Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Khutbah Jumat

Green IED: Kembali ke Fitrah, Kembali ke Rumah

Avatar photo
159
×

Green IED: Kembali ke Fitrah, Kembali ke Rumah

Share this article
Green IED: Kembali ke Fitrah, Kembali ke Rumah Khutbah Pertama
Green IED: Kembali ke Fitrah, Kembali ke Rumah Khutbah Pertama

Khutbah ini mengajak umat Islam untuk merayakan Idul Fitri dengan lebih bermakna dan bijak, tidak hanya sebagai perayaan kemenangan spiritual setelah Ramadan, tetapi juga sebagai momen refleksi dalam menjalani kehidupan yang lebih seimbang, sederhana, dan bertanggung jawab.

KHUTBAH PERTAMA

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

 اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالـحَمْدُ للهِ كَثـِيْرًا، وَسُـبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا ، لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ وَلَا نَعْـبُـدُ إِلًّا إِيَّاهُ، مُخْلِـصِـيْنَ لَهُ الـدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ. لَاإلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ ، صَدَقَ وَعْـدَهُ وَنَصَـرَ عَبْدَهُ ، َوأَعَـزَّ جُـنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْـدَهُ ، لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ و اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ و للهِ الـحَمْدُ

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بَلَّغَنَا رَمَضَانَ وَأَكْرَمَنَا بِالصِّيَامِ وَالقِيَامِ، وَجَعَلَهُ شَهْرَ الرَّحْمَةِ وَالمَغْفِرَةِ وَالعِتْقِ مِنَ النِّيرَانِ، نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى مَا أَفَاضَ عَلَيْنَا مِنْ فُضُولِهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَرْسَلَهُ اللَّهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا عِبَادَ اللَّهِ، هَا هُوَ شَهْرُ رَمَضَانَ يَشْرِفُ عَلَى نِهَايَتِهِ، وَهَا هِيَ نَفَحَاتُ العِيدِ تَلُوحُ فِي الأُفُقِ، فَطُوبَىٰ لِمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، وَسَعَىٰ فِيهِ لِتَطْهِيرِ نَفْسِهِ وَتَزْكِيَةِ قَلْبِهِ، فَإِنَّ العِيدَ حَقِيقَةً لَيْسَ فِي لُبْسِ الثِّيَابِ الجَدِيدَةِ وَإِنَّمَا فِي نَقَاءِ القُلُوبِ وَصَفَاءِ النُّفُوسِ.

نَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَىٰ أَنْ يَجْعَلَ عِيدَنَا عِيدًا مَبَارَكًا، وَيَتَقَبَّلَ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَامَنَا، وَأَنْ يَجْعَلَنَا مِنَ العَائِدِينَ الفَائِزِينَ، قَالَ تَعَالَىٰ: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىٰ يَوْمِ الدِّينِ، وَاجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الفَوْزِ وَالقَبُولِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِينَا وَلِجَمِيعِ المُسْلِمِينَ، وَتَقَبَّلْ مِنَّا، إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ.

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ صَالِحَ الأَعْمَالِ، وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ وَعَلَىٰ طَاعَةِ اللَّهِ دَوْمًا.

Jamaah Salat Idul Fitri yang dimuliakan Allah Swt!

Di pagi yang penuh kebahagiaan ini, kita berkumpul dalam suasana kemenangan. Setelah sebulan penuh menjalani puasa, menahan lapar dan dahaga, menundukkan hawa nafsu, dan memperbanyak amal, kini kita kembali kepada fitrah—kesucian jiwa yang Allah anugerahkan kepada setiap insan.

Namun, Idul Fitri tentu bukan sekadar kembali berbuka atau kembali kepada kesucian diri. Ia juga menjadi momentum untuk kembali kepada nilai-nilai keseimbangan, baik dalam hubungan kita dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta.

Ramadhan yang telah kita lalui telah mengubah ritme hidup kita, setidaknya untuk 30 hari ke belakang. Pola makan menyesuaikan, aktivitas lebih tertata, dan interaksi sosial semakin erat. Kita lebih banyak berkumpul dengan keluarga, berbuka bersama, bangun lebih awal untuk sahur, dan meramaikan masjid dengan shalat berjamaah.

Malam-malam tak lagi dihabiskan dengan menatap layar ponsel tanpa henti. Sebaliknya, kita berduyun-duyun ke masjid, bertemu tetangga, berbagi cerita, dan merasakan kebersamaan yang jarang terjadi di bulan-bulan lainnya. Ramadhan mengingatkan kita pada hal-hal yang benar-benar penting: kebersamaan, ketenangan, dan kesederhanaan. Kita menikmati setiap momen dengan lebih sadar—duduk lebih lama bersama keluarga, mendengar lebih banyak, dan merasakan ukhuwah yang lebih hangat.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

Hadirin sekalian!

