Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Ketika Abu Hanifah mendapat pertanyaan sukar dari hater

Avatar photo
21
×

Ketika Abu Hanifah mendapat pertanyaan sukar dari hater

Share this article

Kisah ini melibatkan ulama yang menjadi salah satu rujukan mazhab dalam fikih Ahlus Sunnah wal Jamaah di dunia. Imam Abu Hanifah yang bernama asli Nu’man bin Tsabit merupakan bapak dari mazhab fikih Hanafiyah.

Dikisahkan bahwa Abu Hanifah suatu ketika pernah ditanya oleh seorang laki-laki yang tidak menyukainya.

Ia ingin menjatuhkan Abu Hanifah dengan melontarkan pertanyaan yang sukar dijawab saat beliau sedang bersama santri-santrinya.

Fulan ini bertanya demikian kepada Abu Hanifah:

“Apa yang akan engkau jawab tentang seorang laki-laki yang tidak mengharapkan surga, tidak takut akan neraka, tidak takut kepada Allah, memakan bangkai, shalat tanpa rukuk dan sujud, bersaksi dengan sesuatu yang tidak ia lihat, membenci kebenaran, menyukai fitnah, lari dari rahmat, membenarkan Yahudi dan Nasrani?”

Melihat pertanyaan itu, fulan yang menjadi hater Abu Hanifah tersebut memang bertujuan menjebak beliau dengan pertanyaan yang sukar dijawab.

Namun, dengan tenang dan tidak terbawa emosi Abu Hanifah menjawabnya dengan baik.

Abu Hanifah berkata kepadanya, “Apakah engkau memiliki pengetahuan dengan ciri laki-laki yang kamu sebutkan itu?”

“Tidak, akan tetapi aku tidak menemukan yang lebih buruk keadaannya daripada yang aku sebutkan, maka dari itu aku bertanya kepadamu.” ujar si hater.

Abu Hanifah kemudian bertanya kepada para santri-santrinya, “Bagaimana menurut kalian laki-laki ini?”

“Ia adalah laki-laki yang buruk, yang memiliki sifat orang kafir.” jawab santri-santrinya dengan nada marah.

Abu Hanifah tersenyum mendengar jawaban santri-santrinya.

“Ia sungguh termasuk wali dari wali-wali Allah,” kata Abu Hanifah kepada santrinya. Fulan hater yang mendengar jawaban Abu Hanifah heran.

Melihat gelagat heran keluar dari muka si fulan, Abu Hanifah yang kemudian berkata, “Jika aku menjelaskan alasannya, apakah engkau akan menjaga lisanmu (perkataanmu) dariku, dan dari malaikat-malaikat (pencatat amal) yang dapat membahayakanmu itu?”

“Iya, aku akan melakukannya.” jawab dia.

Dari permintaan Abu Hanifah kepada fulan agar ia menjaga lisannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Abu Hanifah tidak malah marah melainkan peduli akan laki-laki yang ingin menjatuhkannya itu. Ia menginginkan dia berhati-hati dan menjaga lisannya agar tidak membahayakannya kelak.

Abu Hanifah kemudian menjelaskan:

“Ia (laki-laki yang engkau sebutkan sifatnya itu) adalah seorang yang mengharap Tuhan pemilik surga (bukan surganya), dan takut akan Tuhan pemilik neraka (bukan pada nerakanya).

“Ia tidak takut (kepada) Allah yang akan menghukumnya karena keadilan dan kuasa Allah. Ia memakan bangkai, tapi bangkai yang ia makan ialah ikan yang halal bangkainya. Ia melakukan shalat tanpa rukuk dan sujud, maksudnya dia shalat janazah, atau membaca shalawat atas Nabi Muhammad.

“Adapun maksud ia bersaksi dengan sesuatu yang tidak ia lihat ialah ia yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad ialah hamba dan utusan-Nya.

“Ia membenci kebenaran maksudnya ialah kematian, karena ia ingin terus beribadah kepada Allah. Yang ia dimaksud fitnah ialah harta dan anak, sedangkan rahmat ialah hujan. Jadi maksud dari perkataan, ‘laki-laki itu menyukai fitnah dan lari dari rahmat’ ialah ia menyayangi harta dan anaknya dan ia lari ketika hujan turun agar tidak membasahinya.

“Ia membenarkan Yahudi sebagaimana dikisahkan firman Allah, Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan).’ (QS. Al-Baqarah: 113). Ia juga membenarkan Nasrani sebagaimana firman Allah dalam surat dan ayat yang sama, Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan).’”

Mendengar jawaban dari Abu Hanifah yang menakjubkan, si fulan yang membencinya langsung bangun, mengecup kepala Abu Hanifah sembari berkata, “Aku bersaksi engkau berada dalam kebenaran.”

Dari kisah tersebut dapat kita ambil banyak hikmah. Salah satunya ialah kadar keilmuan seseorang dapat membuatnya tenang dalam menghadapi segala rintangan. Termasuk saat harus berhadapan dengan haters yang meraja lela di zaman disrupsi digital ini. Semoga kita dapat mengambil istifadah dari kisah tersebut. Wallahu a’lam.

Kisah ini dinukil dari kitab al-Khayrat al-Hisan fi Manaqib al-Imam Abi Hanifah an-Nu’man karya Ibnu Hajar al-Haitami, halaman 113.

Kontributor

  • Alwi Jamalulel Ubab

    Alumni Khas Kempek, Cirebon. Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.