Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Merasa Berilmu, Imam Asy-Syafi’i Ditegur Waliyullah

Avatar photo
53
×

Merasa Berilmu, Imam Asy-Syafi’i Ditegur Waliyullah

Share this article

Imam
asy-Syafi’i
(w 204 H) radhiyallôhu ‘anh, berkisah
: Suatu hari terbesit dalam diriku bahwa aku seorang yang berilmu (‘âlim).

Kemudian
setelah itu aku bergegas untuk menjadi imam shalat Maghrib. Ketika aku
mengimami shalat Maghrib tiba-tiba bacaan surat al-Fatihahku salah, dan
orang-orang yang menjadi makmum pun membetulkan bacaanku.

Kemudian
aku
kembali mengimami shalat Isya. Aku pun kembali salah dalam membaca surat
al-Fatihah untuk yang kedua kalinya. Orang-orang yang berada di belakangku pun
kembali membetulkan bacaanku.

Dua
kali salah dalam bacaan surat al-Fatihah membuatku bingung, dan aku yakin ada
sesuatu yang tidak beres dengan diriku. Aku pun segera melakukan shalat
istikharah, memohon petunjuk kepada Allah.

Begitu
selesai melakukan dua rakaat shalat istikharah, tiba-tiba aku ngantuk berat,
dan aku pun tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi, di mana aku saat itu sedang
diadili di hadapan para hakim yang semuanya duduk di hadapanku dengan penuh
wibawa. Aku diadili di hadapan mereka dengan tuduhan aku berbuat sû`ul adab
(beradab tidak baik) kepada Allah.

Seorang
hakim menghukumku bahwa aku harus dihukum mati karena aku berlaku sû`ul adab
kepada Allah tersebut, dengan dalih bahwa mengaku diri sebagai seorang alim
adalah kesalahan besar, karena hakikatnya tidak ada yang alim kecuali hanya
Allah semata. Dialah yang Maha Mengetahui dan Berkuasa atas segala sesuatu.

Namun
salah seorang hakim yang lain meringankan hukumanku dengan mengatakan, “Aku
melihat harus ada keringanan hukuman untuk Syafi’i.”

Ketua
para hakim mengatakan, “Mengapa dan dengan cara apa hukumannya diringankan?”

Hakim
itu Kembali berkata, “Mengapa? Karena Syafi’i mempunyai peranan besar kepada
seluruh ummat dengan ilmunya yang luar biasa, dan benar apa yang disabdakan
oleh Rasulullah Saw, “Akan muncul seorang laki-laki dari suku Quraisy yang
ilmunya memenuhi alam dunia ini, dan saya melihat laki-laki dimaksud adalah
Syafi’i.”

Hakim
itu kemudian melanjutkan perkataannya, “Adapun cara meringankan hukumannya
adalah dengan cara membiarkan Syafi’i berkeliling di jalan-jalan untuk melihat
orang-orang kemudian ia harus mencari seseorang yang menurut Syafi’i orang
tersebut adalah orang yang paling hina dan paling rendah di masyarakat.
Kemudian Syafi’i harus mencium tangan orang itu sebagai bentuk adab sopan
santun kepadanya.”

Imam
asy-Syafi’i kembali berkata, “Begitu aku bangun, aku paham pesan dari mimpi
itu, dan aku pun segera keluar rumah pergi ke jalanan untuk melihat orang-orang
dan mencari orang yang menurutku paling hina dan paling rendah di masyarakat.
Akhirnya aku mendapatkan seorang laki-laki yang bebadan dan berpakaian sangat
kotor, wajah dipenuhi debu tanah, dan dari badannya mengeluarkan aroma yang
sangat tidak sedap. Laki-laki itu sedang duduk di dekat tempat pembuangan
sampah.

Aku
pun segera mencoba untuk mendekatinya, namun hampir saja aku tidak dapat
melakukannya karena aroma yang tidak sedap yang sangat menyengat dari tubuhnya.
Namun, karena ini adalah putusan hakim yang harus aku lakukan, akhirnya aku pun
memaksakan diri untuk mendekatinya.

Begitu
aku sudah dekat dengannya, aku pun mencoba mengambil tangannya untuk aku cium
sebagai wujud penghormatan dan adabku dengannya. Namun sebelum tanganku dapat
meraih tangannya, tiba-tiba laki-laki itu menampar pipiku, dan berkata kepadaku,
“Berlaku sopanlah wahai Syafi’i, ciumlah tanganmu itu (bukan mencium tanganku),
dan ketahuilah aku ini adalah orang yang telah meringankan hukumanmu kemarin
itu.”

Mendengar
itu, Imam asy-Syafi’i pun segera menaburkan tanah ke tubuhnya lalu ia mencium
tangannya sambil menangis tersedu-sedu.

Setelah
itu, Imam asy-Syafi’i pun segera datang menemui guru beliau
, Imam Waki’, mengadukan masalah yang sedang dialaminya. Lalu keluarkan
bait nazham yang terkenal yang berbunyi:

شَكَوتُ إِلى وَكيعٍ
سُوْءَ حِفْظِيْ  فَأَرشَدَني إِلى تَرْكِ
المَعاصي

وَأَخبَرَني بِأَنَّ
العِلمَ نورٌ  وَنورُ اللَهِ لا يُهدى
لِعَاصِي

Aku megadu kepada Imam Waki’ tentang
hafalanku yang berkurang.

