Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Pertemuan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Seorang Habib

Avatar photo
36
×

Pertemuan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Seorang Habib

Share this article

Dikisahkan bahwa Harun
ar-Rasyid
, seorang khalifah (presiden) di zaman Dinasti Abbasiyah, ingin
melaksanakan tawaf sendirian dan melarang orang-orang untuk tawaf bersamanya.

Tiba-tiba ia didahului oleh seorang Arab kampung.
Maka pasukan pengaman Harun ar-Rasyid berkata kepada orang kampung tersebut
, K
amu tidak
boleh tawaf sampai
Amirul
Mukminin
(Harun ar-Rasyid) selesai tawaf.”

Maka orang kampung tersebut berkata, “sesungguhnya Allah
menyamakan antara pemimpin dan rakyatnya di tempat ini, Allah subhanahu wa
ta’ala
berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَن
سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ٱلَّذِى جَعَلْنَٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً ٱلْعَٰكِفُ
فِيهِ وَٱلْبَادِ  وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ
بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan
menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami jadikan
untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan
siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan
Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.
(QS.
Al-Hajj: 25)

Ketika Harun ar-Rasyid mendengarnya, dia pun melarang
pasukannya untuk mencegah orang tersebut.

Kemudian Harun ar-Rasyid mendatangi Hajar Aswad untuk
menciumnya, akan tetapi lagi-lagi ia didahului orang kampung tersebut.

Kemudian Harun ar-Rasyid mendatangi Hijir Ismail untuk shalat
di dalamnya, dan lagi-lagi dia didahului orang kampung tersebut.

Ketika Harun selesai dari shalatnya, ia pun memerintahkan
pasukan pengamannya untuk mendatangkan orang kampung tersebut. Maka pasukan itu
pun mendatangi orang kampung tersebut dan berkata, “
Jawablah
panggilan Amirul Mu’minin!”

Orang kampung itu menjawab, “Aku tidak punya kebutuhan kepadanya kalau
dia punya kebutuhan maka dia yang lebih berhak untuk mendatangiku.”

Maka Harun pun mendatangi orang tersebut dan mengucapkan
salam kepadanya. Orang itu pun membalas salamnya.

Lalu Harun ar-Rasyid berkata, “Wahai saudaraku sesama Arab, bolehkah
saya duduk di sini dengan seizinmu?”

Orang tersebut menjawab, “Rumah ini bukanlah rumahku, dan
tanah haram ini pun bukan tanah haramku, kita semua di tempat ini sama, kalau
kamu ingin duduk silakan duduk, kalau kamu ingin pergi silahkan pergi.”

Maka Harun pun duduk, dan berkata, “Wahai orang kampung, aku
ingin bertanya kepadamu mengenai suatu fardhu, apabila kamu mampu menjawab maka
kamu lebih bisa menjawab yang lain, sedangkan apabila kamu tidak bisa menjawabnya
maka yang lain pun demikian.”

Orang kampung itu berkata, “Pertanyaanmu ini pertanyaan untuk belajar
atau pertanyaan untuk menjatuhkan?”

Harun menjawab, “Untuk belajar.”

Maka orang kampung itu berkata, “Berdirilah kemudian duduklah
sebagaimana duduknya orang yang bertanya kepada orang yang ditanya!”

Harun pun berdiri dan duduk dengan meletakkan kedua tangannya
di atas lutut, dan berkata, “
Aku sudah duduk.”

Orang kampung itu berkata, “Tanyakanlah apa yang terlintas dalam
pikiranmu
!

Harun berkata, “Beritahukanlah aku mengenai apa yang
diwajibkan oleh Allah kepadamu!”

Orang kampung itu menjawab, “Kewajiban apa yang kamu tanyakan? tentang
kewajiban yang satu? atau yang lima? atau yang 17? atau yang 34? atau yang 94?
atau satu kewajiban seumur hidupku? atau satu kewajiban dari 12? atau 1 dari 40?
atau 5 dari 200?”

Maka Harun pun tertawa terbahak-bahak sampai ia terbaring di atas
lehernya untuk merendahkan orang kampung tadi.
Dia berkata, “Aku
bertanya kepadamu mengenai kewajibanmu tapi kamu malah menjawabku dengan
hitung-hitungan!”

