Imam Ahmad bin Hanbal terkenal sebagai ulama yang teguh dalam pendirian dan pilih tanding dalam keilmuan. Lantaran sikap keukeuhnya, ia pernah silang pendapat dengan penguasa Abbasiyah waktu itu dan berujung dibui.
KH. Bahaudin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha menyebut bahwa Imam Hanbali adalah salah satu ulama yang pernah dijebloskan ke penjara lama karena menolak sepaham dengan Khalifah Al-Makmun.
Di bawah kekuasaan Khalifah al-Makmun, semua elemen sosial masyarakat dipaksa meyakini doktrin bahwa Al-Quran adalah makhluk, siapa saja yang bersebrangan dengannya akan diganjar hukuman yang setimpal. Bahkan dieksekusi mati.
Murid Imam Syafi’i ini meyakini Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk sebagaimana anggapan Khalifah Al-Makmun. Singkat kisah, penolakannya itu mengantarkannya ke jeruji tahanan dan tinggal menghitung hari saja menanti hukuman.
Di penjara, Imam Ahmad satu sel dengan seorang maling. Setelah maling itu memastikan sosok di sampingnya betul-betul Imam Ahmad yang terkenal alim itu. Akhirnya ia berujar dengan maksud menguatkan dan menasehati pendiri mazhab Hanbali itu.
“Saya ini dipukuli sampai ribuan kali demi tidak mengakui perbuatan kebatilan, saya saja sabar, masa sampean yang demi mempertahankan kebenaran yang haq, tidak sabar?” terang Gus Baha dilansir dari Channel Santri Gayeng.
Buah nasehat si pencuri itu benar-benar meresap dan menyadarkan Imam Ahmad. Kegigigan Imam Hanbali memegang keyakinannya semakin menebal dan berlipat ganda. Seketika ciut nyalinya sirna, justru malah antusias dan tambah semangat mengahadapi hukuman.
“Aku selalu mendoakan maling itu. Sungguh luar biasa hebat ucapannya.” ungkap santri kinasih Mbah Maimoen Zubair itu
Imam Ghazali dan Hakikat Ilmu Sejati
Kisah lain datang dari sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali, penulis kitab Ihya Ulumuddin, kitab masterpice bidang tasawuf yang banyak dikaji di pondok-pondok pesantrren Indonesia. Cerita ini disampaikan oleh Gus Irwan Masduqi, Pengasuh Pondok Pesntren As-Syafiiyah Mlangi.
Al kisah, setelah beberapa tahun nyantri ke berberapa ulama besar. Pada satu kesempatan ia berniat pulang ke kampung halamanya di Thus, Persia. Bersama kafilah ia membawa semua catatan-catatan beserta kitab-kitabnya.
Di tengah perjalanan, nahas, sekawanan begal merampas seluruh harta benda yang ada, tak terkecuali catatan-catatan Imam Ghazali selama nyantri. Akhirnya Imam Ghazali sedih bukan kepayang dan memohon betul agar kitab-kitabnya dikembalikan.
“Kenapa engkau sedih?” tanya pembegal.
“Karena kitab-kitab yang kamu ambil itu sudah saya tulis bertahun-tahun. Kalau kamu ambil maka ilmuku juga hilang.” jawab Imam Ghazali.
“Berarti ilmumu hanya di kertas ini. Kalau kertas ini aku bakar maka ilmumu juga terbakar. Kalau kertas ini aku buang ke laut maka ilmumu juga akan hilang di lautan. Jika demikian ilmu tidak di hatimu, tapi ada di dalam kertasmu.” timpal pembegal menghujam.
Mendengar jawaban si jambret, Imam Ghazali langsung tertegun dan membatu. Ia membatin dan mengamini omongan si pencuri itu benar. Semestinya ilmu itu menancap kuat di hati, bukan di kertas (catatan-catatan).
Menurut Gus Irwan Masduqi, ini merupakan salah satu bukti bahwa Imam Ghazali belajar adab dari seorang pencuri.
Bagi pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi Jogja itu, belajar kebaikan itu bisa dari siapa saja, tidak terpaku hanya pada kiai dan ulama saja.
Baik Imam Hanbali maupun Imam Ghazali, meskipun keilmuan keduanya langka tanding, tidak gengsi mengambil hikmah dan pelajaran dari seorang maling sekalipun.