Namun, di balik itu, ada satu fenomena yang juga meningkat selama Ramadhan, yaitu jumlah sampah. Data menunjukkan bahwa selama Ramadhan, produksi sampah meningkat signifikan. Konsumsi masyarakat bertambah, belanja meningkat, dan sering kali makanan tersaji lebih banyak dari yang bisa dihabiskan. Kemasan plastik dari takjil dan makanan siap saji juga turut menyumbang peningkatan limbah.

Tetapi, jika kita melihat kembali ke bagaimana kita menjalani Ramadhan, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Di bulan ini, kita sebenarnya telah belajar hidup lebih sederhana. Kita menyadari bahwa makan secukupnya sudah cukup, bahwa berbuka dengan yang ringan justru lebih menyehatkan, bahwa waktu lebih tertata, dan bahwa kebersamaan dengan keluarga, tetangga dan masyarakat lingkungan merupakan hal yang bernilai dan menguatkan ikatan sosial.

Ramadhan mengajarkan keseimbangan—antara kebutuhan dan keinginan, antara dunia dan akhirat. Ia mengingatkan kita bahwa hidup yang lebih teratur dan lebih bersahaja bukan hanya mungkin, tetapi juga lebih baik. Dan jika kita bisa menjalaninya selama satu bulan penuh, maka kita pun bisa membawanya ke bulan-bulan berikutnya, menjadikannya bagian dari kehidupan kita sepanjang tahun.

Hadirin sekalian!

Apa yang kita rasakan selama Ramadhan sejatinya adalah ruh Islam yang sesungguhnya. Kesederhanaan, kebersamaan, hidup yang tertata, serta komunikasi yang erat dalam masyarakat—itulah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yang diwariskan oleh para ulama kita.

Islam tidak mengajarkan hidup yang berlebihan, tidak pula mendorong kita pada kesibukan yang melenakan. Sebaliknya, Islam mengajarkan keseimbangan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْـَٔاخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)

Lihatlah bagaimana Rasulullah Saw menjalani hidupnya. Beliau adalah manusia yang paling sederhana dalam hal dunia, tetapi paling kaya dalam kebaikan dan kebersamaan. Kesederhanaan bukan berarti miskin, tapi hidup dengan cukup dan penuh berkah.

Begitu pula kebersamaan. Rasulullah Saw selalu berada di tengah-tengah umatnya, menyapa mereka, makan bersama mereka, memperhatikan keadaan mereka. Itulah sebabnya dalam Islam, masjid bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah pusat kehidupan. Di sana kita bertemu, bersilaturahmi, saling membantu, dan merajut ukhuwah. Ramadhan menghidupkan kembali tradisi ini: berbuka bersama keluarga, shalat berjamaah, bertemu dalam taraweh, saling menyapa saat sahur dan banyak kegiatan lainnya yang menjadikan kita lebih dekat satu sama lain.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

Hadirin sekalian!

Inilah pesan takwa dalam Al-Qur’an yang Allah sampaikan sebagai salah satu tujuan dari ibadah Ramadhan. Takwa bukan sekadar bertambahnya jumlah rakaat dalam shalat atau semakin seringnya bibir melafalkan doa. Ia bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga dari fajar hingga maghrib. Takwa lebih dari itu—ia adalah kesadaran penuh akan bagaimana kita menjalani hidup.

Takwa membentuk keteraturan dalam kehidupan kita. Ia mengajarkan bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang serba tergesa, penuh dengan ambisi yang tak pernah cukup, tetapi hidup yang tertata—di mana setiap waktu dimanfaatkan dengan bijak, di mana kita tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti untuk merenung. Ramadhan memberi kita kesempatan itu: mengatur ulang ritme, merasakan makna waktu, dan menemukan keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Dalam kesibukan dunia, kita sering merasa waktu selalu kurang. Kita mengejar pekerjaan, tenggelam dalam rutinitas, hingga tanpa sadar orang-orang terdekat hanya menjadi latar belakang dalam hidup kita. Namun Ramadhan mengajarkan sebaliknya. Ia memberi ruang untuk kita duduk lebih lama bersama keluarga, menyisihkan waktu untuk berbincang, mendengarkan, dan memahami mereka lebih dalam. Makna takwa bukan hanya tentang sujud yang lebih lama, tetapi juga tentang hadir sepenuhnya saat anak-anak bercerita, saat orang tua membutuhkan perhatian, saat saudara ingin berbagi rasa.

