Ketika fajar menjelang, lahirlah Pangeran tampan bernama Bendoro Raden Mas Mustahar. Putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III itu terlahir di keraton Yogyakarta pada 11 November 1785 M. Setelah dewasa, pangeran Bendoro Raden Mas Mustahar berganti nama menjadi Pangeran Diponegoro. Sedangkan pada 8 Januari 1855 dalam usia 69 tahun, beliau wafat di Makassar dan disemayamkan di sana.
Bulan kelahirannya adalah Sura. Waktu yang terbilang istimewa dalam tradisi jawa. Karena Sura adalah bulan dengan urutan pertama dalam tahun Jawa. Memiliki arti gelombang sejarah baru hendak dimulai. Wajar bilamana spirit dalam jiwanya tumbuh sedemikian kuatnya sebagai pejuang tangguh. Pencetus pergerakan dalam menentang kesewenang-wenangan kolonialisme-imperalisme penjajahan.
Anak dari istri selir Sultan Hamengkubuwono III, yang bernama R.A. Mangkrawati itu termasuk pengeran berkepribadian pekerti yang luhur. Adalah tidak adanya ambisi kekuasaan, sekalipun ayahnya berkuasa atas sebuah kerajaan ternama. Karena tak dapat dipungkiri, beliau merupakan santri yang tekun dan berpemahaman agama yang matang.
Berbeda dengan kebiasaan keluarga bangsawan pada umumnya, Pangeran Diponegoro sangat jarang hadir di istana. Ia datang ke istana hanya saat diadakannya upacara grebeg yang diselenggarakan dua kali dalam setahun. Selebihnya, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mendalami ilmu agama. Beliau juga banyak membaca dan mempelajari karya-karya kesusastraan Jawa seperti babad, primbon, dan silsilah raja.
Neneknya, Ratu Kedhaton adalah keturunan Madura. Seorang yang shalehah dengan ajaran Islam yang kuat.
Pengeran Diponegoro hidup di keraton hanya sampai usia 7 tahun. Setelahnya ia hidup dengan neneknya di Tegalrejo. Perkampungan yang kurang lebih berjarak 3 kilometer dari Kota Yogyakarta.
Diinformasikan bahwa dalam autobiografinya, Diponegoro saat masih belita diramalkan buyutnya, yakni Sultan Mangkubumi Pertama akan menghancurkan Belanda. Bahkan lebih dahsyat dari buyutnya lakukan sendiri dalam perang Giyanti (1746-1755) melawan Belanda. Oleh karena hal itulah karakter dan garis hidup Pangeran Diponegoro dipengaruhi oleh para leluhurnya.
Semangat religiusitas atau keislaman yang bersintesa dengan semangat Jawa dalam dirinya tidak bisa dipisahkan dari lingkungan tempat dia dibesarkan: Tegalrejo. Bagi Diponegoro, Tegalrejo merupakan tempat istimewa. Pangeran Diponegoro sangat egaliter dan humanis, hingga membuatnya sangat dicintai masyarakat.
Pangeran Diponegoro adalah penganut tarekat Qadiriyah dan Syattariyah. Ia pernah nyantri kepada KH. Baidlowi Bagelen Glodegan Bantul Jogjakarta, dan KH. Nur Muhammad Ngadiwongso Salaman Magelang.
Inspirasi perang dan mengumpulkan kekuatan
Pangeran Diponegoro bukanlah pembaharu Islam. Namun karena wawasan perang suci (perang sabil) yang dimilikinya, menggerakkannya untuk tampil sebagai penegak nilai keagamaan yang semakin terdistorsi. Pangeran Diponegoro berpandangan bagaimana caranya kaum muslim Jawa harus hidup ditengah keberkuasaannya bangsa Barat. Sedangkan perang Jawa ini adalah perang yang sangat penting bagi masa depan Indonesia.
Ada beberapa penyebab perang Jawa atau perang Diponegoro ini terjadi. Salah satu diantaranya adalah semakin kentaranya campur tangan Belanda terhadap urusan internal Keraton Yogyakarta. Akibatnya semakin terkikis moralitas masyarakat Jawa yang memiliki budi pekerti yang baik dan sopan santun. Bahkan, para ulama Islam banyak yang kecewa kepada Belanda perihal makin meluasnnya adat kebiasaan Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Mereka juga geram, terutama kaum bangsawan, karena Belanda membuat pengaruhnya terhadap rakyat untuk menyewakan perkebunannya hanya kepada pihak Belanda saja. Pajak semakin naik. Segala pungutan pajak dan kebijakan kewajiban kerja paksa tentu merugikan rakyat jelata.
