Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Hatim al-Asham dan Ulama Fikih yang Punya Rumah Mewah

Avatar photo
44
×

Hatim al-Asham dan Ulama Fikih yang Punya Rumah Mewah

Share this article

Syekh Hatim al-Asham pernah pergi haji bersama 320 orang yang kesemuanya mengenakan pakaian kesufian tanpa bekal makanan.

Kala masuk melewati Ray, sebuah kota yang berada di tenggara Teheran, Syekh Hatim mengajak jemaahnya bertamu ke seorang saudagar dermawan di kota itu yang perhatian dengan orang-orang miskin dan yang membutuhkan.

Saudagar dermawan menyambut baik kedatangan Syekh Hatim. Ia menjamu beliau dan jamaahnya malam itu dengan hidangan makanan dan tempat istirahat yang layak.

Keesokan harinya, Saudagar itu bertanya pada Syekh Hatim, “Apakah anda butuh sesuatu? Sebab saya mau pergi menjenguk ulama fakih (ahli fikih) kami yang sedang sakit.”

Syekh Hatim lalu menjawab:

عيادة المريض فيها فضل، و النظر الى الفقيه عبادة، وانا أجىء معك

“Menjenguk orang sakit itu punya keutamaan dan memandang orang fakih itu ibadah, maka saya akan ikut denganmu.”

Orang fakih yang ingin dijenguk itu adalah Syekh Muhammad bin Muqatil, Mufti kota Ray. Mufti Ray tinggal di rumah pribadinya yang mewah.

Baca juga: Al-Quds dan Peran Sufi dalam Peristiwa Besar

Kala Syekh Hatim tiba di depan gerbang pintu rumahnya, terlihat saat dibukakan pintu bagaimana indahnya dalam rumah itu. Hingga Syekh Hatim berkata:

يا رب عالم هذا الحال!

“Ya Rabb, Dzat Yang Mengetahui keadaan ini.”

Saat beliau dan si saudagar dipersilakan masuk, terlihat nyata bagaimana rumah itu mempunyai tirai-tirai indah dan perabotan yang mahal. Kemudian beliau dan saudagar itu diantar ke sebuah ruang yang memiliki tempat tidur yang lembut nan empuk, di mana Syekh Ibnu Muqatil sedang tidur-tiduran ditemani pembantu laki-laki yang setia membawa alat penghalau lalat.

Melihat kedatangan Syekh Hatim dan saudagar di kamarnya itu, Syekh Ibnu Muqatil beranjak duduk dan mempersilakan kedua tamunya duduk. Namun Syekh Hatim tidak mau duduk. Akhirnya Syekh Ibnu Muqatil bertanya apa ada sesuatu yang diinginkan?

Syekh Hatim menjawab iya, yaitu sebuah pertanyaan.

Syekh Ibnu Muqatil mempersilakan beliau untuk bertanya. Namun Syekh Hatim tidak akan bertanya sebelum Syekh Ibnu Muqatil duduk tegap. Akhirnya Mufti kota Ray itu duduk tegap atau tidak santai.

Syekh Hatim berkata, “Ilmu yang ada pada anda sekarang ini, anda dapat dari mana?”

Mufti Ray menjawab, “Dari orang-orang terpercaya yang saya jumpai.”

Syekh Hatim bertanya lagi, “Mereka dari mana?”

Mufti Ray menjawab, “Dari para sahabat Nabi saw.”

Beliau bertanya lagi, “Mereka dari mana?”

Si Mufti menjawab, “Dari Baginda Nabi saw.”

Beliau bertanya lagi, “Baginda saw. dari mana?”

Si Mufti menjawab, “Beliau saw. dari Jibril as.”

Beliau terus bertanya, “Jibril dari mana?”

Si Mufti menjawab, “Jibril as. dari Allah swt.”

Syekh Hatim lalu berkata:

ففيما أداه جبريل عن الله تبارك وتعالى الى النبي صلى الله عليه وأله سلم، وأداه النبي صلى الله عليه وأله سلم الى أصحابه رضي الله تعالى عنهم، وأصحابه الى الثقات، والثقات اليك، هل سمعت من كان في داره أميرا وكان في داره الثروة والمتع الحسن، وكانت داره واسعة كانت له عند الله تعالي المنزلة الكبرى؟

“Dari apa yang didapatkan Jibril as. dari Allah swt. yang kemudian disampaikan pada Baginda Nabi saw, lalu ke para sahabat, lalu ke orang-orang terpercaya, dan orang-orang terpercaya itu ke anda,  apakah anda mendengar bahwa seseorang yang di rumahnya bagaikan raja, mempunyai harta melimpah, perabot mewah dan rumah yang luas itu nanti punya kedudukan tinggi di sisi Allah swt.?”

Syekh Ibnu Muqatil Mufti kota Ray menjawab, “Tidak, bagaimana anda mendengarnya?”

Syekh Hatim pun berkata:

من زهد في الدنيا ورغب في الأخرة وقدم لآخرته وأحب المساكن كانت له عند الله تعالى المنزلة الكبرى العالية

“Barang siapa bersikap zuhud di dunia, senang pada perkara akhirat dan lebih memilih untuk keakhiratannya serta senang pada orang-orang miskin maka dia akan mendapatkan kedudukan besar dan tinggi di sisi Allah swt.”

Baca juga: Doa Membinasakan dan Doa Menghidupkan

Selepas itu Syekh Hatim memarahi si Mufti, “Dan anda ini, siapa yang anda ikuti? Anda mengikuti Nabi saw. dengan para sahabat beliau yang saleh atau Firaun dan Hamman? Wahai ulama yang buruk, seperti anda ini akan mengundang pendapat awam yang bodoh untuk senang duniawi, dan berkata: ulama yang alim saja mengoleksi harta banyak, tentu saya tidak akan kalah.”

Usai berkata demikian, Syekh Hatim pamit pulang. Syekh Ibnu Muqatil pun sadar akan keadaannya lalu bersyair:

وَلَستُ أَرى السَعادَةَ جَمعَ مالٍ  |  وَلَكِنَّ التَقيَّ هُوَ السَعيدُ

وَتَقوى اللَهِ خَيرُ الزادِ ذُخراً  |  وَعِندَ اللَهِ لِلأَتقى مَزيدُ

وَما لا بُدَّ أَن يَأَتي قَريبٌ  |  وَلَكِنَّ الَّذي يَمضي بَعيدُ

Tidaklah saya berpendapat bahwa kebahagiaan itu dengan mengumpulkan harta | namun dapat bersikap takwalah adalah sebuah kebahagiaan.

Takwa pada Allah swt. adalah sebaik-baiknya bekal yg disimpan |  dan di sisi Allah swt ada kenikmatan lebih bagi yang bertakwa.

Apa yang ada di depan itu pasti dekat  |  Sedangkan yang sudah berlalu itu jauh (maksudnya ke depan harus lebih baik)

والله الموفق إلى أقوم الطريق

Kontributor

  • Bakhrul Huda

    Kord. Akademik Ma'had Jami'ah UINSA Surabaya dan Tim Aswaja Center Sidoarjo.