Artikel
Santri dan Sejarah Nusantara yang Mengalami Deislamisasi
Jika kita baca buku-buku sejarah nusantara, pada umumnya kita akan jarang bahkan tidak menemukan catatan di dalamnya mengenai peran santri dalam perjuangan kemerdekaan.
Maka tak aneh ketika ada sebagian orang menganggap resolusi jihad itu adalah fiktif. Hal ini diakibatkan kelicikan dari para orientalis dan pembenci Islam. Mereka tak memuat banyak bahkan di sebagian buku sama sekali tidak memuat bagaimana jasa santri dan kyai dalam perjuangan kemerdekaan NKRI.
Di sisi lain kenyataan seperti ini terjadi karena kurangnya perhatian kalangan santri dan pesantren atas sejarah mereka. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan kesalahan, karena mungkin sebagian dari mereka memegang prinsip berjuang tanpa pamrih sehingga tak pantas sekiranya menuliskan apa yang telah mereka perjuangkan untuk di lihatkan kepada orang lain.
Anggapan segelintir orang yang menganggap bahwa Resolusi Jihad itu fiktif, itu bukan omong kosong belaka, itu nyata adanya.
Kalau kita baca buku "Resolusi Jihad" karya Abdul Latif Bustami, di awal tulisannya ia memaparkan alasan dan motivasinya untuk mengarang buku tersebut. Hal yang menggugah dia untuk mengarang buku yang mengurai bukti sejarah bahwa resolusi jihad itu fakta, adalah karena ketika ia hadir dalam sebuah seminar ada seseorang profesor yang mengajukan sebuah pernyataan bahwa resolusi jihad itu fiktif.
Jauh sebelum itu, sejarah nusantara sejak Islam masuk ke wilayah ini, tak lepas dari upaya deislamisasi yang dilakukan oleh kaum orientalis dan imperialis. Maksud dari deislamisasi di sini memiliki dua pengertian.
Pertama, peniadaan peranan ulama dan santri dalam sejarah nusantara. Atau kedua, yaitu tetap ada namun dimaknai dengan pengertian lain.
Salah satunya, mereka berhasil mendistorsi sejarah awal mula Islam masuk ke nusantara. Mereka memundurkannya sampai abad ke-13 M. R.K.H Abdullah bin Nuh dalam bukunya, Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Kesultanan Banten membahas permasalahan ini. Dia menulis bahwa yang tepat Islam masuk ke nusantara pada abad 7 M.
Baca juga: Merunut Pesan Kiai Sahal Agar Santri Tidak Lupa Guru
Selanjutnya hal yang dilakukan imperialis dan orientalis dalam upaya deislamisasi sejarah nusantara adalah membuat stigma. Walaupun kekuasaan politik atau kerajaan Hindu Budha tidak terdapat di seluruh pulau nusantara, tetapi ditafsirkan oleh mereka bahwa bangsa indonesia saat itu mengalami zaman kejayaan dan keemasan. Intrepretasi orientalis dan imperialis barat selalu memuji kerajaan Hindu Budha dan mendiskreditkan Islam.
Kenapa upaya deislamisasi sejarah nusantara mereka lakukan? Tiada lain karena mereka tidak senang dengan kalangan santri dan ulama. Mereka mengalami kesukaran dalam melancarkan tujuannya karena selalu mendapat perlawanan dari santri dan ulama.
Pada 1494 M, Paus Alexander VI dalam perjanjian Tordesilas merumuskan testamen imperialisme. Dalam perjanjian itu Paus memberikan kewenangan kepada kerajaan-kerajaan di Eropa untuk mempelopori penegakan imperialisme atau penjajahan barat di dunia.
Kerajaan Katolik Portugis datang ke Indonesia pada tahun 1511 M, disusul Kerajaan Protestan Belanda pada tahun 1619 M. Keduanya datang sebagai pelaksana dari testamen imperialisme itu. Dari sejak kedatangan mereka ke nusantara, para ulama dan walisongo tak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan perlawanan heroik.
Sultan Fatahillah pada tahun 1527 M mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (kemenangan paripurna) yang diderivasi dari kata bahasa Arab, “fathan mubina". Dua kata ini adalah salah satu diksi yang ada dalam surat Al-fath (41) ayat 1.
Penggantian nama ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Tepat di tahun itu, Sultan Fatahillah berhasil menggagalkan upaya Portugis yang hendak menguasai Sunda Kelapa sehingga Jayakarta menjadi bagian wilayah kekuasaan Sultan Syarif Hidayatullah yang berkuasa juga di wilayah Banten dan cirebon.
Ada juga Kesultanan Ternate yang pemimpinnya bernama Sultan Baaboellah. Masih banyak kisah heroik lain perjuangan Walisongo dan para ulama dalam menggagalkan upaya-upaya penjajah menguasai wilayah wilayah di nusantara.
Itulah gambaran yang menjadi cikal bakal perlawanan yang lebih besar yang dilakukan oleh umat Islam.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh santri dan ulama di awal penjajahan barat di nusantara, disebut sejarawan barat dengan istilah santri insurrection atau perlawanan santri.
Tak salah apa yang diucapkan E.F.E Douwes Dekker. Dia mengatakan, "Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan."
Kesabaran dan kegigihan ulama dan santri dalam menentang penjajahan kian menyadarkan anak bangsa untuk merebut kemerdekaan. Perjuangan mereka terus berlanjut sampai pasca kemerdekaan dalam upaya mempersiapkan diri mempertahankan kemerdekaan, menghalau penjajah Belanda yang tergabung dalam NICA yang berencana hendak datang kembali untuk menguasai Indonesia.
Baca juga: Banggalah Menjadi Santrinya Kiai Kita
Pada 22 Oktober 1945, Resolusi jihad diserukan oleh Hadratussyekh Hasyim Asy'ari setelah melewati musyawarah bersama para ulama. Isi Resolusi Jihad antara lain menegaskan bahwa hukum membela Tanah Air adalah fardhu ain bagi setiap muslim di Indonesia. Dalam Resolusi Jihad juga ditegaskan bahwa kaum muslimin yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda.
Setelah resolusi, para kiai membentuk barisan pasukan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Maskur. Dua minggu setelah Resolusi Jihad, terjadilah pertempuran 10 November 1945.
Dan akhirnya kemenangan pun ada di pihak anak bangsa.
Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal Resolusi Jihad digaungkan adalah bentuk kesuksesan ulama-ulama NU sekarang yang telah meyakinkan kepada seluruh anak bangsa bahwa perjuangan ulama dan santri dalam berjuang memerdekakan negeri ini wujud adanya.
Selamat Hari Santri 22 10 2021
Alumni Pondok Pesantren Al I'tishom, pembaca setia dan pecinta kopi dan senja.
Baca Juga
Hati-hati jika berbasa-basi
06 Oct 2024