Ketika al-Imam al-Qaffal al-Syasyi (w. 365 H)
mampu membuat gembok mini beserta kuncinya seberat 1 dâniq (0.496 gram),
masyarakat kagum, heboh luar biasa. Nama beliau viral.
Namun ketika seorang Abu Bakar al-Qaffal—kelak terkenal
dengan sebutan al-Imam al-Qaffal al-Shaghir—mampu membuat gembok lebih mini
lagi beserta kuncinya seberat satu thassûj (¼ dâniq= 0.124 gram),
masyarakat menyukainya, tapi tak sempat viral.
Ia pun mengadu pada sahabatnya:
Tidakkah engkau tahu bahwa segala sesuatu
tergantung hoki? Al-Syasyi membuat gembok beserta kuncinya seberat 1 dâniq,
sebab itu virallah namanya. Bergemuruh suara penduduk negeri menyebut-nyebut
namanya. Sementara aku membuat gembok seberat ¼ dari berat buatannya, tidak ada
yang menyebut-nyebut namaku.
Sahabatnya pun berkata, “Namanya disebut-sebut itu
hanyalah karena ilmu, bukan karena gembok.”
Ia pun termotivasi dan serius mendalami ilmu (fikih),
padahal saat itu usianya telah mencapai 40 tahun. Ia lalu mendatangi seorang syeikh
di Merv (Marwa) dan syeikh itu pun mengetahui motivasinya, sehingga syeikh itu
mengajarinya permulaan kitab al-Muzanni, yaitu kalimat:
هذا كتاب اختصرته
Hâdzâ kitâbun, ikhtashortuhu (Ini
adalah buku, aku meringkasnya)
Setelah itu, dia pulang dan naik ke atap dan terus
mengulang-ulang tiga lafadz itu dari Isya’ hingga terbit fajar. Matanya tak
kuasa menahan kantuk sehingga membuatnya tertidur. Lalu, Ia bangun, namun
hafalan itu pun terlupa, sehingga sempitlah dadanya sembari berkata, “Apa yang
akan kukatakan pada ssyeikh?
Lalu, dia keluar rumah. Tiba-tiba seorang
perempuan tetangganya berkata, “Hei Abu Bakar! Semalaman kami begadang gegara
ucapanmu: Hâdzâ kitâbun ikhtashortuhu.”
Ia pun mempelajari kalimat itu dari si tetangga
tersebut dan kembali ke gurunya sembari menceritakan kejadian itu.
Syeikh itu pun berkata padanya, “Hal itu jangan
membuatmu berpaling dari tekun belajar. Karena jika engkau terus-menerus
menghafal dan tekun-belajar, maka itu kan menjadi kebiasaanmu.”
Akhirnya, ia pun bersungguh-sungguh dan tekun
hingga ia menjadi alim fakih, salah seorang pilar madzhab Syafi’i. Dia hidup
selama 80 tahun: 40 tahun dalam keadaan tak mengerti dan 40 tahun dalam keadaan
alim.
Abu al-Mudzaffar al-Sam’ani berkata bahwa
usia beliau mencapai 90 tahun dan wafat
tahun 417 H.
Yaqut al-Hamawi—pengutip cerita ini—pernah mengunjungi
makam beliau di Marwa.
Disarikan dari Mu’jam al-Buldan, 5/116.