Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Aturan dan Tahapan Amar Maruf Nahi Munkar Menurut Imam Al-Ghazali

Avatar photo
27
×

Aturan dan Tahapan Amar Maruf Nahi Munkar Menurut Imam Al-Ghazali

Share this article

Amar maruf (mengajak kebaikan) dan nahi munkar (melarang kemungkaran) adalah kewajiban bagi semua muslim. Bisa wajib kifayah dan terkadang wajib ain. Mendiamkan kemungkaran adalah sebuah dosa berbahaya.

Akan tetapi, tata cara amar maruf nahi munkar diatur oleh syariat. Jika tidak, akan menimbulkan kemungkaran baru yang bisa jadi lebih mungkar daripada kemungkaran yang hendak dihapuskan.

Imam Al-Ghazali menguraikan dengan sangat apik dan panjang lebar dalam Ihya’ Ulumiddin juz 2 menjadi satu bab tersendiri.

Ringkasnya, hisbah (nahi munkar) harus dilakukan secara urut, mulai tahap pertama sampai tahap kelima, tidak boleh melompat lompat.

1. Menjelaskan bahwa apa yang sedang terjadi adalah kemungkaran atau haram.

Jika tidak berubah, kemudian

2. Menasehati pelaku dengan kata kata lembut.

Jika belum berhasil, lanjut

3. Mencaci maki dan mencela.

Imam Al-Ghazali mencontohkan dengan kalimat: “Ya Jahil, Ya ahmaq, Hai orang bodoh, hai orang goblok, apa kamu tidak takut Allah?!”

Jika belum berhasil juga, maka

4. Mencegah dengan paksa.

Misalnya dengan menumpahkan khamr atau merebut barang curian.

Jika tidak berhasil juga maka

5. Mengancam dan memukul.

Langkah ini bisa menimbulkan perlawanan, hingga masing-masing membutuhkan bala bantuan. Dan terjadilah bentrokan fisik atau perang. Oleh karenanya langkah kelima ini hanya boleh dilakukan atas IZIN PEMERINTAH.

Baca juga: Berbagai Penyakit yang Ditimbulkan oleh Pujian Menurut Imam Al-Ghazali

Sedangkan langkah pertama sampai keempat tidak perlu izin kepada pemerintah atau siapapun.

Jadi kurang tepat jika dikatakan bahwa dakwah hanya boleh dengan kata-kata lembut saja. Terkadang kita wajib mencaci maki, merampas, dan memukul juga sesuai aturan.

Pengecualian:

– Seorang anak melakukan nahi munkar kepada orang tuanya, dibatasi hanya langkah pertama dan kedua. Tidak boleh mencaci dan berkata kasar (langkah 3). Kecuali pada kasus tertentu yang selengkapnya diuraikan dalam kitab Ihya. Begitu pula nahi munkar istri kepada suami.

– Nahi munkar rakyat kepada pemimpin lebih dibatasi lagi. Hanya diperkenankan langkah pertama dan kedua. Sedangkan langkah ketiga atau keempat harus melalui ijtihad. Tidak boleh mendiamkan kemungkaran tetapi juga tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menjatuhkan kehormatan pemimpin (apalagi memerangi pemerintahan yang sah secara fisik).

– Sedangkan murid kepada gurunya lebih longgar. Sebab, dihormatinya seorang guru adalah faktor ilmunya yang bermanfaat. Sedangkan guru yang tak mengamalkan ilmunya boleh diperlakukan sesuai dengan ilmu yang telah diajarkan guru kepada muridnya.

Baca juga: Pengaruh Musik pada Psikologi Manusia dalam Pandangan Al-Ghazali

Demikian sebatas pemahaman saya dari Ihya Ulumiddin, bab Nahi munkar. Boleh dikoreksi dalam ranah keilmuan, tanpa perlu dikaitkan dengan kepentingan kelompok tertentu.

Bojonegoro, 23 November 2020

Kontributor

  • Najih Ibn Abdil Hameed

    Asal Bojonegoro Jawa Timur, sedang menempuh studi di Pascasarjana UINSA Surabaya dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Istiqomah Woro, Bojonegoro Jawa Timur