Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

“Turats” dan Argumen Keagamaan Kita

Avatar photo
38
×

“Turats” dan Argumen Keagamaan Kita

Share this article

Belakangan ini, tetiba kata “turats” sering muncul di ruang publik, meski belum menjadi  tema arus utama, apalagi sampai viral. Kemunculannya itu seiring dengan bangkitnya gairah sejumlah kyai muda Nahdlatul Ulama (NU) dalam merawat, mengkaji, dan mempublikasikan turats ulama Nusantara. Mereka menyebut  gerakannya sebagai Nahdlatut Turats (Kebangkitan Turats).

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi dan Wapres KH Ma’ruf Amin dikabarkan secara khusus mengunjungi Pameran Turats Nusantara yang digelar pada Senin (31/01/2022) dalam rangka Pengukuhan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masa Khidmat 2022-2027 dan Peringatan Hari Lahir ke-96 NU di Balikpapan, Kalimantan Timur. Senin pekan berikutnya (08/02/2022), digelar pameran Sejarah Peradaban dan Turats Ulama Nusantara dalam rangka Pekan Memorial Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani, di Jakarta. Pergelaran ini mengusung tema: “Kebangkitan Turots Nusantara dari Indonesia untuk Peradaban Dunia”.

Dalam bahasa Arab, “turats” berarti warisan, sering dihubungkan juga dengan kebudayaan dan peradaban. Turats adalah sesuatu yang bernilai tinggi, khususnya berupa tulisan, karya sastra, dan pengetahuan yang diwariskan secara temurun dari generasi ke generasi. Dengan begitu, “Turats Ulama Nusantara” berarti merujuk pada warisan intelektual tertulis karya para ulama Nusantara, yang berisi pengetahuan tentang pandangan dan pemikiran keislaman, baik secara normatif maupun empirik menggambarkan hasil pergumulan penulisnya dengan konteks dan budaya lokal.

“Turats” dan Literasi Bangsa

Sejak lama saya meyakini bahwa bangsa kita amatlah unggul dalam hal literasi. Nenek moyang kita telah terbiasa menulis sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum kita “melék” baca tulis huruf Latin. Saya sering mengkritik mereka yang berasumsi bahwa ukuran literasi kita adalah kemampuan baca koran.

Setidaknya sejak abad 14, bahkan lebih awal, leluhur kita sudah menulis dalam beragam bahasa dan aksara, mulai dari Pallawa, Sanskerta, Jawa Kuno, Sunda Kuno, Bugis-Makassar, hingga aksara Arab, Jawi, dan Pegon ketika Islam datang. Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta bahkan diduga kuat sudah dikenal sejak setidaknya abad ke-4, terpahat dalam bentuk inskripsi. Keragaman aksara ini jelas jauh lebih kaya dibanding Jepang, misalnya, yang hanya mewarisi tiga aksara: Kanji, Hiragana, dan Katakana.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, tradisi tulis pun semakin menguat, mengejawantah dalam bentuk karya. Islam memang agama teks. Pemahaman umat Muslim terkait pesan-pesan keagamaan banyak didasarkan pada teks dalam kitab-kitab tertulis. Bahkan wahyu Tuhan (al-Quran) juga adalah teks tertulis, turunannya melahirkan kitab tafsir, elaborasinya menghasilkan kitab hadis, fikih, tauhid, tasawuf, kalam, dan lainnya. Teks-teks turunan ini yang sering mengandung keunikan dan orisinalitas, karena disampaikan sebagai respon atau adaptasi atas konteks lokal yang dihadapi penulisnya.

Baca juga: Urgensi Islam Nusantara di Pentas Dunia Global

Konteks inilah yang melahirkan turats ulama Nusantara, yang bentuk fisiknya banyak dijumpai berupa naskah tulisan tangan (manuscript), meski sebagian lagi sudah dicetak. Merujuk UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, manuskrip adalah satu di antara objek kebudayaan yang wajib dijadikan sebagai landasan dalam mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, demi terwujudnya persatuan dan kesatuan negara kita.

Turats ulama Nusantara adalah bukti dan indikasi bahwa dalam beragama, bangsa kita terbiasa dan memiliki literasi tinggi untuk memahami, mengolah, dan mendapatkan informasi dasar tentang suatu pemahaman keagamaan secara mengakar dari sumber tertulis, bukan sekadar mengandalkan informasi instan qala wa qila kata si fulan.

