Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Buah Perjuangan dan Kesabaran Abu Thalhah

Avatar photo
22
×

Buah Perjuangan dan Kesabaran Abu Thalhah

Share this article

Abu Thalhah
adalah salah seorang sahabat
dari kalangan Anshar yang dekat dengan Nabi. Ia termasuk 73 orang yang turut serta berbaiat kepada Nabi
pada Baiat Aqabah kedua sebelum Nabi hijrah ke Madinah.

Setelah menyatakan dengan keislamannya, Abu Thalhah termasuk sahabat yang berjasa pada Nabi dan kaum Muhajirin saat berhijrah ke Yatsrib. Ihwal ini
sampai tercantum dalam surat Al-Hasyr ayat 9 yang asbâbun nuzûl-nya berkaitan
dengan sikap Abu Thalhah yang lebih mengutamakan kaum Muhajirin atas dirinya
dan keluarganya.
Padahal
malam itu
,
persediaan makanan di rumahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Demikian sikap mulia yang ditunjukkan Abu Thalhah dalam
memuliakan tamunya, walaupun saat itu belum mengenal sepenuhnya orang-orang yang
datang ke rumahnya.

Dalam kitab ‘Riyâdhus Shâlihîn min Kalâmi Sayyidil
Mursalîn
’ karya Imam Nawawi, Anas bin Malik bercerita.
Suatu ketika putra Abu Thalhah sakit, sedangkan ia harus pergi. Sang anak kemudian
meninggal. Selang beberapa waktu, Abu Thalhah pulang dan bertanya kepada
istrinya: “Apa yang sedang dikerjakan putraku?” Ummu Sulaim yang tidak
lain adalah istrinya menjawab: “Dia berada di tempat yang seharusnya dia
berada.

Saat itu sudah
mendekati waktu makan malam. Sang istri lantas mengajaknya untuk makan malam.
Setelah selesai makan, Ummu Sulaim mengatakan kepada suaminya: “Mereka telah
menyembunyikan anak kita.

Dalam riwayat yang lain, Abu Thalhah sampai marah kepada
istrinya karena ketiadaan putranya di rumah. Padahal saat ia pergi, putranya
dalam keadaan sakit. 

Selang beberapa
hari, Rasulullah datang kepada Abu Thalhah dan memberitahukan perihal kematian
putranya. Lantas beliau bertanya kepadanya: “Apakah kalian berhubungan
layaknya suami-istri semalem?
” Ia menjawab: “Ya” Rasulullah berdoa:
Ya Allah, berkahilah mereka berdua.

Setelah beberapa
bulan, lahirlah bayi laki-laki. Kemudian Abu Thalhah berkata pada istrinya: “Bawalah
bayi itu kepada Nabi dengan
membawa kurma sebagai buah tangan !” Setelah sampai di kediaman Nabi, beliau bertanya: “Apakah
bayi itu dibawakan sesuatu?
” “Ya, beberapa
butir kurma”, jawab Abu Thalhah.

Nabi mengambil
kurma tersebut dan mengunyahnya. Beliau kemudian mengambil kunyahan dari mulut
dan disuapkan ke mulut si bayi seraya men-tahknik-nya. Nabi lantas memberinya nama Abdullah.

Dalam riwayat Imam Bukhari dari Ibn Uyainah, ada salah
seorang dari kalangan Anshar berkata: “Aku telah menyaksikan sembilan anak
yang hafal Al-Qur’an. Mereka semua merupakan putra dari Abdullah bin Abu
Thalhah.
” 

Pelajaran dari Abu Thalhah

Dengan keyakinan, perjuangan dan kesabaran, Abu Thalhah
mendapatkan karunia yang luar biasa, baik semasa hidup maupun setelah meninggal.
Sebagai seorang muslim, kita patut iri terhadap karunia-karunia yang diberikan
Allah kepadanya. Walaupun sangat kecil untuk mendapatnya.

Pelajaran-pelajaran yang bisa kita petik dari sepenggal
perjalanan hidup Abu Thalhah di anaranya;

Pertama, Abu Thalhah mendapatkan
keistimewaan dari Allah karena memuliakan para Muhajirin. Allah membalasnya
dengan menurunkan ayat yang asbâbun nuzûl-nya berkaitan dengan sikapnya
yang mulia tersebut. Padahal dalam Ulumul Qur’an, ayat-ayat Al-Qur’an lebih
banyak yang diturunkan tanpa asbâbun nuzûl dibandingkan yang disertai.

Kedua, Kedekatannya dengan Nabi turut
serta membuat Nabi peduli terhadapnya, terutama saat kematian putranya yang
tercinta. Nabi mendatanginya seraya menyampaikan kebenaran tentang putranya
yang telah meninggal kemudian menenangkannya. Salah satu sikap sosial Nabi yang
langsung dipraktekkan kepada sahabatnya. Di mana beliau pernah menyampaikan: “
Tidaklah seorang mukmin bertakziah kepada saudaranya yang ditimpa
musibah kecuali Allah akan mengenakan pakaian kemuliaan pada hari Kiamat”.

Ketiga, Doa dari Nabi untuk Abu Thalhah
dan Ummu Sulaim.  Justru karena doa Nabi,
Abu Thalhah dan istrinya mendapatkan ganti seorang putra yang shaleh. Bahkan
Rasulullah menyaksikan kelahiran putranya hingga men-tahnik-nya dan
memberinya nama Abdullah. Tindakan yang tidak semua putra sahabat mendapat
perlakuan khusus dari Nabi.

Keempat, tidak berhenti sampai disitu,
keberkahan doa Nabi berlanjut kepada cucu-cucunya. Putra-putri dari Abdullah
semuanya hafal Al-Qur’an. Hal yang luar biasa. Di mana memiliki putra-putri
penghafal Al-Qur’an merupakan cita-cita semua orang tua. Karena mereka nantinya
yang akan meneruskan perjuangan dalam menegakkan agama Islam serta mendoakan
para leluhurnya.

Sejatinya manusia tidak pernah tahu akhir dari perjalanan
hidupnya. Kita hanya bisa merencanakan, namun tidak bisa menentukan hasil. Abu
Thalhah menjalani hidup dengan keyakinannya yang dibawa oleh Nabi. Tidak hanya
diam, ia turut berjuang supaya agama Islam tegak dan bersabar dengan setiap
keadaan. Hal pahit pernah ia alami, putra yang disayanginya meninggal saat ia
pergi dan tidak dapat menungguinya saat sakaratul maut tiba.

Namun Allah berkehendak lain. Semuanya Allah balas yang
setimpal dengan balasan-balasan di luar akal manusia. Maka sebagai manusia yang
beriman, kita sudah selayaknya memperjuangkan agama Islam ini dengan kemampuan
yang kita miliki. Tentu ditambah dengan kesabaran. Karena Allah menjanjikan
dalam Q.S. Muhammad ayat 7: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika engkau
menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

Wallâhu A’lam.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.