Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mewarisi Keimanan, Mencari Kemantapan

Avatar photo
27
×

Mewarisi Keimanan, Mencari Kemantapan

Share this article

Tak banyak dari
kita yang sejak kecil tidak dikenalkan kepada Tuhan dan kemudian mencari dengan
dayanya sendiri siapakah dzat yang maha menciptakan. Mayoritas dari kita
iman
kepada Tuhan
karena pendidikan, baik di lingkup keluarga maupun di lingkup
sosial secara umum. Keimanan kita tersebut, dengan demikian, diwarisi oleh
generasi terdahulu, dan, suatu nanti, juga akan diwariskan kepada generasi
mendatang.

Tak usahlah kita
berdebat soal bagaimana status keimanan kita yang demikian. Anggap saja itu
anugerah dari Tuhan untuk kita. Toh juga tak ada jaminan bagi
para
pencari Tuhan
yang akhirnya menemukan Tuhan yang Maha Esa, kebanyakan
berhenti di jalan dan beberapa terjebak dalam konsep pemberhalaan.

Pun tak ada
jaminan bahwa keimanan yang diturunkan kepada insan dari keluarga dan
lingkungan akan sanggup bertahan di tengah berbagai cobaan dalam kehidupan.

Hal itu, bagi
saya, menunjukkan bahwa ‘keimanan’ yang diwarisi tak sepenuhnya doktrinal.
Terdapat sisi pencarian sekecil apa pun denyutnya, baik hasilnya positif maupun
negatif.

Ibnu Taimiyyah
melalui al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 menyatakan bahwa fitrah manusia adalah
makhluk bertuhan, bahkan lebih khusus bertauhid, lebih khusus lagi bahkan
berislam (beragama yang hanīf). Baginya fitrah ini diwariskan semenjak Nabi
Adam. Itulah sebabnya ‘ide’ tentang Tuhan (lebih umum kekuatan transenden)
dalam peradaban manusia tak akan pernah padam. Semacam ada kerinduan sekaligus
kegentaran di hadapan Sang Maha.

Dengan konsep
fitrah itu, Ibnu Taimiyyah sampai kepada kesimpulan bahwa ‘Tuhan tidak perlu
dibuktikan ada-Nya’, konklusi yang sama persis dengan beberapa sufi Islam sebut
saja Ibnu Arabi. Dalam salah satu puisinya, Ibnu Arabi berkata: “Bagaimana
mungkin dibayangkan Dia ditutupi oleh sesuatu, sementara Dia tampak bagi segala
sesuatu?”. Membuktikan Tuhan melalui sesuatu (semesta) tidak benar karena
Tuhan lebih tampak jelas dari segala sesuatu.

Pendapat Ibnu
Taimiyyah ini dibantah oleh kalangan ahli Kalam dan filsuf. Premisnya: jika
Tuhan tidak perlu dibuktikan karena fitrah manusia adalah makhluk bertuhan,
maka (i) tidak perlu Tuhan mengutus rasul untuk mengenalkan mereka akan Tuhan,
dan (ii) tentunya tidak akan ada insan ateis.

Membantah kaum
sufi, Ibnu Rusyd dalam Manâhij al-Adillah berkata bahwa agama diturunkan
untuk semua kalangan, dan tidak semuanya bisa sampai kepada makam sufi. Jadi,
adanya Tuhan perlu pembuktian.

Perdebatan
semacam ini dapat ditekan dengan mengatakan bahwa ‘fitrah’ yang dimaksud adalah
‘dorongan’ untuk dapat menerima keimanan dan dengan begitu ia bermakna umum.
‘Fitrah’ ini memang ada, tetapi lingkungan dan bahkan data indrawi acap kali
menutup katupnya. Maka diutuslah para rasul untuk membuka katup itu dan
sekaligus memberi pendasaran akidah yang benar.

Hal itu dilakukan
al-Quran yang jika boleh disimpulkan akidahnya memuat: (i) pembuktian adanya
Tuhan, (ii) penetapan sifat yang layak bagi-Nya, (iii) memperkenalkan nama-nama
agung-Nya, dan (iv) menunjukkan tindakan-tindakan-Nya.

Iman kita memang
diwarisi dari generasi sebelumnya dengan cara membiarkan katup fitrah terbuka
untuk menerima kebenaran tentang adanya Tuhan. Tetapi keimanan tentang
‘bagaimana’ Tuhan itu sebetulnya tidak sepenuhnya warisan.

Dari sini,
melalui kisah Nabi Ibrahim, harus saya bedakan antara keimanan dan kemantapan.
Nabi
Ibrahim
masyhur sebagai nabi yang mencari Tuhan yang Esa di tengah
masyarakat yang mendewakan berhala. Imannya tidak diwarisi dari ayahnya. Namun
demikian, keimanannya butuh bukti.

Setelah Nabi
Ibrahim mendapatkan keimanan yang kokoh, dalam perjalanan hidupnya, ia masih
mencari kemantapan hati dalam perkara ‘tindakan’ Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah
ayat 260 diceritakan bahwa ia meminta bukti ‘bagaimana’ Tuhan menghidupkan yang
sudah mati. Dijawab Tuhan dengan pertanyaan: “Apakah kamu tidak iman (bahwa Aku
dapat menghidupkan yang sudah mati)? Nabi Ibrahim menimpali: “Tentu hamba
beriman, hanya saja agar hati hamba mantap (tenang).” Dengan alasan itu, Allah
kemudian mengabulkan permintaan Nabi Ibrahim untuk menunjukkan kuasa-Nya.

Kisah ini bukan
hanya luar biasa dari segi keintiman Tuhan dengan hamba-Nya, namun sekaligus
menunjukkan bahwa ‘keimanan di satu sisi butuh kemantapan dan kemantapan butuh
bukti’.

Semenjak lahir
kita memang telah iman, tetapi bukankah dalam perjalanan hidup kita sering
merasa butuh bukti ‘kenapa’ suatu hal begini dan ‘bagaimana’ sesuatu hal bisa
begitu.

Saya enggan
menyebut fenomena ini sebagai ‘keraguan’ karena konotasinya akan
bermacam-macam. Saya lebih suka menyebutnya, meminjam doa Nabi Muhammad, dengan
‘kebingungan’ (tahayyur). Kebingungan bukan hasil dari kekosongan pengetahuan
dan keimanan. Sebaliknya, kebingungan justru adalah penegasan atas pengetahuan
dan keimanan. Dengan kata lain, semakin kita tahu banyak hal semakin bingung
pula kita.

Kebingungan
inilah yang mengantarkan kita kepada pengetahuan lanjutan. Pengetahuan bahwa
Allah adalah Tuhan semesta alam, baik di tataran fitrah maupun non-fitrah, akan
naik tingkat jika kita bingung akan(tindakan)-Nya.

Tersebab
kebingungan tak akan hilang tanpa bukti, maka pencarian atas bukti jadi niscaya
sifatnya. Pencarian inilah—dari mana pun sumbernya—yang tidak diwarisi oleh dan
diwariskan kepada kita.

“Sebanyak manusia
di dunia, sebanyak itulah jalan menuju Tuhan.” Adagium ini layak untuk
menggambarkan apa yang ingin saya katakan dalam tulisan sederhana ini. Biarpun
keimanan diwarisi dan diwariskan, kemantapan harus dicari, diburu, dan
diminati, hingga akhir hayat.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.