Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah Imam Asy-Syafi’i dan Nabi Khidir

Avatar photo
48
×

Kisah Imam Asy-Syafi’i dan Nabi Khidir

Share this article

Ijmak (kesepakatan ulama) merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum agama, contohnya seperti ijmak ulama bahwa salat Zuhur hukumnya wajib.

Syeikh Abu Nur Zuheir, dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Fiqh mendefinisikan ijmak sebagai kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa terhadap suatu perkara.” (Kairo: Dar al-Basha’ir, 2007 M, juz 3, hlm. 205)

“Kuberi kamu waktu 3 hari 3 malam, tunjukanlah dalil dari al-Qur’an, kalau tidak, bertobatlah engkau kepada Allah!”.

 Itulah yang dikatakan seorang kakek-kakek kepada Imam asy-Syafi’i. Raut wajah sang imam ketika itu langsung berubah. Kakek tadi tiba-tiba saja datang ketika beliau saat sedang duduk bersama murid-muridnya. Ia datang dengan mengenakan pakaian dari bulu domba.

Ketika ia datang, Imam asy-Syafi’i langsung berdiri dan merapikan pakaian sang kakek, dan menatapnya dengan penuh rasa hormat.

Kakek itu datang untuk bertanya tentang apa saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum dalam agama Allah.

Imam asy-Syafi’i pun menjawabnya dengan mengatakan,Al-Qur’an.”

“Kemudian apa lagi?” Tanya sang kakek.

“Hadist Rasulullah,” jawab Imam asy-Syafi’i.

“Kemudian?” Tagih sang kakek.

“Kesepakatan umat (ijmak).” tegas asy-Syafi’i.

Sang kakek bertanya, “Dari mana kamu mengatakan bahwa kesepakatan umat adalah dalil?”

Imam asy-Syafi’i terdiam tak mampu menjawab, sehingga sang kakek pun memberi tenggat waktu tersebut.

Setelah kejadian itu, sang imam tak pernah terlihat sampai berlalu 3 hari 3 malam. Di tempat pertemuan sebelumnya, beliau menunggu si kakek, dalam keadaan wajah, tangan dan kakinya terlihat membengkak.

Tak lama muncul sang kakek berkata, “Hajatku!” (Yaitu dia datang untuk menagih apa yang dia tanyakan 3 hari sebelumnya).

Imam asy-Syafi’i lalu membaca surat an-Nisa’ ayat 115:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Artinya: “Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan (yang disepakati) orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali”

Imam asy-Syafi’i menjelaskan bahwa Allah tidak akan memasukkan orang-orang yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin ke dalam neraka, kecuali apabila hal tersebut hukumnya wajib.

“Maka mengikuti jalan yang disepakati orang-orang mukmin, yaitu ijmak hukumnya wajib.” lanjut beliau.

Sang kakek berkata, “Engkau benar.” dan ia pun pergi.

Diriwayatkan bahwa Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan al-Qur’an setiap siang dan malam selama tiga hari tiga malam tadi, sampai ia menemukan jawaban ayat tersebut.

Mengenai asal-usul sang kakek, Tajuddin as-Subki (w. 771 H) menjelaskan bahwa dilihat dari sikap Imam asy-Syafi’i yang mendengarkan perkataan sang kakek, dan menuruti ucapan kerasnya, kemungkinan kakek tersebut adalah Nabi Khidir as.

Kemudian as-Subki menegaskan:

وسند هذه الحكاية صحيح لا غبار عليه

“Sanad kisah ini shahih tidak ada keraguan di dalamnya.”

Sumber: 

1. Prof. Dr. Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Al-Asas Fi Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Yusr, 2017 M), vol. 2, hlm. 28-29.

2. Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Hijr li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr), vol. 2, hlm. 245.

3. Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala (Kairo: Dar al-Hadist, 2006 M), vol. 8, hlm. 272. 

Kontributor

  • Yusuf Suhada

    Pernah mengenyam pendidikan di Daarul Rahman KH. Syukron Ma'mun, dan Gus Faiz Syukron Ma'mun, dan menamatkan sekolah di Yayasan al-Badar Tangerang. Kemudian pesantren salafi Ath-Thahiriyah di Banten asuhan almarhum Abah TB. Hasuri Thahir. Sekarang kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.