Orang kampung tadi pun berkata, “Wahai
Harun! kalaulah agama bukan dengan perhitungan, tentu Allah tidak akan
menghukum makhluk-Nya dengan hitungan di hari kiamat. Allah subhanahu wa
ta’ala
berfirman:

وَنَضَعُ ٱلْمَوَٰزِينَ ٱلْقِسْطَ
لِيَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئا
وَإِن كَانَ
مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا
وَكَفَىٰ
بِنَا حَٰسِبِينَ
         

“Kami akan memasang timbangan yang tepat
pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya.
Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan
. (QS.
al-Anbiya:47)

Khalifah itu
marah karena dia memanggilnya, “Harun” dan
tidak berkata, “
Wahai Amirul Mu’minin!” Dia berkata, “Wahai
orang kampung! Kalau kamu jelaskan apa yang kamu katakan kamu akan selamat, dan
kalau tidak maka aku akan memerintahkan kepalamu dipenggal di antara Safa dan
Marwah!”

Mendengar
ancaman itu, t
eman
orang kampung tadi berkata, “
Wahai Amirul Mukminin, maafkanlah
dia karena Allah dan karena tempat yang mulia ini.”

Orang kampung itu pun tertawa dari ucapan kedua orang tersebut
sampai dia berbaring di atas lehernya.

Maka Harun ar-Rasyid pun bertanya kepada orang kampung itu, “Apa yang
kamu tertawakan?”

Orang kampung tadi menjawab panjang: Sangat mengherankan kalian berdua! Aku tidak
tahu mana di antara kalian berdua yang lebih bodoh?
Yang satu
ingin menunda ajal yang sudah datang, sedangkan yang satu lagi ingin mempercepat
ajal yang belum datang!

Adapun pertanyaanmu mengenai apa yang diwajibkan oleh Allah
kepadaku, maka sesungguhnya Allah telah mewajibkan banyak hal kepadaku.

Adapun yang perkataanku mengenai kewajiban yang 1, maka itu
adalah agama Islam.

Adapun ucapanku mengenai kewajiban yang 5, maka itu adalah shalat lima
waktu.

Adapun ucapanku mengenai kewajiban yang 17 maka itu adalah 17
rakaat shalat.

Adapun ucapanku mengenai kewajiban yang 34 maka
itu adalah sujud di dalam shalat.

Adapun ucapanku mengenai kewajiban yang 94, maka itu adalah
takbir dalam shalat, beserta ucapan tasmi’ dan tahmid (maksudnya ucapan sami’allahu
liman hamidah
) ketika bangun dari rukuk, dan tasbih ketika rukuk dan sujud
masing-masing 1 kali, dan meminta ampunan, kalau ada orang yang meninggalkan
satu pun dari yang tadi secara sengaja maka shalatnya batal, atau
meninggalkannya karena lupa maka ia sujud sahwi, dan yang dimaksud dengan fardu
yaitu bahwa perbuatan tersebut ditekankan untuk dilakukan, karena kalau tidak
maka yang wajib dari perkara tadi hanyalah 5 dan sisanya sunnah.

Adapun ucapanku mengenai kewajiban yang satu seumur hidup,
maka itu adalah menunaikan ibadah haji
.

Sedangkan ucapanku mengenai kewajiban yang satu dari 12, maka itu
adalah puasa di bulan Ramadan
.

Sedangkan ucapanku fardhu yang satu dari 40, maka itu adalah
zakat emas 1 dinar dari 10 dinar
.

Adapun ucapanku kewajiban yang lima dari 200 maka maksudnya
adalah 5 dirham yang merupakan zakat dari 200 dirham
.

Kemudian orang kampung itu berkata, “Kau sudah
bertanya kepadaku dan aku pun sudah menjawab, aku ingin bertanya kepadamu maka
jawablah pertanyaanku!”

Harun ar-Rasyid menjawab, “Katakanlah!”

Maka orang kampung itu berkata, “Apa pendapatmu mengenai laki-laki
yang melihat perempuan ketika shalat Subuh dan perempuan itu pun haram bagi
laki-laki tersebut, akan tetapi ketika datang waktu Zuhur perempuan itu halal
bagi dia, kemudian ketika datang waktu Asar perempuan itu haram kembali bagi
dia, kemudian ketika datang waktu Maghrib perempuan itu halal kembali bagi dia,
dan ketika datang waktu Isya perempuan itu kembali menjadi haram, dan setelah
datang waktu Subuh perempuan itu kembali halal, dan kemudian ketika masuk waktu
Zuhur perempuan itu haram kembali, dan ketika masuk waktu Asar menjadi halal
kembali, ketika masuk waktu maghrib kembali menjadi haram, dan ketika masuk
waktu Isya perempuan itu kembali menjadi halal bagi dia?”

Harun ar-Rasyid menjawab, “Demi Allah wahai saudaraku, kamu
sudah menjatuhkanku di dalam lautan yang tidak ada satupun yang bisa
menyelamatkanku darinya selain kamu!”