Takwa juga tercermin dalam kepedulian kita terhadap lingkungan. Kita keluar dari rumah bukan sekadar untuk urusan pribadi, tetapi untuk menyapa tetangga, berbagi makanan, mempererat hubungan sosial yang mungkin selama ini renggang. Kita kembali merasakan bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang kebersamaan, tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar yaitu masyarakat yang saling mendukung dan menguatkan.

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa kebajikan sejati bukan hanya perkara ritual ibadah, tetapi juga tentang kepedulian terhadap sesama:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ…

“Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya…” (QS. Al-Baqarah: 177)

Ayat ini menunjukkan bahwa takwa bukan hanya tentang hubungan dengan Allah, tetapi juga hubungan dengan manusia. Takwa adalah ketika kita meluangkan waktu untuk keluarga, untuk mendengarkan mereka, menyayangi mereka, dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Takwa adalah saat kita hadir untuk orang-orang di sekitar kita, menyapa tetangga, membantu mereka yang membutuhkan, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

Hadirin sekalian!

Hari ini, kita berada di Hari Raya Idul Fitri. Setelah sebulan penuh menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah, kini kita merayakan kemenangan. Tapi kemenangan seperti apa yang sejatinya kita rayakan?

Perayaan lebaran bukan hanya soal pakaian baru, hidangan melimpah, atau perayaan besar-besaran. Lebaran adalah tentang kembali, kembali kepada kesucian, kembali kepada nilai-nilai yang sejati, kembali kepada rumah, bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga rumah sebagai tempat kita membangun kehidupan yang lebih baik. Rumah yang ramah untuk semua, tempat anak-anak tumbuh dengan bahagia, merasa aman dan dicintai. Rumah yang mengajarkan kesederhanaan dan kepedulian, bukan sekadar memenuhi keinginan tanpa batas.

Selama Ramadhan, kita belajar menahan diri. Kita mengerti bahwa secangkir air dan sepotong kurma saja sudah cukup untuk mengembalikan tenaga. Kita sadar bahwa makan secukupnya justru lebih menyehatkan, bahwa kebersamaan lebih berharga daripada kesibukan belanja yang melelahkan. Namun, sering kali setelah Ramadhan berlalu, kita kembali pada kebiasaan lama pola konsumsi yang berlebihan, makanan yang terbuang, pakaian yang ditumpuk, perayaan yang kadang lebih banyak meninggalkan jejak sampah daripada makna yang sebenarnya.

Sejak lahir, manusia membawa fitrahnya sendiri—sederhana, bersih, dan tidak berlebihan. Namun, seiring waktu, kita terbiasa dengan tuntutan yang diciptakan oleh lingkungan dan budaya. Kita merasa perlu pakaian baru di setiap perayaan, meski lemari kita sudah penuh. Kita menghidangkan makanan berlimpah saat Lebaran, meski kita tahu tubuh kita tak mampu menghabiskannya. Kita membeli lebih dari yang kita butuhkan, seolah-olah makna kebahagiaan ada pada seberapa banyak yang kita miliki.

Padahal, fitrah manusia itu sederhana dan hanya menuntut yang mendasar: pakaian yang bersih, makanan yang sehat, dan tempat tinggal yang nyaman. Idul Fitri tak harus diisi dengan kemewahan, sebab kebahagiaan sejati ada dalam kecukupan. Bukan tentang yang baru, tapi yang layak. Bukan tentang berlebihan, tapi yang menyehatkan. Bukan tentang gengsi, tapi tentang kembali pada hidup yang lebih tenang, lebih jujur, dan lebih bersahaja.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

Hadirin sekalian!

Inilah mengapa kita perlu kembali merenungkan makna Idul Fitri yang sesungguhnya. Inilah saatnya kita merayakan kemenangan dengan lebih bijak. Inilah makna Green Ied—Lebaran yang lebih bermakna, lebih sederhana, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab.

Secara harfiah, Green Ied bisa diartikan sebagai Lebaran yang lebih “hijau,” lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan. Namun, lebih dari itu, Green Ied juga melambangkan kesucian dan keseimbangan dalam menjalani hidup. Hijau adalah warna kehidupan, simbol keseimbangan antara manusia dengan alam, antara kebutuhan dengan ketersediaan, antara dunia dengan akhirat.

