Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Kembali ke Sunnah, Kembali ke Wasathiyah

Avatar photo
42
×

Kembali ke Sunnah, Kembali ke Wasathiyah

Share this article

Dengan tegas Al- Qur’an telah menjelaskan, umat Islam akan selalu teridentifikasi sebagai ummatan wasathan, umat yang moderat.

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. al-Baqarah [2]: 143)

Diriwayatkan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ra.,

Aku diutus dengan membawa agama yang lurus lagi toleran, siapa pun yang menyalahi tradisiku , dia bukanlah dariku.”

Dalam hadits lain milik Ibnu Mas’ud r.a., Jabir ibn Abdullah menyatakan bahwa Rasullah Saw membuat garis dengan tangan beliau sendiri seraya berkata, “Inilah jalan Allah yang lurus.”

Kemudian beliau SAW membuat garis lain lagi di tepi kanan dan kirinya. “Inilah jalan-jalan (yang lain). Tidak satu jalan pun darinya, kecuali terdapat setan yang menyeru kepadanya,” Nabi menimpali.

Lantas beliau menyebut ayat,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ

“Dan sungguh, inilah jalan-ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan lain yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS al- An’am [6]: 153)

Garis yang dipilih oleh sang nabi bukan yang kanan atau yang kiri, namun yang diapit keduanya: garis tengah.

Secara simbolik, ini sekaligus mempertegas narasi di atas bahwa watak dasar Islam yang sejati adalah moderasi, tengah-tengah.

Bukan hanya dalam persoalan-persoalan duniawi, bahkan dalam aktivitas ibadah yang amat sakral sekalipun, nabi melarang untuk berlebihan.

Ada lagi kisah lain yang menunjukkan memang benar moderasi adalah watak dasar Islam.

Alkisah ada tiga pemuda yang ingin menjalani hidupnya hanya dengan beribadah. Mereka menunaikan shalat, berpuasa seumur hidup dan memilih untuk tidak menikah karena takut terlenakan oleh kenikmatan duniawi. Padahal dalam Islam tidak ada anjuran untuk berpuasa seumur hidup, bahkan menikah bagi seorang Muslim sama halnya dengan menegakkan separuh tiang agama.

Karena watak moderat inilah, Islam tidak mengenal konsep rahbaniyyah (kerahiban). Ajaran Islam identik dengan kemudahan. Di dalam Islam, beragama bukanlah pilihan mengambil jalan hidup yang sulit, yang memasung, dan anti kemajuan.

Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah. Maka siapa pun yang membuatnya sulit, ia akan terkalahkan. Maka bersahajalah, jangan berlebihan, dan berbahagialah!” sabda nabi melalui periwayatan Abu Hurairah.

Muslim sejati, dengan demikian, sesungguhnya adalah muslim yang memegang teguh prinsip moderasi dalam segenap lini hidupnya, bahkan dalam aktivitas ibadah sekalipun.

Maka, fenomena lahirnya generasi muslim moderat saat ini sejatinya adalah kelahiran kembali generasi Muslim sebagaimana pernah terjadi dalam bentangan sejarah awal agama ini. Persis sebagaimana dicontohkan dan dipraktikan oleh nabi dan generasi-generasi setelahnya.

Sebaliknya, munculnya generasi muslim radikal yang kini semakin terlihat tambah subur, bukan hanya pengecualian tapi justru kemunduran. Bukan saja tak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, namun juga tak sejalan dengan praktik yang diajarkan oleh sang Nabi.

Sejalan dengan prinsip moderasi ini, Islam identik dengan agama yang berkeadilan. Moralitas dalam Islam, antara lain didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya.

Pada prinsipnya setiap perbuatan bersifat netral nilai. Tindakan baik dan buruk dapat dinilai secara berbeda bergantung pada penerapannya. Mencuri, misalnya. Bisa terlarang, bisa juga mubah dalam keadaan tertentu. Ibn Hazm al- Zahiri, dalam bukunya, al-Muhalla, menyatakan bahwa seorang pencuri yang mengambil harta dari seorang kaya dikarenakan haknya tidak diberikan, kemudian tertangkap dan terbunuh, ia dipercayai mati syahid.

Dengan demikian, etika di dalam Islam selalu berdasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional. Etika yang dirumuskan tidak semata-mata bersifat rasional. Etika yang dirumuskan tidak semata-mata mendasarkan diri pada etika yang hedonistik, utilitarianistik, maupun deontologis.

Ini mudah dipahami, sebab Allah sendiri di dalam al- Quran mengajarkan pentingnya ‘neraca’ untuk menimbang baik dan buruk, salah dan benar. Sejalan dengan prinsip penciptaan dalam meninggikan langit, “Dia meletakan neraca (keadilan).” (QS ar-Rahman [55]:7)

Di Indonesia saat ini, ormas yang terbesar dan memiliki keanggotaan paling banyak adalah NU (Nahdlatul Ulama). Bukan hanya secara kultural, kitab isa melihat setiap anggota ormas ini berlaku santun dan moderat di banyak aspek sosial.

Tidak heran, karena memang secara resmi NU mempromosikan empat nilai utama sebagai karakter ormas ini yang membedakanya dari yang lain, yaitu: tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak), dan tasamuh (toleran).

Prisip moderat (tawassuth, wasathiyah) terletak di poin pertama yang memang sengaja ditekankan sebagai prinsip pemahaman keagamaannya kepada masyarakat agar mereka mudah dan tergerak untuk mengikutinya.

Dari banyaknya bukti di atas, kita akan menemukan keharmonisan antara ajaran dan prinsip dasar Islam tentang moderasi, dengan apa yang berlaku dalam sejarah umat Islam. Ini menegaskan kembali bahwa sesuatu yang berlebihan, gerakan-gerakan radikalisme dan ekstremisme yang benar-benar nemesis dari prinsip sejati Islam yang sesungguhnya tentulah bukan anak sah agama dan tradisi Islam. Wallahu a’lam bishawwab.

Kontributor

  • Farid Hamdani

    Mahasiswa Al-Azhar jurusan Syariah Islamiah yang sangat menikmati lezatnya buku dan indahnya berdiskusi.