Orang kampung itu menjawab, “Kamu itu khalifah Allah, tidak selayaknya
kamu tidak bisa memecahkan suatu permasalahan, bagaimana kamu tidak bisa
menjawab pertanyaanku sedangkan aku ini orang kampung yang tidak punya
kekuasaan?”

Harun menjawab, “kekuasaanmu dalam ilmu sangatlah agung, maka
tolong jelaskanlah untukku pertanyaan ini!”

Orang kampung itu berkata, “Akan kujelaskan dengan syarat kamu harus
membantu orang-orang yang kesusahan, menyayangi orang orang miskin, dan jangan
sembrono kepada orang-orang fakir!”

Maka Harun menjawab, “Akan kulakukan dengan penuh cinta dan kehormatan.”

Orang kampung tadi pun menjelaskan, “Laki-laki tersebut
melihat budak perempuan orang lain ketika Subuh, maka perempuan itu haram bagi
dia. Ketika datang waktu Zuhur ia membelinya sehingga perempuan itu halal bagi
dia. Ketika masuk waktu Asar perempuan itu ia merdekakan, maka dia haram bagi laki-laki
tersebut. Kemudian masuk waktu Maghrib perempuan itu dia nikahi sehingga
menjadi halal bagi dia, dan ketika datang waktu Isya perempuan itu ia talak
sehingga menjadi haram, dan ketika datang waktu Subuh ia merujuk kembali perempuan
tersebut sehingga menjadi halal, dan ketika datang waktu Zuhur ia melakukan
zihar (menyamakan istri dengan perempuan yang haram dinikahi seperti ibu)
kepada perempuan tadi sehingga menjadi haram, dan ketika datang waktu Asar ia
membayar kafarat atas ziharnya sehingga perempuan itu menjadi halal, kemudian
ketika datang waktu Maghrib laki-laki tersebut murtad sehingga perempuan itu
menjadi haram, dan ketika datang waktu Isya dia bertobat dan kembali kepada
agama Islam sehingga perempuan itu kembali menjadi halal!”

Harun ar-Rasyid pun senang dengan jawaban tersebut dan
memerintahkan untuk memberinya 10,000 dirham. Ketika uang sebanyak itu datang kepadanya,
orang kampung tadi berkata, “Aku tidak membutuhkan uang ini, kembalikanlah uang
tersebut kepada orang yang lebih berhak!”

Harun pun berkata, “Apakah kamu mau aku berikan upah yang
akan mencukupimu seumur hidupmu?”

Orang kampung itu menjawab, “Sesungguhnya Zat Yang Memberiku upah
seumur hidupku Dia juga yang memberi kamu upah.”

Harun ar-Rasyid berkata, “Kalau kamu memiliki hutang bolehkah aku
bayarkan hutangmu?”

Orang kampung tadi menjawab, “Tidak perlu.”

Orang kampung itu pun tidak menerima apapun dari sang
presiden.

Kemudian Harun ar-Rasyid bertanya-tanya mengenai keluarga
orang tadi dan kampungnya, kemudian ada seseorang yang memberitahukan bahwa dia
adalah
Musa
Ridha
bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad Bagir bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib yang merupakan seorang cucu Rasulullah.
Dia selalu berpakaian ala orang
kampung karena zuhud dan wara
k terhadap dunia.

Maka Harun ar-Rasyid pun bangun dan menghampiri orang kampung
tadi, kemudian mencium dahinya di antara kedua matanya. Kemudian ia membaca
ayat suci al-Qur’an:

ٱللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ
رِسَالَتَهُ
ۥ

“Allah lebih mengetahui di mana Dia
menempatkan tugas kerasulan
. (QS.
al-An’am: 124)

Maksudnya adalah setelah sang khalifah mengetahui bahwa
identitas orang tersebut adalah seorang cucu Rasulullah, dan menyaksikan betapa
dalam keilmuan dan kemuliaan sikapnya, dia semakin meyakini bahwa keluarga
Rasulullah itu memang istimewa, sehingga pantas dari keluarga tersebutlah Allah
memilih untuk mengutus utusan terakhir-Nya.
Wallahu a’lam.

Dikutip dari Bahjah al-Wasa’il (PDF), syekh Muhammad Nawawi Banten, (Kairo:
Dar ath-Thalib al-Azhary, 2019 M), hlm. 66-72.

Kontributor

  • Yusuf Suhada

    Pernah mengenyam pendidikan di Daarul Rahman KH. Syukron Ma'mun, dan Gus Faiz Syukron Ma'mun, dan menamatkan sekolah di Yayasan al-Badar Tangerang. Kemudian pesantren salafi Ath-Thahiriyah di Banten asuhan almarhum Abah TB. Hasuri Thahir. Sekarang kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.