Green Ied bukan hanya tentang kepedulian terhadap alam, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani kehidupan setelah Ramadhan. Lebaran bukan sekadar perayaan sehari, tetapi awal bagi kehidupan baru yang lebih berkah. Kita merayakan Idul Fitri bukan dengan berlebihan, tetapi dengan berbagi. Bukan dengan tumpukan sampah, tetapi dengan keberkahan. Bukan dengan pemborosan, tetapi dengan kesadaran.

Kita kembali ke rumah, kembali kepada keluarga, kembali kepada masyarakat dengan semangat yang lebih baik. Kita menata hidup yang lebih ramah bagi sesama, lebih ramah bagi lingkungan, dan lebih ramah bagi masa depan anak-anak dan generasi kita.

Hadirin sekalian!

Green Ied atau lebaran yang lebih ramah dan berklanjutan ini sejatinya bukan sesuatu yang baru, tetapi merupakan refleksi dari ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw dan diwariskan oleh para ulama.

Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita refleksikan pada hari yang suci ini.

Pertama, kesederhanaan dalam konsumsi.

Islam mengajarkan keseimbangan dalam hidup. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Namun, betapa sering kita menjadikan Idul Fitri sebagai ajang berfoya-foya. Meja penuh makanan, tetapi banyak yang berakhir di tempat sampah. Baju bertumpuk di lemari, sementara masih banyak saudara kita yang berpakaian lusuh. Mari kita renungkan kisah Sayyidah Fatimah RA dan kedua putranya, Hasan dan Husain. Ketika anak-anak lain di Madinah bersuka cita dengan pakaian baru mereka, Hasan dan Husain hanya bisa menunggu dengan harapan. Hingga malam takbiran tiba, mereka bertanya kepada ibunda mereka, “Di mana pakaian baru kami, wahai Ibu?” Fatimah RA meneteskan air mata, karena ia tak memiliki harta untuk membelikan mereka pakaian baru.

Namun, di saat yang sama, Allah menunjukkan kasih sayang-Nya. Seorang tukang jahit datang membawa hadiah untuk Hasan dan Husain. Pakaian itu ternyata bukan pemberian manusia biasa, melainkan hadiah dari Malaikat Ridwan, penjaga surga. Kesederhanaan mereka bukan karena kekurangan, tapi karena kebijaksanaan dalam memilih apa yang benar-benar bernilai.

Kesederhanaan bukan hanya milik Ramadhan. Kebiasaan menahan diri, tidak berlebihan dalam belanja, tidak tergoda oleh tren sesaat, semua itu seharusnya tetap ada setelah Ramadhan berlalu.

Kedua, Menguatkan Kepedulian terhadap Keluarga dan Lingkungan.

Idul Fitri bukan sekadar momen berkumpul, tetapi saat untuk benar-benar hadir bagi keluarga dan lingkungan. Rasulullah Saw mencontohkan bahwa keluarga adalah tempat pertama menanam kasih sayang, dan tetangga adalah perpanjangan dari keluarga kita. Kepedulian ini lebih dari sekadar berbagi rezeki. Ia tentang mendengar sebelum diminta, membantu sebelum dikeluhkan, dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi semua—anak-anak, lansia, bahkan mereka yang memiliki keterbatasan. Idul Fitri bukan hanya tentang kebersamaan satu hari, tetapi awal dari kehidupan yang lebih peka, lebih peduli, dan lebih saling menopang dalam kebaikan.

Ketiga, Keberlanjutan Lingkungan

Lingkungan bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ruang di mana anak-anak kita tumbuh, belajar, dan bersiap menjadi penerus kita. Mereka adalah harapan masa depan, cerminan dari tempat mereka dibesarkan.

Maka, sudah seharusnya kita menyediakan ruang yang baik—lingkungan yang bersih, sehat, dan penuh kebaikan. Karena dari tanah yang subur, tumbuh pohon yang kokoh. Dari udara yang bersih, lahir napas kehidupan. Dari lingkungan yang baik, sampah yang terurus, sanitasi yang layak, dan air yang bersih, terbentuk generasi yang hebat.

Inilah semangat Ied. Kembali pada fitrah, membersihkan hati, menyucikan niat, dan berbuat baik tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk bumi dan generasi mendatang. Sebab kebahagiaan sejati adalah ketika kita bisa mewariskan dunia yang lebih baik bagi mereka yang akan melanjutkan langkah kita.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

Hadirin sekalian!

Mari kita jadikan Idul Fitri bukan sekadar perayaan sesaat, tetapi titik awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik—lebih bijak dalam konsumsi, lebih peduli terhadap lingkungan, lebih dekat dengan keluarga, dan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Mari kita wujudkan makna Green Ied, Lebaran yang lebih berkah, lebih bersahaja, dan lebih bertanggung jawab terhadap dunia yang kita tinggali.

