Sejarah mencatat bahwa orang pertama yang menggunakan dua jempol sebagai isyarat oke, mantap, bagus, dan sebagainya, adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani.
Beliau adalah ulama sekaligus gurunya para imam ahli hadis dan pendiri mazhab Hanbali. Beliau hidup di masa keemasan Islam, di mana Bagdad menjadi pusat peradaban, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Lahir tahun 164 H (780 M) dan wafat tahun 241 H (855 H).
Sejauh ini, belum ada catatan sejarah yang merekam orang dengan isyarat jempolnya, yang lebih lama daripada Imam Ahmad bin Hanbal.
Benar, Wikipedia Inggris lewat tulisan Thumb Signal merekam satu ungkapan yang katanya diambil dari buku Against the City of Rome karya penyair Roma Kuno di abad kedua Masehi, Juvenal. Disebut “katanya”, karena Wikipedia sendiri tidak mencantumkan sumber meyakinkan atas buku tersebut.
BACA:
Disebutkan bahwa, “Now they give shows of their own. Thumbs up! Thumbs down! And the killers, spare or slay, and then go back to concessions for private privies.”
Ungkapan itu kurang lebih menggambarkan gerakan jempol penonton terhadap orang yang menang di arena gladiator. Jempol ke atas berarti menyelamatkan atau membiarkan hidup lawan yang kalah, jempol ke bawah berarti membunuh atau menghabisi lawan yang kalah. Namun, klaim tersebut ternyata masih dipertanyakan para ahli dan dituding tidak didasarkan pada data historis Roma Kuno.
Wikipedia juga menyebutkan bahwa gerakan jempol boleh didasarkan pada Kera Barbary di Gibraltar yang menggunakan isyarat tersebut. Menurut hipotesis Carleton S. Soon di dalam The Story of Man, perilaku kera tersebut boleh jadi hanya meniru gerakan manusia. Maka, Carleton berkesimpulan bahwa isyarat jempol merupakan sebagai watak alamiah manusia, tanpa memiliki kejelasan tentang asal usulnya. Jadi, lahir begitu saja oleh siapa saja. Penemunya boleh jadi manusia purba, eh (?)
Sumber lain menyebutkan bahwa isyarat jempol merujuk pada kebiasaan orang-orang di abad pertengahan yang digunakan dalam kesepakatan transaksi bisnis. Seiring waktu, dengan hanya menunjukkan ibu jari yang terangkat, hal itu sudah cukup melambangkan keharmonisan atau kesepakatan di antara masyarakat serta perasaan yang baik. Untuk membuktikan klaim tersebut, terdapat lukisan milik Diego Velázquez berjudul The Lunch yang diperkirakan dibuat pada tahun 1617 atau abad ketujuh belas Masehi. Sembilan abad setelah masa Imam Ahmad bin Hanbal.
BACA:
Sementara itu, sumber Barat yang menyebutkan secara gamblang bahwa isyarat jempol digunakan untuk menunjukkan keadaan baik-baik saja (atau oke) baru terekam pada tahun 1917 di dalam buku Over the Top karya Arthur Guy Empey.
Sayangnya, Wikipedia Bahasa Inggris tidak mencantumkan riwayat Imam Ibnu Main yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad mengacungkan jempolnya, sehingga artikel tersebut dirasa tidak berimbang serta mengedepankan asumsi dan perspektif cendekiawan Barat. Hal itu boleh jadi karena ketidaktahuan dan ketidakmengertian penulisnya terhadap sumber-sumber Arab, atau memang keengganan mencantumkan hal itu.
Sebagai seorang muslim, apalagi didukung oleh penjelasan Wikipedia yang semuanya kurang memiliki kejelasan, tentu saya lebih meyakini kebenaran riwayat dari Imam Ibnu Main. Apalagi, riwayat tersebut berasal dari salah satu imam tepercaya di dunia Islam, tentu akurasinya tidak diragukan lagi.
Imam Yahya bin Main (ada yang melafalkan Muin) adalah seorang ulama yang semasa dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau salah satu murid Imam Syafii, serta menjadi rujukan ulama ahli hadis dalam membedah dan menilai derajat keadilan rawi.
Beliau menuturkan sebuah kisah di dalam kitab Tarikh-nya:
Aku mendengar Abbas [bin Muhammad bin Hatim al-Dauri] berkata; aku sedang mengaji dengan Ahmad bin Hanbal—dan beliau berada di depan pintu rumah Abu Nadr, yaitu Hasyim bin al-Qasim—lalu seseorang bertanya, “Hai Abu Abdillah! Apa pendapatmu tentang Muhammad bin Ishaq [sejarawan terkemuka, pengarang kitab Sirah Nabawiah] dan Musa bin Ubaidah al-Rabzi [rawi yang meriwayatkan hadis munkar]?”
Imam Ahmad menjawab, “Adapun Musa bin Ubaidah, dia adalah orang yang saleh [menurut satu riwayat, tidak ada masalah dengan menggunakan riwayatnya], tetapi ia menyampaikan hadis-hadis munkar [dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw]. Sementara Muhammad bin Ishaq, hadis-hadis ini—yakni riwayat hidup Nabi dan sejenisnya [berkaitan dengan sejarah]—ditulis darinya. Namun, apabila urusan halal dan haram, kita harus mencari orang-orang yang begini!” Imam Ahmad bin Hanbal berkata sambil berisyarat dengan tangannya; tangannya digenggam, kemudian kedua jempolnya diangkat.
Riwayat tersebut disinggung dua kali oleh Imam Ibnu Main dalam Tarikh-nya. Apa yang berada dalam tanda kurung siku ([…]) adalah tambahan dari saya, diambil dari riwayat lain dan penjelasan yang dirasa perlu.
Ini adalah fakta sejarah yang membuat heran, takjub, antara percaya dan tidak percaya, serta sedikit lucu. Bagaimana tidak? Isyarat yang sudah mendarah daging di era modern ini ternyata sudah ada seribu dua ratus tahun yang lalu. Sulit dipercaya, tetapi nyata!
Boleh jadi memang isyarat jempol adalah watak alamiah manusia untuk mengekspresikan hal-hal baik dan persetujuan, sebagaimana klaim Carleton. Boleh jadi pula bahwa isyarat jempol digunakan sejak masa Romawi Kuno di arena gladiator, dengan makna yang berbeda dari yang digunakan sekarang. Namun, kedua klaim itu tidak bisa mengubah fakta bahwa sumber catatan sejarah tepercaya serta masih bisa diakses bebas, mudah, dan luas hingga sekarang, adalah riwayat Imam Ibnu Main dari Abbas, dari Imam Ahmad bin Hanbal.
BACA:
Alhasil, kelompok ekstremis bisa sedikit lega, bahwa isyarat jempol ternyata bukan budaya kafir. Sekali pun misalnya hal itu budaya kafir (karena dipakai di masa Roma Kuno di arena gladiator), bisa menjadi hujah atas mereka bahwa mengadopsi budaya “kafir” dan mengubahnya menjadi budaya yang lebih baik adalah diperbolehkan.