Argumentatif

Saya meyakini, gerakan Nahdlatut Turats, atau Kebangkitan Turats ulama Nusantara, yang diinisiasi oleh para kyai muda NU pegiat kebudayaan harus dijadikan momentum bangkitnya peradaban Islam di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, dan dengan limpahan kekayaan turats yang dimiliki, peradaban Islam Indonesia memiliki peluang berkibar di tingkat global seperti halnya peradaban Islam di Arab, Turki, dan Iran pada masa silam.

Lalu, apa manfaatnya untuk kita?

Selain untuk memperteguh jati diri bangsa, sesuai amanah UU Pemajuan Kebudayaan, revitalisasi turats ulama Nusantara juga akan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan diri bahwa Muslim Indonesia memiliki pijakan kuat, otentik, kontekstual, dan argumentatif dalam menarasikan pemahaman keagamaan, serta dalam merespon isu-isu kekinian.

Beragama secara argumentatif menjadi barang langka di era disrupsi ini. Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tentang Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa 84,15 persen responden mengaku mendapat pengetahuan agama dari televisi, sementara 64,6 persen responden lainnya mengaku mendapat pengetahuan agama dari media sosial.

Baca juga: Santri dan Sejarah Nusantara yang Mengalami Deislamisasi

Apa dampaknya? Salah satunya adalah menguatnya pemahaman keagamaan yang dangkal, “pas-pasan” dan cenderung mengikuti arus algoritma content yang lebih banyak tersedia tersedia di media sosial. Pasalnya, survei MERIT lainnya mengkonfirmasi bahwa dengung konservatisme lebih menguasai perbincangan keagamaan di dunia maya sebanyak 67,2% dibanding narasi-narasi moderat yang hanya tersedia sebanyak 22,2%.

Karenanya, saya memiliki rasa optimis terhadap gerakan Nahdlatut Turats yang lahir dari arus bawah kalangan pesantren ini. Sejak lama kita mengenal sejumlah ulama pesantren yang menjadi bagian dari lahirnya bangsa ini, tidak akan cukup satu dua halaman kalau saya menyebutkan nama para ulama itu satu persatu. Mereka berpengetahuan mendalam, berbudi luhur, bijak merespon permasalahan zaman, dan memiliki komitmen besar tidak hanya pada keagamaan melainkan juga kebangsaan.

Memang ada syaratnya, turats akan bermakna jika ada upaya kontekstualisasi, tidak semua teksnya bisa “plek” dipindahkan secara harfiah begitu saja. Harus ada kemauan dan kemampuan menangkap ruh atau esensi narasi yang disampaikan pengarang dalam konteks masa lalu, dan menemukan benang merahnya dalam konteks masa kini. Mengapa? Karena teks dalam turats itu seringkali lahir dalam konteks tertentu yang memiliki dimensi tempat dan waktu yang berbeda dengan kekinian. Sebagian kandungan isi teks juga merupakan buah pikiran dan tafsir ijtihadi subjektif para pengarangnya, yang bisa saja memerlukan “pembaharuan”.

Namun, tidak perlu diragukan bahwa kekayaan argumen yang terkandung dalam turats yang para ulama tulis, baca, dan ajarkan di pesantren itu terbukti mampu memberikan kontribusi melahirkan generasi cerdas yang memiliki literasi keagamaan tinggi, serta berpengetahuan dan berperadaban yang dibutuhkan oleh negeri yang masyarakatnya sedemikian majemuk ini. Pesantren yang menghidupkan dan menginternalisasi turats ulama Nusantara dipastikan tidak akan menjadi bagian dari gerakan penyebaran gerakan ekstremisme (tatharruf) dalam beragama yang justru bertentangan dengan prinsip dan esensi beragama itu sendiri.

Apalagi, gerakan Nahdlatut Turats melekat pada Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar yang didambakan oleh Presiden Jokowi sendiri untuk menjadi salah satu kekuatan besar dalam mempercepat penyelesaian persoalan-persoalan bangsa dan kemanusiaan (Kompas, 02/02).

Baca juga: Jejak Pelestarian Al-Qur’an di Nusantara

Gerakan Nahdlatut Turats memang baru awal, tapi langkah seribu selalu dimulai dengan langkah pertama, perlu jabat tangan bersama mengawalnya. Selamat berjuang!

Catatan: Artikel ini pernah dimuat dalam rubrik Opini di Kompas.id. Penerbitan ulang di Sanad Media, dengan sedikit penyempurnaan, atas persetujuan dari penulis dan Redaksi.

Kontributor

  • Oman Fathurahman

    Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, dan Pengampu Ngariksa. Telah menulis sejumlah buku antara lain Menyoal Wahdatul Wujud: kaus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17, Khazanah naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia, Filologi Indonesia: Teori dan Metode dan lain-lain.