Beliau
kemudian menasehatiku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat.

Ia
juga menyampaikan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya.

Dan
cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”

(Diambil
dari salah satu dars majlis ilmu yang disampaikan oleh ustadznal jalil, Maulana
Prof. DR.
Muhammad
Muhanna
, guru besar di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, dan pimpinan
Akedemi ‘Ahlu Shuffah’ untuk kajian Ilmu Tasawuf dan Ilmu-Ilmu Turats
(Akâdîmiyyah Ahlish Shuffah Lidirâsâth at-Tasawuf wa ‘Ulûmit Turâts) Kairo.
Disampaikan di Cairo di al-Bait al-Muhammady, Muqattam, Cairo, pada tanggal 05
Oktober 2019).

Maulana
Sidna Syaikh Prof. DR. Muhammad Muhanna juga mengatakan, bahwa itulah yang
dimaksud dengan perbuatan maksiat yang disampaikan oleh Imam Waki’ kepada Imam
asy-Syafi’i dalam bait nazham terkenal di atas. Perbuatan maksiat dimaksud
bukanlah perbuatan maksiat berupa perbuatan lahir dan fisik, akan tetapi
berkaitan dengan perbuatan hati (a’mâlul qulûb), yaitu ketika terbetik
dalam hati Imam asy-Syafi’i bahwa beliau seorang yang alim (orang berilmu).

Dari
kisah di atas banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Di antaranya dua
pelajaran berikut ini:

Pertama, terdapat perbedaan sangat jauh antara yang disebut dosa atau maksiat
menurut orang-orang shaleh terpilih dengan dosa dan maksiat menurut kita selaku
orang awam. Sesuatu yang disebut dosa atau maksiat bagi mereka bukanlah dalam
pengertian dosa dan maksiat menurut kita. Boleh jadi yang mereka pandang
sebagai dosa dan maksiat adalah sebagai kebaikan bagi kita orang awam.

Karena
itu, para ulama (di antaranya disampaikan oleh Imam Badruddin al-‘Ainy dalam ‘Umdatul
Qâri
(7/180), Imam al-Qasthalani dalam Irsyâdus Sâri (5/151)) mengatakan:

حَسَنَاتُ
الْأَبْرَارِ سَيِّئَاتُ الْمُقَرَّبِينَ

“Kebaikan
orang-orang baik adalah kesalahan orang-orang terpilih.”

Kedua, tidak diperbolehkan berlaku sombong dan memandang rendah, remeh, dan hina
siapapun dari makhluk Allah. Karena boleh jadi orang yang kita pandang hina,
rendah, dan tidak ada apa-apanya, namun di hadapan Allah ia orang mulia, bahkan
boleh jadi ia di antara
wali
Allah
(min auliyâ`illâh).

Sosok
laki-laki tua kotor, bau dan lusuh yang duduk di pinggir tempat pembuangan
sampah yang saat itu menurut masyarakat—termasuk menurut Imam asy-Syafi’i—yang
paling hina dan rendah, ternyata ia adalah waliyullah, ia adalah seorang hakim
yang telah meringankan hukuman yang akan diterima oleh
Imam
asy-Syafi’i
dalam mimpinya.

Karena
itu,
Imam al-Ghazali
bertutur dalam kitab Bidâyatul Hidâyah (hal 60), “Setiap orang yang
memandang dirinya lebih baik dari satu makhluk Allah, maka ia adalah orang yang
sombong.”

Kemudian
beliau juga bertutur, “Seyogyan
ya manakala anda melihat seseorang
siapapun dia, tanamkan dalam diri anda bahwa dia lebih baik dari anda.”

Semakna
dengan apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, Maulana Sidna Syaikh Dr.
Yusri Jabr, salah seorang syaikh shaleh ternama dari al-Azhar Mesir, dalam
salah satu dars (pengajian) ilmunya memberikan nasehat sangat agung, “Manakala
kamu keluar rumah, tanamkan dalam diri bahwa semua makhluk yang dilihat adalah
wali Allah, kecuali satu yang bukan wali Allah, yaitu diri saya.”

Semoga
Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang selalu rendah hati,
mencintai, menghormati dan menyayangi semua makhluk Allah, siapapun dia, dan
apapun status sosialnya. Karena boleh jadi orang yang kita pandang hina, rendah
dan tidak ada apa-apanya itu, di hadapan Allah justru orang yang mulia dan luar
biasa. Bahkan, tidak menutup kemungkinan boleh jadi dia juga yang akan
menyelamatkan kita kelak pada hari kiamat. Semoga.

Washallallôhu
‘alâ sayyidinâ wa maulana Muhammadin, wa ‘alâ âlihî wa shohbihî wasallam.

Kontributor

  • Aep Saepulloh Darusmanwiati

    Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kemudian meneruskan studi Universitas al-Azhar Kairo dan meraih magister pada Jurusan Ushul Fiqh. Sekarang kandidat doktor Ushul Fiqih Universitas al-Azhar. Beliau menulis sejumlah buku antara lain Mengintip Alam Gaib, Dialog Nabi dengan Para Nabi dan Setan Hafal Ayat Kursi.