Sebab Idul Fitri bukan akhir, tapi awal. Awal untuk hidup yang lebih ringan, lebih bertanggung jawab, dan lebih mendekat pada makna sejati: bahwa kesucian jiwa selalu beriringan dengan kesucian cara kita hidup.

اللّٰهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَامَنَا، وَاجْعَلْنَا مِنْ عُتَقَائِكَ مِنَ النَّارِ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ أَعْوَامًا عَدِيدَةً، وَأَزْمِنَةً مَدِيدَةً، وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ..

“Ya Allah, terimalah puasa dan qiyam kami, jadikan kami termasuk orang-orang yang Engkau bebaskan dari neraka, dan pertemukan kami kembali dengan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang dalam keadaan Engkau ridha kepada kami.”

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ وَلِوَالِدِي وَلِوَالِدَيْكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

 

 

 

KHUTBAH KEDUA

أللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ اْلحَمْدُ

 اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ

 فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ   قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَأًصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِماَتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ. رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِاْلحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ اْلفَاتِحِيْنَ   اَللهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ اِيْمَانًا دَائِمًا، وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا، وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا، وَنَسْأَلُكَ عَمَلاً صَالِحًا، وَنَسْأَلُكَ دِيْنًاقَيِّمًا، وَنَسْأَلُكَ خَيْرًا كَثِيْرًا، وَنَسْأَلُكَ  الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ وَنَسْأَلُكَ تَمَامَ الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الْغِنَاءَ عَنِ النّاس اَللّٰهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَتَخُشُّعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا اَللهُ يَااَللهُ يَااَللهُ يَااَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

 

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,

Di hari yang penuh berkah ini, saat kita merayakan kemenangan setelah bulan suci Ramadhan, kami memohon kepada-Mu, wahai Tuhan kami, untuk mengampuni segala dosa dan kesalahan kami. Ampuni dosa-dosa kami, ampuni dosa orang tua kami yang telah mendidik dan membimbing kami dengan penuh kasih sayang, ampuni dosa anak-anak kami yang masih belajar dan tumbuh dengan penuh harapan. Lindungi mereka dari segala godaan dan bahaya, dan berikanlah mereka kebahagiaan dan keselamatan.

Ya Allah, kami juga memohon kepada-Mu untuk memberkahi dan melindungi para pemimpin bangsa kami. Berilah mereka kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, serta kesadaran untuk selalu bertanggung jawab kepada-Mu dan kepada rakyat yang dipimpinnya. Berikanlah mereka kekuatan untuk menjalankan tugas dengan adil dan jujur, serta menjaga keutuhan dan kemakmuran negara kami.

Ya Allah, berikanlah kami rezeki yang halal dan berkah, agar kami bisa berbagi dengan orang-orang di sekitar kami. Bimbinglah kami agar senantiasa bersyukur dan tidak berlebih-lebihan. Jauhkanlah kami dari sifat kikir dan tamak, dan jadikanlah kami orang-orang yang ringan tangan dalam membantu sesama.

Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak-anak yang berbakti, yang menghormati orang tua, yang peduli terhadap saudara-saudaranya, yang hormat kepada tetangganya, dan yang tumbuh dengan jiwa yang penuh kasih sayang. Lindungilah mereka dari segala keburukan, pergaulan yang buruk, dan segala hal yang dapat merusak masa depan mereka.

Ya Allah, jadikanlah hari raya ini sebagai momentum bagi kami untuk semakin dekat dengan keluarga kami, semakin peduli dengan tetangga kami, dan semakin ringan dalam membantu orang-orang di sekitar kami. Berikanlah kami hati yang lembut, penuh kasih, dan selalu siap menolong sesama.

Ya Allah, kabulkanlah doa kami, berikanlah kami keberkahan dalam kehidupan ini, dan jadikanlah lingkungan kami tempat yang damai, sejahtera, dan penuh kebahagiaan.

رَبَّنَا أَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهىَ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

جَعَلَناَ الله ُوَإِياَّكُمْ مِنَ العاَئِدِيْنَ وَالفَآئِزِيْنَ وَأَدْخَلَناَ وَاِيَّاكُمْ فِيْ زُمْرَةِ عِباَدِهِ المُتَّقِيْنَ والشّاكِرِيْنَ و اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Berikut adalah file PDF 

KHUTBAH IDUL FITRI 31 Maret 2025

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.