Dalam beberapa dekade terakhir, masyarakat kita begitu mudah terpukau dengan berbagai propaganda yang tampak islami, atau syar’i. Propaganda ini telah merasuk ke banyak sendi kehidupan, mulai ekonomi, budaya, sosial, hingga politik. Para pelakunya adalah orang-orang yang punya kepentingan materi atau perebutan otoritas tertentu di tengah masyarakat. Dan kerap kali para oknum tak bertanggungjawab ini muncul dari kalangan pemuka agama, politisi, atau tokoh publik pada umumnya.
Nama Nabi Muhammad pun dijadikan komoditas untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Lihat saja tingkah laku sejumlah kalangan yang mengklaim keturunan Rasulullah. Mereka memanfaatkan keluguan masyarakat kita dengan cara mengeksploitasi. Iming-iming keberkahan dan harapan syafaat dari Nabi Muhammad dijadikan suguhan utama dalam setiap narasi mereka, padahal yang mereka lakukan tak lebih dari sekadar pembodohan yang didasari sikap feodal.
Rupanya kemapanan yang mereka kukuhkan selama puluhan tahun akhirnya jebol juga. Isu perdebatan nasab Ba A’lawi yang dalam dua tahun terakhir begitu keras di ruang digital, ternyata juga tak kalah keras di tengah masyarakat. Diskusi ilmiah di kalangan akademisi dan para intelektual berubah menjadi kekacauan dan persekusi di kalangan masyarakat awam. Penolakan sebagian ormas terhadap kalangan habaib di sejumlah daerah menjadi babak baru hubungan masyarakat-habaib yang mulai terkoreksi.
Di luar polemik nasab Ba A’lawi, ada juga pihak yang menggembor-gemborkan punya atribut yang pernah dipakai Nabi, seperti terompah dan semacamnya, hingga ada pula yang mengaku punya rambut Nabi Muhammad dan orang-orang harus membayar suatu tiket untuk bisa melihat atau mengambil berkah darinya. Hal ini pernah terjadi beberapa tahun silam di sebagian daerah. Karena keluguan dan rasa penasaran, hal semacam ini dengan mudah menjadi tujuan masyarakat kita sebagai destinasi religi.
Apakah hal ini adalah fenomena baru yang hanya terjadi di zaman kita? Tentu saja tidak. Di zaman Abbasiyah sudah muncul orang-orang yang suka mencatut nama Nabi Muhammad untuk memperoleh keuntungan, baik keuntungan sosial atau materi. Hal ini pernah terjadi di zaman kepemimpinan Khalifah al-Mahdi, penguasa ke-3 Daulah Abbasiyah. Bahkan sang khalifah sendiri yang menjadi korbannya. Sebagaimana riwayat yang dituturkan oleh al-Baghdadi dalam Tarikh-nya:
Suatu hari, Khalifah al-Mahdi duduk di hadapan banyak orang. Tetiba ada orang datang membawa sebuah terompah yang dibungkus kain. “Wahai Amirul Mukminin, ini adalah terompah Rasulullah. Saya persembahkan untuk Anda sebagai hadiah,” kata orang itu.
“Bawalah terompah itu padaku,” jawab al-Mahdi. Tamu tak dikenal itu langsung menyerahkan terompah tersebut. Saat terompah itu sudah di tangannya, al-Mahdi mencium bagian bawahnya. Lalu ia usapkan terompah itu ke wajahnya, sebagai bentuk penghormatan. Al-Mahdi meminta ajudannya untuk menghadiahi lelaki pembawa terompah 10 ribu dirham. Lelaki itu lalu pergi membawa imbalan besar.
Kepada orang-orang di hadapannya, al-Mahdi berkata, “Apakah kalian menyadari bahwa aku tidak mengetahui Nabi pernah melihat terompah ini, alih-alih pernah memakainya. Tapi jika kita menyangkal terompah ini, maka lelaki itu akan berkoar-koar ke banyak orang dengan berkata: ‘Aku pernah datang kepada Amirul Mukminin membawa terompah Nabi Muhammad, tapi Khalifah malah menolak terompah Nabi itu dan mengembalikannya padaku’. Dan kalangan yang percaya pada omongan lelaki itu pasti lebih banyak daripada kalangan yang menentangnya. Sebab, karakter masyarakat awam akan selalu lebih simpatik pada pihak yang seperti mereka. Cenderung membela yang lemah daripada yang kuat, meskipun yang lemah itu zalim. Uang 10 ribu dirham adalah harga untuk membungkam mulutnya, kita ambil terompahnya, kita ‘iyakan’ saja omongannya. Dan terbukti apa yang telah kita lakukan ini lebih efektif dan lebih argumentatif.” (al-Baghdadi 2001:386–387).
Anda bayangkan saja orang sekaliber penguasa Abbasiyah yang punya berbagai kekuatan militer paling hebat pada masanya, harus mengalah kepada seorang penipu yang mencatut nama Nabi Muhammad. Saya bisa memahami psikologi khalifah al-Mahdi. Ia tak mau dianggap sebagai khalifah yang melakukan penghinaan kepada Rasulullah dengan tidak menghormati terompahnya. Di zaman itu saja sangat sulit membuktikan keaslian terompah Nabi, apalagi di zaman kita sekarang. Wallahua’lam.
Please login to comment