Adapun dengan Pangeran Diponegoro sendiri, kebenciannya terhadap Belanda memuncak ketika Belanda merencanakan pembangunan jalan kereta api yang lintasannya melewati makam leluhurnya. Terlebih Belanda tak meminta izin dengan pihaknya Pangeran Diponegoro. Maka Pangeran Diponegoro semakin mantap untuk menentang dan melakukan perlawanan kepadanya.
Dimulailah perang Jawa pada 20 Juli 1825. Di kediamannya Tegalrejo, Pangeran Diponegoro hampir tertangkap oleh Belanda. Namun berkat kecerdikannya, beliau dapat meloloskan diri dari pengejaran Belanda. Bersama pamannya, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro berkuda menuju Kalisaka.
Beberapa lapisan masyarakat berduyun-duyun ikut bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Diantara mereka terdiri dari para bangsawan, pejabat daerah yang dipecat, guru agama, para jawara, kuli, buruh harian, tani penggarap dan elemen rakyat lainnya. Dan turut andil juga Kiai Mojo dan Sentot Ali Basyah Prawirodirjo yang berperan besar dalam peperangan ini.
Karena di Kalisaka sangat berkejibun, maka Pangeran Diponegoro memindahkan mereka semua ke pedalaman Goa Selarong. Yakni daerah pegunungan di Pajangan, Bantul (terletak sekitar 26 kilometer ke arah barat daya dari keraton Yogyakarta). Di sanalah kubu Pangeran Diponegoro bermarkas dan menyusun strategi perang.
Pangeran Diponegoro menggunkaan strategi perang gerilya. Strategi ini merupakan strategi perang yang dilakukan dengan cara tidak menyerang dengan skala besar-besaran, namun secara lokal dengan melakukannya secara mendadak dan mengagetkan. Siasat ini berjalan baik dan membuat pihak Belanda kuwalahan untuk mengatasainya.
Akhir peperangan dan trauma setelahnya
Sekalipun kubu Pangeran Diponegoro bersiasat untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, namun karena kelicikan demi kelicikan dijalankan oleh Belanda akhirnya Pangeran Diponegoro pun terdesak. Para pimpinan perang seperti Kiai Mojo dan Sentot Ali Basyah Prawirodirjo harus tertangkap terlebih dahulu.
Pada 28 Maret 1830 adalah siasat licik yang digencarkan oleh Belanda. Pangeran Diponegoro beserta beberapa pengikutnya memasuki Kota Magelang sebagai tamu kehormatan. Semula Belanda menawarkan genjatan senjata. Namun Perundingan yang berlangsung antara Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan dari pihak rakyat dan Jenderal De kock sebagai pimpinan dari pihak Belanda, melakukan kecurangan.
Pangeran Diponegoro yang tak bersenjatakan apa-apa itu akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Manado. Dan kemudian dipindahkan lagi ke Makassar hingga ajal menjemputnya.
Ditahannya Pangeran Diponegoro otomatis menjadi akhir dari perang Jawa yang melelahkan. Selama 5 tahun (1825-1830) Belanda tak pernah bisa merasakan kenyamanan; tidur tak nyenyak; makan tak enak; keamanan tak terjamin. Bahkan perang jawa adalah satu-satunya perang yang menjadi trauma terbesar yang pernah dirasakan Belanda.
Menurut catatan De Graaf, Belanda menanggung hutang yang sangat besar. Biaya perang yang harus dikeluarkan mereka mencapai 25 juta gulden atau juga setara dengan 2,2 miliar Dollar AS saat ini. Sementara untuk nyawa yang terenggut ada sebanyak 7.000 serdadu pribumi dan 8.000 serdadu Belanda sendiri yang tewas. Meskipun sebagai penguasa tunggal atas pulau Jawa, Belanda tetap menderita dengan kemenangan pahit yang dicapai.