipkan Al-Asy’ari kecil kepada ulama Ahli Hadits seperti As-Saji, Al-Jamkhi, Al-Maqbiri dan lainnya untuk menimba ilmu agama. Di usia 10 tahun, ia terlihat paling menonjol dibanding anak-anak sebayanya.
Keadaan mulai berubah saat ayahnya meninggal. Tak lama berselang, ibunya menikah lagi dengan salah satu tokoh besar Muktazilah, Abu Ali Al-Jubbai. Kini, Al-Jubbai yang bertanggung jawab terhadap segala hal yang berurusan dengan anaknya, termasuk pendidikan.
Melalui ayah tirinya, Al-Asy’ari kecil mendapatkan menu baru dalam hal keilmuan. Diskusi-diskusi Muktazilah yang berkaitan dengan rasionalitas menjadi makanannya sehari-hari. Karena naluri seorang ayah yang ingin agar anaknya kelak menggantikannya, dalam beberapa kesempatan Al-Jubbai sering kali mempercayakan anaknya untuk mengisi diskusi-diskusi ilmiah. Al-Asy’ari muda tumbuh menjadi pembela Muktazilah hingga usia 40 tahun.
Pengetahuan yang dimiliki Imam Al-Asy’ari dari ulama-ulama Ahli Hadits dalam sepuluh tahun usia pertamanya, kemudian rasionalitas yang didapatkannya dari Al-Jubbai, berkecamuk dalam otaknya. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan Muktazilah tiba-tiba menguap dari benaknya satu demi satu, mengisyaratkan ada sesuatu yang mengganjal. Puncaknya, Imam Al-Asy’ari meragukan konsep as-Shalâh wa al-Ashlah milik Muktazilah, yaitu bahwa Tuhan wajib berbuat baik dan memberikan yang terbaik kepada manusia.
Baca juga: Mengapa Al-Azhar Menganut Paham Asy’ariyah
Dalam sebuah perdebatan, Imam Al-Asy’ari bertanya kepada Al-Jubbai, “Bagaimana pendapatmu terhadap tiga orang ini, orang yang mati beriman dan bertakwa, orang yang mati kafir dan orang yang mati ketika masih kecil?”
Al-Jubbai menjawab, “Orang yang mati beriman akan dimasukkan ke dalam surga tingkat atas, orang yang mati kafir akan masuk neraka dan anak kecil yang mati akan selamat dari neraka.”
Imam Al-Asy’ari lalu menimpali pertanyaan lagi, ”Kemudian, jika anak kecil itu di akhirat berteriak, Ya Tuhan kenapa Engkau tidak panjangkan saja umurku sehingga aku bisa punya banyak waktu untuk taat kepadamu.”
Al-Jubbai menjawab, ”(Kata Allah) Aku lebih tahu, jika engkau hidup lebih lama niscaya engkau akan berbuat maksiat.”
Imam Al-Asy’ari melanjutkan pertanyaan, “Bagaimana jika orang yang mati kafir itu menuntut di akhirat. Tuhan, mengapa Engkau tidak matikan saja aku ketika masih kecil supaya aku tidak terjerumus kepada neraka.”
Sampai di sini, Al-Jubbai terdiam seribu bahasa.
Keganjalan-keganjalan yang menghantui Imam Al-Asy’ari selama 20 tahun terakhir akhirnya menemui jalan terang pada bulan Ramadhan. Pada bulan penuh berkah ini dia bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Ia tiga kali bertemu Nabi dalam mimpi dengan pesan yang sama, “Kembalilah ke jalan Ahli Hadits.”
Imam Al-Asy’ari terlihat menghilang dari rumahnya entah kemana setelah kejadian mimpi tersebut. Ia muncul secara tiba-tiba setelah 15 hari untuk memberitahukan kepada segenap manusia bahwa ia telah keluar dari mazhab Muktazilah. Pengumuman ini ia sampaikan di mimbar masjid:
“Barang siapa telah mengenalku, memang itulah aku. Barang siapa belum mengenalku, aku tahu bahwa aku, fulan bin fulan adalah orang yang berkata bahwa al-Quran itu makhluk, bahwa Allah SWT. tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa keburukan yang aku lakukan berasal dari kehendakku sendiri. Maka dari itu, saya menyatakan bertobat (dari semua statemen tadi). Saya melepaskan diri dari Muktazilah dan menentang (pendapat)nya.”
Baca juga: Apakah Menjadi Sunni Harus Berakidah Asy’ari?
Semenjak kejadian itu, Imam Al-Asy’ari menjadi lawan debat Muktazilah. Uniknya, ia mengkritik Muktazilah dengan logika debat ala Muktazilah. Ia berhasil menyatukan dua kelebihan yang dimiliki kelompok Ahli Hadits dan kelompok Muktazilah.
Dari Ahli Hadits, Imam Al-Asy'ari belajar pendapat sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in terkait masalah ketuhanan dan al-Qur’an. Dan dari Muktazilah, ia belajar membangun logika rasional yang mudah diterima akal. Ia kemudian menjadi arus baru dalam ilmu Kalam yang bisa menggabungkan rasionalitas dengan kesahihan pendapat al-Qarn al-Awwal (generasi pertama).
Asal dari Kedungleper, Bangsri, Jepara. Sedang menempuh kuliah S2 di Universitas Al-Azhar Jurusan Tafsir dan Ulumul Quran, Kairo Mesir. Pernah nyantri di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Pati. Meminati kajian filsafat & quranic studies