Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Peninggalan Bujhu’ Hamim dan Potret Pernaskahan Madura

Avatar photo
31
×

Peninggalan Bujhu’ Hamim dan Potret Pernaskahan Madura

Share this article

Pada pameran Nahdlatut Turots yang digelar di Bangkalan kemarin (17/02/2022), ada satu koleksi menarik yang dipajang. Salah satunya ada sejumlah artefak literasi peninggalan dari Bujhu’ Hamim dari Kampung Brembeng, Desa Tamansari, Sampang, Madura.

Bujhu’ atau semakna dengan istilah buyut dalam bahasa Jawa. Panggilan tersebut setidaknya disematkan kepada orang yang telah melahirkan empat generasi. Namun, untuk Bujhu’ Hamim ini, telah melahirkan generasi lebih dari itu. Artefak-artefak literasi peninggalannya itu, kini disimpan oleh Kiai Muzali Musyafa yang tak lain adalah keturunan kelimanya.

“Perkiraan usia benda-benda ini, tidak kurang dari 150 tahun,” ungkap menantu Kiai Muzali yang membawa koleksi langka itu di arena pameran.

Ada tiga benda peninggalan Bujhu’ Hamim yang ikut dipamerkan dalam rangkaian peringatan puncak harlah ke-99 NU yang dihelat PBNU itu.

Pertama, adalah semacam benda dari kayu yang menjadi tempat lampu dan tinta saat membaca atau menulis turots. Sebuah papan kayu yang ditatal menjadi landasannya.

Di bagian tengah terdapat cekungan sebagai wadah tinta. Lalu, padanya juga terdapat tiang kayu setinggi 30-an cm. Di bagian tengah tiang itu, dilengkapi papan untuk menaruh damar kambang. Di kanan-kiri tiang, ada semacam sayap yang dapat diatur guna melindungi api dari hembusan angin. Sayang, saat ini, tinggal sayap di sisi kanan saja yang tersisa. Sebuah prototype “lampu belajar” yang unik.

Baca juga: Islam Kejawen di Tengah Komunitas Madura

Benda kedua yang dipamerkan adalah tempat tinta. Terbuat dari kuningan. Di wadah itulah, tinta tutul ditaruh. Untuk memanfaatkan tintanya, penulis tinggal membuka penuntupnya dan menutulkan alat tulisnya. Dari praktik inilah, kemudian lahir beragam manuskrip.

Salah satu manuskrip yang ditampilkan adalah naskah khutbah Idul Fitri. Bahannya berupa kertas daluwang. Bentuknya unik. Berupa gulungan sepanjang hampir 3 meter dengan lebar sekitar 20-an cm. Gulungan tersebut dimasukkan ke bilah bambu yang telah diserut dan diberi penutup setengah bulatan dari kayu. Sayangnya, naskahnya sudah lapuk dan riskan untuk dibuka.

Peninggalan Bujhu’ Hamim ini seolah mengkonfirmasi kekayaan literasi di pulau garam ini. Banyak catatan sejarah yang menyebutkan bahwa Madura merupakan bagian penting dari derap literasi di Nusantara pada abad 18 hingga 20 awal. Khususnya, bagi kalangan pesantren.

Hal ini sebagaimana diakui oleh Snouck Hurgronje dalam sebuah suratnya tertanggal 29 Desember 1902 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda (lihat Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936):

“Jika orang, di mana pun di Jawa, bertanya kepada orang yang telah belajar dalam ilmu-ilmu Islam bertahun-tahun lamanya tanpa tinggal di negeri Arab, di manakah mereka mereka mendapat pengetahuan, maka 9 dari 10 orang akan mendapat laporan tentang perjalanan orang-orang tersebut ketika muda, selama 5, 10, terkadang 20 tahun, ke Madiun, Surabaya dan Madura.”

Apa yang dikatakan Snouck tersebut, menegaskan bagaimana positioning Madura dalam mengembangkan dunia literasi di Nusantara. Posisi keilmuan Madura yang demikian itu, menurut penelaahan Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a (hal 191-222), tak terlepas dari segenap elemen masyarakat Madura yang bergerak dan membentuk jejaring informasi dan pengetahuan. Mulai dari kalangan kerajaan dan ningratnya, kalangan ulama dan pesantrennya, hingga kalangan santri dan warga Madura umumnya yang tak terlepas dari identitas kesantrian dalam berbagai levelnya.

Baca juga: “Turats” dan Argumen Keagamaan Kita

Faktor-faktor tersebut di atas, tak mengherankan jika Madura menjadi salah satu pusat skriptorium naskah-naskah Nusantara, terutama yang bernafaskan keislaman. Naskah-naskah tersebut, ada yang masih tersimpan di sana, ada pula yang telah tersebar ke berbagai penjuru dunia seiring dengan pengelanaan orang Madura dan jejaring interaksinya.

Sejauh yang bisa penulis telusuri, naskah-naskah Madura bisa kita temukan di antaranya di Museum Sonobudoyo. Ada naskah dengan kode L394, LL21, LL24, P169, S74, S75, S93, S126, S127, L42 dan lain sebagainya (lihat Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo).

Selain yang tersimpan di museum, naskah-naskah Madura juga banyak tersimpan di tengah masyarakat. Seperti halnya yang ditemukan di Banyuwangi. Ada banyak naskah yang tersebar di Banyuwangi yang berasal dari Madura. Sebagian kecilnya telah dimuat dalam Katalog Naskah Kuno Banyuwangi (Perpusda Banyuwangi, 2021).

Di Madura sendiri, juga sangat melimpah. Tersebar dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan hingga Sumenep. Balitbang Agama Semarang pada 2020 menerbitkan dua jilid katalog atas naskah-naskah Madura yang telah didigitalisasinya. Ada 518 naskah yang berhasil dikumpulkannya dalam dua katalog tersebut. Meliputi sejumlah cabang keilmuan dalam napas keislaman.

“Naskah yang terkumpul dari tiga kabupaten ini masih sebagian saja dari keseluruhan naskah yang ada di masyarakat Madura,” demikian pengakuan tim penyusun katalog jilid 2 yang meliputi naskah di Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pamekasan.

Hal ini terkonfirmasi dari keterangan Lora Habibullah, penggiat di Padepokan Raden Umro, Pamekasan, yang turut dilibatkan koleksi naskah-naskahnya dalam penyusunan katalog tersebut. Dari ratusan lebih naskah yang dimiliki oleh Pesantren Sumberanyar, hanya 147 naskah saja yang dimuat di katalog tersebut.

Menurut Lora Utsman Hasan, Ketua Nahdlatut Turots yang juga menggawangi Lajnah Turots Ilmi Syaikhona Muhammad Kholil, ada banyak naskah-naskah koleksinya yang juga belum tersentuh pendataan tersebut. Bahkan, sepanjang penelusurannya di Madura, ada banyak lagi naskah-naskah yang tersimpan di keluarga-keluarga pesantren.

Waba’du, Madura memang tempat yang tepat untuk mengembangkan pernaskahan di Nusantara. Jadi, tidak heran, jika Nahdlatut Turots yang diawali dari Mertajasah, Bangkalan pada November kemarin, kini mendapat perhatian Nasional dan gaungnya telah dirasakan di berbagai penjuru Indonesia. Memang dari tempatnya!

Kontributor

  • Ayung Notonegoro

    Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi.Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi.