Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Alasan Imam Asy-Syafi’i Berguru kepada Perempuan

Avatar photo
57
×

Alasan Imam Asy-Syafi’i Berguru kepada Perempuan

Share this article

Tak henti-hentinya Imam Asy-Syafi’i melakukan pengembaraan ilmu. Kota Gaza-Palestina menjadi awal kisah belajarnya dimulai. Dari sanalah muncul sosok Muhammad bin Idris, yang nantinya keilmuannya akan tersorot dan terekspos ke seluruh jagat, hingga bisa kita rasakan keilmuannya sampai saat ini.

Yaman, Mekkah, Madinah, Baghdad hingga Mesir adalah saksi atas kesungguhan dan jerih payah Imam Asy-Syafi’i dalam mencari ilmu, hingga mendakwahkannya kepada khalayak umat yang haus ilmu pengetahuan khususnya ilmu syariat.

Sebanyak 80 guru (sebagaimana ditaksir oleh Imam Ibnu Hajar dan al-Baihaqi) dari berbagai macam latar belakang tidak ia lewatkan untuk menciduk lautan ilmu dan adab dari mereka.

Baca juga: Kisah Makrifat Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i dikenal sebagai sosok yang tak pandang-bulu dalam berguru kepada ulama. Selama ilmu dan suluk menempel di hati seseorang, dia mantap dan yakin untuk berguru kepadanya tanpa menghiraukan kondisi fisik  maupun jasmani dari orang tersebut.

Yang selalu Imam Asy-Syafi’i katakan dalam doanya hanyalah;

اللهم استر عيني عن عيوب شيخي

“Ya Rabb, halangilah pandanganku dari aib dan kekurangan guruku.”

Bukankah ketika di Mekkah, Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu fikih dari salah seorang mufti di daerah tersebut, Imam Muslim bin Khalid Az-Zinji. Dia tak sekalipun memandang kondisi fisik serta jasmani dari gurunya yang berkulit hitam gelap, dan mengidap kepikunan di akhir umurnya.

Begitu pula kisahnya ketika masuk ke kota Mesir di tahun 199 H, saat ia berguru kepada seorang perempuan yang bernama Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali (cucu Rasulullah). Ia berguru kepadanya dalam konsentrasi ilmu Hadits, dan mempercayakan dia sebagai sosok pembimbing dan penuntun.

Imam Asy-Syafi’i dan Sayyidah Nafisah

Makam Imam Syafi’i di Fustat Kairo Mesir

Diriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i selalu meminta doa dari Sayyidah Nafisah setiap kala ia sedang sakit. Ihwal perempuan yang dianggap sebagai sosok yang kurang dalam akal dan agamanya tak sekalipun menghalangi dia dari meraup ilmu serta hikmah dari salah seorang anak turun Rasulullah saw. yang berada di Mesir.

Dalam salah satu majelis ilmu, alImam Syafi’i pernah ditanya oleh salah seorang murid dan jamaahnya.

“Wahai Imam Syafii, untuk apa kau berkunjung dan berguru kepada seorang perempuan di Mesir (Sayidah Nafisah)?”

Dia menjawab dengan tegas dan lugas:

والله ثم والله ثم والله ما أُوتيت من العلمِ إلا قليلاً مما أتت به السيدة نفيسة

“Sungguh demi Tuhan! Tidaklah ilmu yang tersemat dalam diriku melainkan hanya sedikit, dibandingkan (keluasan ilmu) yang tersemat dalam sosok Sayyidah Nafisah.”

Baca juga: Kisah Imam Asy-Syafi’i dan Nabi Khidir

“Kau belajar kepadanya, sedang kondisimu telah mencapai tingkatan ilmu yang tinggi. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi?” heran salah seorang jamaah.

Dikarenakan Imam Syafi’i masuk ke Mesir ketika keilmuan dan kealimannya telah tersebar di penjuru jagat. Bahkan ia telah mencapai tingkatan mujtahid mutlak (tingkatan tertinggi dalam keilmuan fikih dan ushul fikih). Dia juga sudah merancang pondasi mazhab yang ia susun di Baghdad dengan istilah al-qoul al-qadim (pendapat lama) dan telah merilis kitab ar-Risalah.

Mendengar keheranan itu, Imam Syafi’i mulai gusar. Dia membantah sebagai berikut:

 أيها السائل, إنهم أهل البيت لا يؤتون العلمَ من الكتب كما نأخذه نحن الفقراء من الكتب، بل يؤتون العلم من لَدُنِ حكيم خبير ؛ فهم الأغنياءُ باللهِ عن دونه؛ فإن كانَ للهِ أن يُكرم نبيه بأن اختص تعليمه بذاته ( علّمه شديدُ القوى )؛ فإنما قد اختصهم اللهُ بعلومِ من لدنهِ كرامةً لجدّهم الكريم؛ وإنّا أيها السائلُ إليهم لفقراء؛ ولو علم الخلق شأنهم عند ربهم؛ لما تركوا لهم بابا إلا وتشفّعوا به إنهم كالسفينه؛ من ركبَ معهم نجا؛ ومن تركهم غرق

“Wahai penanya yang budiman, sungguh perempuan itu (Sayidah Nafisah) merupakan salah seorang anak-turun dari Rasulullah. Sungguh mereka tidaklah harus dikaruniakan ilmu dari kitab-kitab yang mereka baca, layaknya kita yang membutuhkan hal tersebut untuk mendapatkan ilmu.

“Ketahuilah, mereka (ahlul bait) telah diberi keutamaan oleh Allah swt. berupa ilmu yang tuhan sendiri sematkan dalam hati mereka. Maka mereka hanyalah mengharap karunia tuhan, tanpa harus tergantung kepada selain-Nya.”

“Bilamana Allah swt. telah memuliakan Rasullullah berupa ilmu ladunni yang tersemat dalam hatinya, maka sungguh anak turunnya pula akan mendapatkan hal yang sama atas berkat kemuliaan kakeknya (Rasulullah). Yaitu berupa karunia ilmu yang tak diberikan kepada selain mereka.”

“Maka, hakikatnya kitalah yang membutuhkan mereka (ahlu bait). Jika setiap orang sadar akan karunia yang telah diberikan kepada mereka (ahlu bait) pastilah mereka tak akan meninggalkan setiap pintu-pintu rumah mereka demi menciduk keberkahan dan karunia yang Allah swt. dalam diri mereka.”

“Ingatlah, mereka (ahlu bait) layaknya bahtera. barangsiapa yang menaiki bahtera tersebut bersama mereka maka ia akan selamat, serta barangsiapa yang tak mau menaikinya, maka ia akan tenggelam dalam samudera kecelakaan.”

Baca tulisan menarik lainnya tentang Imam Asy-Syafi’i di sini.

Kontributor

  • Muhammad Fahmi Salim

    Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim